Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Hamdani

Andai Pandemi Berlalu, Aku Akan Melesat Bangkit dari Keterpurukan

Lomba | Monday, 06 Sep 2021, 17:25 WIB
(Suasana pantai yang sepi, biasanya ramai warga/Dokpri)

Terasa cukup lama pandemi Covid-19 telah menghuni negeri tercinta, lebih kurang bilangan dua tahunan. Kehidupan pun semakin terpuruk.

Sejujurnya terasa berat menerima kenyataan ini, namun takdir tak dapat ditolak. Andai pandemi berlalu, kami ingin segera bangkit dari keterpurukan.

Masa dua tahun bukanlah waktu yang singkat untuk sebuah kenyataan pahit. Saat pandemi menyapu hampir seluruh aktivitas normal manusia dalam kehidupan sosial, bahkan nyaris lumpuh di segala lini kehidupan. Hal ini menyakitkan.

Pembatasan Kegiatan Masyarakat yang secara legal diatur oleh pemerintah dengan sejumlah perundang-undangan adalah bertujuan untuk mengerem laju penularan covid-19. Tujuan itupun dinilai sangat mulia.

Tetapi dibalik pembatasan tersebut, terdapat begitu banyak luka, kesedihan, penderitaan, dan kegelapan yang terjadi. Banyak pula yang pergi karena sebuah panggilan takdir, pandemi menjadi asbabul nya.

Luka yang masih menganga dan perih dirasakan oleh rakyat ketika ribuan nyawa harus pergi meninggalkan dunia ini, diantara itu termasuklah kerabat dekat, sahabat, guru, istri/suami tercinta, anak-anak tersayang, dan para ulama sepuh.

Perasaan kehilangan begitu mendera segenap jiwa-jiwa yang masih diberikan kesempatan hidup namun menderita secara batin. Pandemi seakan didatangkan sebagai sebuah hukuman dan azab.

Lebih tragis lagi adalah sektor ekonomi rakyat kecil. Banyak sekali pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) yang terpaksa gulung tikar karena ada pelarangan berdagang di tempat umum. Kebijakan pelarangan tersebut walaupun kurang tepat tapi pihak kepolisian/satgas tidak perduli.

Seyogyanya pemerintah memperhatikan ekonomi rumah tangga masyarakat akar rumput yang kehilangan pendapatan mereka akibat diskresi pandemi Covid-19. Adapun bantuan sosial dari Kemensos itu juga dikorupsi oleh oknum tidak memiliki hati nurani.

Penulis melihat sendiri bagaimana efek buruk penerapan kebijakan PPKM yang serampangan memantik kerugian bagi pelaku UMKM. Kebetulan saya bekerja sebagai Tenaga Pendamping UMKM, banyak sekali keluhan mereka yang harus kami dengar.

Seperti dialami Ibu Sinta (34 tahun), UMKM pengolahan perikanan ikan asin di Aceh Besar baru-baru ini.

Sinta bersama anggota kelompoknya yang yang sehari-hari berjualan di kios ikan asin mereka sepi pembeli, omset mereka turun drastis hingga 50%.

Padahal ketika awal pandemi mendera, penjualan justru naik hingga 30%. Inilah salah satu contoh kasus terdampak penyekatan jalan lintas Banda Aceh-Meulaboh dimana lokasi Sinta dkk berdagang sehari-hari.

Begitu pula, keterpurukan terjadi disektor pendidikan. Sistem pembelajaran online atau dikenal dengan pembelajaran jarak jauh ternyata mengundang malapetaka. Ditengarai kualitas pendidikan selama pandemi mengalami penurunan.

Belajar online (daring) terkesan telah menciptakan generasi "loss learning" dan sengkarut kualitas pendidikan yang makin tidak karuan.

Menurut hasil penelitian UNESCO yang dilakukan pada 28 Maret 2021, selama pandemi menerjang dunia, sebanyak 174 juta anak-anak di seluruh dunia telah kehilangan kemampuan membaca mereka.

Temuan badan dunia tersebut merupakan ancaman serius bagi jagad pendidikan berkelanjutan termasuk Indonesia. Keterbatasan sumberdaya yang dialami Indonesia semakin berdampak buruk terhadap sektor pendidikan.

Pendidikan merata sebagaimana dijanjikan oleh pemerintah kelihatannya semakin jauh panggang dari api. Kesenjangan tampak nyata manakala belajar online diberlakukan. Tidak semua anak-anak mampu mengakses pendidikan karena tidak memiliki perangkat.

Setali tiga uang, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis update data kemiskinan dan pengangguran yang juga terjadi peningkatan. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) oleh perusahaan-perusahaan yang menutup usaha diduga sebagai pemicunya.

Akibatnya ribuan pekerja yang kehilangan pendapatan dan menganggur. Kedua variabel ini mempengaruhi tingkat kemiskinan di hampir seluruh daerah yang mengalami keparahan Covid-19. Sampai kapan pandemi ada? Wallahu'alam tidak ada yang tahu pasti.

Pemerintah Indonesia belum mampu membuka misteri hingga kapan pendemi akan tuntas. Walaupun sudah menempuh bermacam cara, sampai mewajibkan vaksinasi. Itu juga tidak ada jaminan pandemi akan segera beres.

Terkadang saya iri melihat negara-negara lain di yang cepat keluar dari pandemi. Sekarang mereka tidak lagi terpasung dengan protokol kesehatan yang mengharuskan pakai masker dan jaga jarak.

Kebanyakan negara-negara Eropa malah sudah menggelar berbagai even internasional seperti sepak bola. Begitu juga Jepang yang sukses menggelar even akbar olimpiade.

Sementara disini, kita masih terbelenggu dengan berbagai aturan yang kadang-kadang tumpang tindih dan dapat dikatakan berlebihan. Disini saf salat harus jarak, tidak boleh salam berjabat tangan karena itu bertentangan dengan prokes.

Sedang di Eropa mereka sudah kembali menikmati dunia dengan segala kenikmatannya tanpa ditakut-takuti oleh Satpol PP dan Police.

Memang lautan kesabaran rakyat tidak akan pernah mengalami kekeringan. Begitulah nilai ke-indonesiaan yang selalu sabar menyongsong hidup baru tanpa pandemi.

Walaupun perut lapar, lapangan kerja menyempit, dan kebebasan tercerabut dari sebuah budaya. Namun tetap rela. Tidak masalah asalkan negeri ini tetap kokoh berdiri tegak ditengah bangsa dunia yang majemuk.

Sungguh! Andai pandemi berlalu, aku akan segera melesat bangkit dari keterpurukan. Menjalani hidup normal seperti sediakala. Jalan-jalan kemana suka, bebas kemana saja tanpa perlu kuatir, sekolah bersama kawan-kawan kita, bertemu dengan guru-guru bersalaman, berjabat tangan. Oh betapa aku merindukan masa-masa seperti itu kembali.

Semoga hari itu segera tiba! (*)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image