Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Sutanto

True Story: Bertahan Dengan Honor Pas-pasan

Curhat | 2021-09-05 23:42:17

Semenjak masuk Sekolah Pendidikan Guru (SPGN Bantul) tahun 1984, aku telah membulatkan tekad, bahwa nantinya aku akan menjadi guru. Mungkin keinginanku tersebut dianggap mengekor, karena ayah dan kakakku adalah seorang guru. Namun sesungguhnya dalam sanubariku memang tertancap tekad menjadi guru.

Sebagai calon guru aku berupaya membekali diri dengan kompetensi non akademik, melalui Pramuka, OSIS, Majalah Sekolah. Pramuka untuk mempersiapkan bekal sebagai pembina, selain itu aku aktif di Kwarcab Bantul sebagai pengurus Dewan Kerja Cabang (DKC) Bantul yang mengantarku bisa mengikuti kegiatan tingkat kabupaten, provinsi, dan nasional.

Selepas dari SPG (1987) aku melanjutkan kuliah di Program Studi Pendidikan Seni Musik IKIP Yogyakarta. Di program studi ini berbagai instrumen seperti : Piano, Gitar, Flute, Biola mesti aku kuasai. Dengan keterbatasan keuangan aku memanfaatkan fasilitas yang ada di kampus. Meski nglajo sejauh 25 km lebih dari rumahku di Jalan Samas Km 22 sampai “Kampus Barek” jalan Kaliurang Km 5,5, aku datang pagi-pagi ke kampus untuk antre berlatih Piano.

Mulai semester 3 (1988), sembari kuliah aku menjadi guru honorer di SMA Dwijaya Karen Tirtomulyo Kretek Bantul. Itulah awal aku berkecimpung di dunia pendidikan menjadi guru. Aku tidak berpikir berapa honor yang kuterima, aku hanya ingin memiliki pengalaman mengajar sebagai bekal setelah aku lulus kuliah.

Sekolah ini merupakan sekolah pinggiran yang minim fasilitas sekaligus minim murid. Seluruh guru karyawan benar-benar berjuang tanpa pamrih. Tiga kali seminggu aku mengajar tidak mesti diberikan honor perbulannya, terkadang dua bulan atau bahkan tiga bulan sekali. Nominal honorku per bulannya hanya Rp 1.500 (saat itu harga 1 liter bensin Rp 500). Namun demikian semua kujalani dengan senang, karena secara langsung akan telah praktik menyampaikan materi pelajaran kepada murid.

Disamping mengajar aku masih aktif sebagai pengurus pramuka (DKC Kwarcab Bantul) dan membina pramuka di beberapa sekolah seperti : SMPN Pundong (tiap Jumat), SD Blantik (tiap Rabu), SD Wuluhadeg I (tiap Sabtu), SMP YP Sanden (tiap Rabu) dan SMP 2 Kretek. Honor yang kuterima dari membina pramuka rata-rata Rp 2.500 s.d Rp 5.000 per bulan sangat membantuku sebagai tambahan uang saku, untuk membeli bensin, makan, dan membeli buku.

Senin 30 Juli 1990 aku mulai menjalani Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) di SMA 2 Bantul, dengan Pembimbing HM. Afandi (almarhum) seorang dosen senior di Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni IKIP Yogyakarta. Karena sangat sibuknya pada saat penyerahan ke SMA 2 Bantul, pak Afandi tidak bisa hadir. Selama berlangsungnya PPL itupun kami tak pernah dijenguk sekalipun.

Selama tiga bulan aku dan teman-teman (Seni Musik 3, Geografi 2, Bimbingan Konseling 10) menjalani PPL mengerjakan layaknya seorang guru negeri. Mulai dari mempersiapkan Satuan Pelajaran (sekarang RPP), praktik mengajar di kelas, piket, dan tugas lain. Saat PPL aku diminta ikut membuat syair lagu Hymne SMA 2 Bantul dan juga membina Pramuka. Sampai dengan PPL selesai lagi lagi aku yang didaulat untuk mewakili sambutan dosen pembimbing karena pak Afandi tak bisa hadir.

Mulai Juli 1991 saat kuliahku memasuki semester 8 dan semua teori telah kuselesaikan, tinggal menunggu KKN dan tugas akhir, aku mendapat kesempatan mengajar di MAN Gandekan Bantul, SMA Tri Praja Bhakti Bambanglipuro Bantul, SMA Berbudi Yogyakarta. Kesempatan tersebut kuperoleh melalui jalan yang aku sendiri tidak membayangkan sebelumnya.

Aku dapat diterima menjadi guru honorer di MAN Gandekan adalah faktor kebetulan saja, saat itu ada tetanggaku (Jurusan Bahasa Indonesia) yang melamar menjadi guru honorer disana, namun tak ada formasi. Yang ada formasi adalah guru Kesenian, sehingga akulah kemudian yang masuk kesana mengajar 12 jam pelajaran per minggunya, ditambah tugas tambahan membina Pramuka.

Jalan masuk menjadi guru di SMA Berbudi saya peroleh dari Wakil Kepala di sana dan kebetulan adalah teman membina Pramuka. Sedangkan di SMA Tri Praja Bhakti, aku bisa masuk karena ada diajak temanku SMP yang sudah mengajar Seni Rupa di sekolah tersebut.

Selama enam hari (pagi sampai siang) kubagi rata waktuku untuk mengajar, masing-masing sekolah dua hari. Senin & Selasa di SMA Berbudi, Rabu & Kamis di MAN Gandekan, Jumat & Sabtu di SMA Tri Praja Bhakti. Sementara sore harinya aku gunakan untuk membina Pramuka dan mengajar di SMA Dwijaya.

Orang yang tidak mengerti pasti menganggap honor yang terkumpul banyak, namun bagi orang yang sudah berkecimpung di dunia pendidikan akan paham bahwa honor yang diterima terhitung sedikit. Perhitungan honor guru berbeda dengan buruh harian yang dihitung berapa hari masuk selama sebulan dikalikan upahnya. Sementara untuk guru honor, kalau dia mengajar 10 jam, dengan honor per jam Rp 2.500, maka dalam sebulan dia hanya menerima honor 10 x Rp 2.500 = Rp 25.000.

Melihat kenyataan seperti itu tidak semua orang betah bertahan menjadi guru honorer. Aku betah dan tetap bertahan menekuni profesi ini, mungkin karena sudah menjadi panggilan hati dan jalan hidupku.

Ternyata dengan menjadi guru honor di beberapa sekolah menjadikanku tidak merasa menganggur. Setelah kuliah bisa kuselesaikan 30 Mei 1992 banyak teman-teman bingung mencari tempat mengajar, alhamdulillah aku sudah punya kesibukan sehingga tidak lagi merasa bingung. Memang kalau dibandingkan dengan buruh pabrik saja masih kalah besar. Saat itu dari mengajar dan membina pramuka di MAN Gandekan aku mendapat honor 20 ribu, di SMA Berbudi mendapat honor 32 ribu, di SMA Tri Praja Bhakti mendapat honor 25 ribu. Sementara dari membina pramuka rata rata honor perbulannya 5 ribu, jadi kurang lebih honor yang kuperoleh sekitar 100 ribu perbulannya.

Yang membuatku tetap bertahan menjadi guru honorer adalah pengalaman menghadapi murid dan bersosialisasi dengan guru yang bervariasi di berbagai sekolah.

MAN Gandekan memiliki karakteristik murid yang berbeda dengan SMA, disitu sudah mengenakan pakaian yang islami, Guru karyawan didominasi pegawai negeri, hanya sedikit yang honorer termasuk aku. SMA Berbudi yang berada di kota memiliki karakteristik murid yang lebih bebas, masih ada siswi yang mengenakan rok di atas lutut. Saat itu memang di sekolah umum belum banyak siswi beragama islam yang berjilbab.

Guru karyawan terbagi dalam beberapa kategori, ada yang guru negeri yang diperbantukan, ada guru tetap yayasan, ada guru honor. Sedangkan SMA Tri Praja Bhakti yang merupakan SMA swasta yang ada di desa situasinya hampir sama dengan yang SMA Berbudi. Kurasakan hubungan guru dan murid bisa dikatakan seperti kakak adik, karena rata-rata gurunya masih berusia muda. Menghadapi kondisi murid, guru karyawan di berbagai sekolah tersebut menjadikanku lebih dewasa dalam bersikap. Aku sudah merasa senang dan menjadi orang yang berguna apabila dapat berada dihadapan murid, memberikan materi pelajaran dan membuat mereka merasa nyaman dan senang.

Dengan latar belakang Seni Musik, dalam mengajar aku tidak memiliki beban berat karena mata pelajaran yang kuampu tidak diiikutkan dalam Ujian Nasional, hanya untuk memberikan refreshing kepada murid setelah suntuk dengan pelajaran UN khususnya siswa kelas tiga. Menjadi tantangan bagiku bagaimana agar kehadiranku dinanti dan dirindukan oleh muridku. Aku harus membuat situasi belajar yang menyenangkan, kupilih lagu yang sesuai dengan perkembangan usia mereka namun tetap mempertimbangkan memilih syair lagu yang mendidik dan sopan. Untung saja di semua sekolah ada alat musik (gitar, recorder, pianika) yang mendukung pembelajaranku.

Saat usiaku 24 tepatnya Ahad 20 Desember 1992 aku melangsungkan pernikahan, dengan status masih menjadi guru honorer. Untungnya pihak keluargaku maupun keluarga istriku tidak mempermasalahkan status itu. Yang membuat aku agak kesal adalah salahsatu teman istriku yang berkomentar, “Bojo sampeyan niku dadi napa” (suami anda itu kerja jadi apa). Ternyata masih ada orang yang memandang rendah pada profesi guru honorer. Kalimat itu terus kuingat, dan justru memacu semangatku untuk terus berupaya menjadi semakin baik.

Menikah memang akan membukakan pintu rezeki. Sebagaimana Sabda Nabi bahwa orang yang menikah demi menjaga kesucian akan mendapatkan pertolongan Allah Swt, ternyata benar adanya. Enam bulan setelah pernikahan (Juli 1993) ada pendaftaran guru di lingkungan Kemenag DIY. Setelah melewati ujian tertulis, ujian lisan, litsus, akhirnya aku diterima menjadi CPNS dan ditempakan menjadi guru Kesenian di MTsN Pundong, 1 Oktober 1994.

Agar lebih fokus mengajar di tempat baru, pelan-pelan aku pamit mundur dari MAN Gandekan, SMA Berbudi, maupun SMA Tri Praja Bhakti.

Sebenarnya berat juga aku melakukannya, namun aku tidak ingin dikatakan rakus dengan masih mempertahankan mengajar di beberapa sekolah tersebut, sekaligus memberi kesempatan guru honorer lain untuk masuk menggantikanku.

Menjadi guru honorer menjadi sebuah pengalaman yang tak terlupakan sepanjang sejarah hidup. Keberhasilanku masuk menjadi guru PNS ini juga tidak lepas dari tempaan mengajar di berbagai sekolah tersebut. Berbagai karakter murid, berbagai tipe guru karyawan semua menjadikanku mampu merasakan pahit getir berjuang menjadi guru honorer dengan penghasilan pas-pasan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image