Peran Komunitas Akademik dalam Pendidikan di Era Digital
Eduaksi | 2021-09-08 16:06:47Dengan izin Allah yang Maha Mengetahui. Para pembaca yang saya cintai, perkenankan penulis untuk sedikit berbagi tentang bagaimana peran komunitas akademik dalam pendidikan di era digital, persis sekarang ini.
Sebelum ke inti pembahasan, mungkin kita menyamakan persepsi terlebih dahulu mengenai akademik, pendidikan, dan digital. Ketiga istilah itu merupakan kata kunci artikel ini.
Dari beberapa literatur, yang namanya akademik dapat disimpulkan bahwa; merupakan seluruh lembaga pendidikan yang bersifat akademis. Maksud dari akademis yaitu bersifat ilmiah.
Pendidikan adalah proses pengubahan sikap atau perilaku seseorang atau kelompok orang melalui upaya pengajaran dan pelatihan.
Era digital adalah masa ketika informasi mudah dan cepat diperoleh serta disebarluaskan menggunakan teknologi digital. Teknologi digital adalah teknologi yang menggunakan sistem komputerisasi yang terhubung internet. (Kemdikbud)
Sedang lembaga pendidikan yang dimaksud tentu saja mencakup seluruh jenjang. Mulai dari PAUD hingga perguruan tinggi. Tidak saja berdasarkan jenjang, termasuk lembaga pendidikan formal maupun informal yang menyelenggarakan pendidikan baik status negeri dan swasta.
Disini peran akademik sangat penting dan strategis karena menyangkut input, proses dan output dalam sebuah lembaga pendidikan.
Kalau dianalogikan seperti sebuah dapur di restoran-restoran yang menyajikan makanan kepada pelanggan mereka. Maka dapur memegang peranan penting dalam menghasilkan makanan yang enak dan lezat.
Konon maju tidaknya restoran tersebut sangat dipengaruhi oleh kinerja tim yang terlibat di dapur dalam proses menyiapkan makanan yang diinginkan pelanggan.
Begitu pula lembaga pendidikan, ruang akademik merupakan dapurnya kampus atau sekolah. Disitulah tim yang terlibat bekerja semaksimal mungkin untuk melakukan Mei menyiapkan proses belajar mengajar guna mencapai kualitas yang diharapkan.
Di bidang akademik tersebut terlibat bukan hanya guru/dosen sebagai "chef" sebuah institusi pendidikan. Juga tenaga kependidikan, dan seperangkat alat pendukung utama (termasuk infrastruktur) sebagai fasilitas proses. Disana terlibat pula tim IT dan bagian pelayanan.
Dari sini kita dapat melihat bagaimana peranan yang harus dimainkan oleh seluruh tim yang terlibat dalam akademik untuk mencapai output (kompetensi) yang diharapkan. Bahwa kualitas lulusan sangat ditentukan oleh bagaimana kinerja akademik terutama guru/dosen sebagai ujung tombak.
Beralih ke digital
Apa yang dilakukan di dunia nyata, pada prinsipnya dapat pula diaplikasikan pada dunia virtual. Dengan bantuan teknologi digital hampir semua pekerjaan dapat diselesaikan dengan mudah, cepat, dan efesien.
Namun yang menjadi pertanyaan efektifkah kegiatan akademik dilakukan dengan media digital dalam mencapai output?
Kalau kita lihat ke belakang sejenak di mana sebelum pandemi mengurung Indonesia, tepatnya pada tahun 80-an. Proses akademik dilakukan secara konvensional (tradisional). Sekolah-sekolah menerapkan metode literasi Calistung (baca, tulis, berhitung) masih berlangsung secara tatap muka.
Di masa itu hampir tidak dikenal oleh guru/dosen dan peserta didik atau mahasiswa model belajar secara online seperti sekarang ini. Meski ada istilah belajar kelas jauh namun tetap saja dilakukan secara tatap muka langsung tanpa media.
Waktu itu juga ketersediaan infrastruktur dan perangkat digital seperti komputer, internet, dan teknologi informasi belum secanggih sekarang ini.
Baru pada era 90-an di sekolah-sekolah mulai ada komputer. Itupun terbatas jumlahnya. Begitu pula tidak semua sekolah memiliki komputer meski di SMK (sekolah kejuruan).
Tibalah pada tahun 2000-an, lembaga pendidikan mulai berevolusi dengan teknologi informasi dan komunikasi. Komputer, smartphone, tablet, laptop PC, internet mulai berkembang pesat. Konektivitas semakin cepat.
Dengan teknologi internet generasi 4 (four G/4G) koneksi internet mampu melakukan transfer data dengan cepat dan efesien.
Memasuki era internet itulah pemerintah mulai menyiapkan diri untuk mengembangkan lebih jauh kebermanfaatan internet dalam semua aspek kehidupan masyarakat terutama sektor pendidikan.
Dengan menerapkan pembelajaran jarak jauh (learning distance) sebagai wujud adaptasi dan harmonisasi dengan adanya revolusi industri 4.0 dengan memanfaatkan teknologi digital untuk pendidikan.
Pendidikan jarak jauh bisa diakses melalui berbagai platform pendidikan (education platform) yang tersedia seperti google for education, e-learning, dan lain-lain hanya dengan satu perangkat digital.
SDGs tujuan ke-4
Dari 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs). Bidang pendidikan merupakan tujuan ke-4 yaitu menjamin kualitas pendidikan yang inklusif dan merata serta meningkatkan kesempatan belajar sepanjang hayat untuk semua.
Hal ini sejalan dengan amanat konstitusi UUD 1945 pasal 31 ayat 1 yang menyebutkan tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran.
Maka sudah menjadi keniscayaan bahwa pemerintah sebagai mandatori untuk melaksanakan perintah konstitusi. Sebagaimana termaktub pada ayat 2 pasal 31 UUD 1945
"Bahwa pendidikan yang dimaksud harus diusahakan dan diselenggarakan oleh pemerintah sebagai "satu sistem pengajaran nasional"".
Peran Komunitas Akademik
Sebagai insan pendidik, komunitas akademik yang terdiri dari guru, dosen, tenaga kependidikan, atau seperangkat pelaksana pendidikan, memiliki tanggung jawab yang besar terhadap pemenuhan amanat undang-undang dan SDGs dengan mengembangkan model pendidikan inklusif berbasis digital.
Komunitas akademik berperan untuk menciptakan dan menghasilkan sumberdaya manusia (SDM) yang dinamis, produktif, terampil, menguasai IPTEK didukung dengan kerjasama industri dan talenta global.
Ini harus menjadi target kerja komunitas akademik secara nasional agar visi (nawacita) pemerintahan Joko Widodo-Ma'ruf Amin sebagaimana tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 dapat terwujud.
Oleh karena insan akademik harus berperan seperti "Chef" hebat untuk menciptakan makanan yang enak untuk disantap agar peserta didik bisa merasakan lezatnya pendidikan. Mereka bisa mendapatkan kepuasan yang tinggi saat mengikuti pembelajaran.
Sehingga teknik mengajar pada era sebelumnya menjadi berubah dengan adanya teknologi digital. Guru/dosen tidak lagi hanya sebagai transmisi (alat mentransfer) pengetahuan (knowledge) kepada peserta didik (receiver). Tapi justru menjadi content creator (pencipta menu).
Chef profesional tidak saja pandai memasak tapi juga mampu menciptakan resep makanan-makanan baru karena kreatif dan jeli melihat peluang. Begitulah pula peran yang harus dimainkan oleh komunitas akademik.
Insan akademik harus menggaungkan paradigma baru tentang belajar berbasis digital dikalangan peserta didik. Tentu saja dengan tetap mempertahankan nilai-nilai pendidikan unggul dan berkarakter.
Apa yang harus dimiliki oleh komunitas akademik?
Secara umum kewajiban dosen sebagai salah satu insan akademik adalah seperti yang disebutkan; tridharma perguruan tinggi meliputi: pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
Dengan ketiga tugas utama itu dosen melakukan proses pengembangan ilmu pengetahuan, menciptakan skil, dan membangun kepekaan mahasiswa untuk peduli pada lingkungan sekitar mereka.
Namun memasuki era digital seperti sekarang, kebutuhan pasar semakin beragam, dan permasalahan yang ada ditengah-tengah masyarakat pun semakin kompleks.
Karena itu prinsip tridharma perguruan tinggi yang kaku menjadi tidak relevan lagi. Metode belajar hanya sepihak kian tidak disukai oleh anak-anak generasi milenial. Mereka menginginkan model belajar yang cepat, menyenangkan, dan bebas dari intimidasi psikologis.
Maka ketika program merdeka belajar diluncurkan oleh Kemdikbudristek beberapa waktu menjadi harapan baru untuk model pembangunan pendidikan Indonesia kedepan. Sebab itu pula peserta didik generasi milenial menyambut baik program mas menteri.
Sebaliknya, disisi lain sumber daya yang tersedia (exciting) saat ini seperti terdapat gap (kesenjangan) dengan ide brilian merdeka belajar. Bahkan kampus yang sudah terpilih sebagai embrio kampus merdeka belajar atau diistilahkan kampus merdeka, tidak siap mengeksekusi.
Begitu pula di level sekolah. Program sekolah penggerak dan dengan guru penggerak nya tidak siap melaksanakan program merdeka belajar.
Sehingga perlu dilakukan asesmen dan evaluasi kembali oleh pemerintah terhadap ini. Bukan program merdeka belajar nya yang tidak baik tetapi sumberdaya yang ada perlu ditambah, di-upgrade, dan ditingkatkan baik secara kualitas maupun kualitas.
Hambatan dan tantangan
Mengutip data statistik yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020. Bank data tersebut melaporkan bagaimana kondisi sarana dan prasarana lembaga pendidikan di tanah air khususnya jenjang SD, SMP, dan SMA/SMK.
Dilaporkan lebih dari 70 persen ruang kelas disetiap jenjang pendidikan kondisinya rusak, dan sebagian lagi masuk kategori rusak sedang/parah. Misalnya SD tingkat kerusakannya lebih tinggi dibanding jenjang SMP/SMA/SMK, sebanyak 78,79 persen kelas rusak sedang.
Lalu bagaimana akses teknologi informasi dan komunikasi oleh siswa? Menurut data BPS masih terdapat 4,7 persen mahasiswa siswa yang tidak memiliki akses internet. Artinya 95,3 persen mahasiswa sudah mengakses internet.
Kemudian jenjang SMA persentase siswa yang sudah mengakses sebanyak 91,01 persen. Diikuti oleh tingkat SMP yang mencapai 73,4 persen. Dan yang paling rendah yakni level SD 35,97 persen.
Dengan kebijakan School from Home (SFH) yang dikeluarkan oleh pemerintah akibat pandemi Covid-19 maka menuntut siswa semua jenjang pendidikan untuk melek teknologi serta memanfaatkanya untuk proses pembelajaran.
Kelayakan guru
Dari hasil penelitian BPS (susenas 2020) juga menunjukkan bagaimana kondisi guru yang layak mengajar. Guru yang memiliki kompetensi dan dedikasi untuk mengabdi di dunia pendidikan.
Disebutkan pada tahun ajaran 2019/2020 terdapat sebanyak 91,02 persen guru pada jenjang pendidikan sekolah dasar (SD) layak mengajar, jenjang SMP 93,84 persen, jenjang SMA 89,93 persen, dan SMK 90 persen. Secara umum terjadi peningkatan dari tahun sebelumnya.
Ini adalah kabar baik yang patut kita syukuri. Sebelumnya kita mengeluhkan kualitas guru yang tidak layak mengajar bahkan hasil uji kompetensi guru (UKG) di beberapa daerah rata-rata nilai dibawah 80. Sedangkan minimal yang dipersyaratkan diatas 85.
Nah semoga ini bisa menjadi momentum yang tepat untuk bersiap-siap dunia pendidikan Indonesia bangkit. Dengan peran Komunitas Akademik yang membawa peradaban baru dalam pendidikan digital mampu mewujudkan visi pemerintah menghasilkan SDM unggul dan berdaya saing global. (*)
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.