Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Oase kata

Memalukan! Pengamat Ini Sebut Bahasa Arab Ciri Radikalisme

Politik | Thursday, 09 Sep 2021, 22:07 WIB
Sumber foto : YouTube medcom id

Oleh : Imanuddin Kamil*

Perbincangan tentang Taliban masih menjadi topik hangat diskusi publik dunia. Sejak Afghanistan jatuh ke tangan kekuasaan Taliban 16 Agustus 2021 lalu yang diiringi kaburnya presiden menjabat Ashraf Ghani, dunia heboh membicarakan masa depan Afghanistan. Ada yang pro dan kontra. Ada yang simpati dan terdapat pula yang antipati. Ada yang menaruh harap dan tidak sedikit yang pesimis menyimpan trauma.

Di Indonesia webinar dan diskusi tentang Taliban pun digelar berbagai kalangan. Dibahas oleh beragam pakar dan pengamat. Dikupas dari berbagai sudut isu dan persoalan aktual. Di antara webinar menyoal Taliban yang belum lama diselenggarakan adalah diskusi daring berjudul "Taliban Bermuka Dua ke Indonesia?" pada 5 September 2021. Diskusi ini menghadirkan para pembicara; Ansyaad Mbai, Mantan Kepala BNPT, M. Farhan, Anggota Komisi I DPR, Abdul Mutaali, Pakar Timur Tengah UI dan Susaningtyas Nefo Kertopati, pengamat Militer.

Belakangan publik dikagetkan pernyataan Susaningtyas yang pada diskusi tersebut menyebut Bahasa Arab sebagai ciri radikalisme. Entah dari mana mantan anggota DPR RI periode 1999-2004 dan 2009-2014 ini menyimpulkan pengamatannya tersebut. Yang jelas ‘klaim’ nya kemudian menyebar di berbagai berita nasional cetak maupun elektronik dan menuai protes keras dari berbagai kalangan.

Ketua MUI KH. Cholil Nafis angkat bicara menyayangkan pernyataan yang dianggapnya menyesatkan. "Mengamati atau menuduh. Gara-gara tak mengerti bahasa Arab maka dikiranya sumber terorisme atau dikira sedang berdoa haha. Ini bukan pengamat tapi penyesat," ungkap Ketua MUI Pusat Bidang Dakwah dan Ukhuwah di akun Twitter miliknya, @cholilnafis.

Lebih lanjut Kyai Cholil menilai basis intelektual Susaningtyas lemah, pengamatannya kacau dan pernyataannya tendensius. Sebab pengamat seharusnya netral, berbasis rasional, dan argumentatif, tegas KH. Cholil sebagaimana dikutip Republika, Rabu 8/9/2021.

Tak hanya KH. Cholil, tanggapan senada juga datang dari Wakil Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid. “Memperbanyak Bahasa Arab disebut sebagai salah satu ciri terorisme, bisa jadi ‘teror’ terhadap Pancasila yang banyak ungkapannya diserap dari Bahasa Arab seperti adil (sila ke-2 dan 5), rakyat (sila ke-4 dan 5), adab, hikmat, musyawaratan, wakil,” kata HNW melalui akun Twitternya, seperti dilansir Galamedia, Rabu, 8 September 2021.

Sementara itu KH.Muhyiddin Junaidi, Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga menyayangkan pernyataan Susaningtyas dan menilainya sebagai bagian dari Islamofobia.

“Hasil pengamatan yang sarat dengan unsur Islamofobia. Itu bagian dari rekayasa keji yang bertujuan menimbulkan ketakutan di masyarakat,” kata Kiai Muhyiddin melalui pernyataannya kepada Suara Islam Online, Rabu (8/9/2021)

Respon menohok dilontarkan oleh Imam Besar Islamic Center New York, Shamsi Ali. “Saya malu dengan cara pandang seorang yang disebut ‘pengamat’,” katanya seperti dikutip Pikiranrakyat-depok.com.

Menurut Shamsi Ali, hal itu lantaran pengamat tersebut tidak bisa melihat masalah secara luas, dan menanggapi permasalahan dengan cara yang bermutu. “Tapi cara melihat masalah tak lebih dari anak jalanan. Sempit, pendek, tidak bermutu bahkan memalukan,” tuturnya

Pengamat Jangan Asal Bicara

Kehadiran pakar dan pengamat dalam sebuah diskusi seharusnya memberikan pencerahan kepada masyarakat luas. Menenangkan situasi menjadi kondusif, menyebarkan rasa aman di tengah kekhawatiran yang ada. Bukan malah sebaliknya, yang tenang menjadi gelisah, yang aman menjadi takut, dan apalagi semakin membuat bingung.

Secara etika komunikasi, apa yang disampaikan Susaningtyas memang terlalu ceroboh. Mengaitkan bahasa Arab dengan radikalisme atau basis terorisme tanpa logika berpikir yang jelas. Ketakutan terhadap Taliban yang berada di Afghanistan kemudian mengkhawatirkan bibit terorisme di Indonesia muncul karena penggunaan bahasa Arab. Dimana titik temunya dan bagaimana logika berpikirnya? Afghanistan sendiri bukan termasuk negara pengguna Bahasa Arab sebagai bahasa resmi di negaranya. Bahasa resminya adalah bahasa Persia Dari dan Pasthun.

Kemudian juga menuduh bahasa Arab sebagai basis teroris, tanpa sadar telah merendahkan 25 negara pengguna bahasa Arab di dunia sebagai bahasa resmi di negaranya menjadi tertuduh sebagai negara teror. Tentu ini bukan tudahan yang sederhana.

Mengutip Republika yang melansir dari laman Babbel, saat ini di dunia ada 25 negara yang mengklaim bahasa Arab sebagai bahasa resmi atau co-official, di antaranya Aljazair, Bahrain, Chad, Komoro, Djibouti, Mesir, Eritrea, Irak, Yordania, Kuwait, Libanon, Libya, Mauritania, Maroko, Oman, Palestina, Qatar, Arab Saudi, Somalia, Sudan, Suriah, Tanzania, Tunisia, Uni Emirat Arab dan Yaman. Dan ada enam negara berdaulat di mana bahasa Arab merupakan bahasa nasional atau bahasa minoritas yang diakui, Iran, Turki, Niger, Senegal, Mali, dan Siprus.

Kemudian juga ada sekitar 313 juta penutur bahasa Arab di seluruh dunia, menjadikannya bahasa kelima yang paling banyak digunakan secara global setelah Mandarin, Spanyol, Inggris, dan Hindi.

Bukankah tuduhan ceroboh yang dilontarkan ini dapat menyinggung negara-negara bersahabat baik dengan Indonesia yang bahasa resminya bahasa Arab? Pun juga melukai para pengguna bahasa Arab di dunia?

Belajar dari kejadian ini, tentu menjadi pelajaran berharga bagi para pengamat agar tidak asal bicara atau asbun dalam menanggapi satu fenomena. Apalagi menyangkut hal-hal yang sangat sensitif, harus hati-hati dalam memberikan analisanya.

Trauma dengan Taliban boleh saja, tapi menebarkan kekhawatiran yang berlebihan di tengah masyarakat tanpa dasar tentu juga kurang bijak. Barangkali pepatah Swedia ini bisa menjadi renungan, “Khawatir sering kali memberi bayangan besar pada hal kecil.” Jadi, jangan terlalu paranoid lah!

*Pengajar B. Arab STIKES Kharisma, Kabid Media JATTI Pusat

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image