Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Deassy Destiani

Bahaya Learning Loss Pada Anak Usia Dini Akibat Tak Sekolah Selama Pandemi

Eduaksi | 2021-08-29 08:37:58
August de Richelieu dari Pexels" />
Sumber Foto oleh August de Richelieu dari Pexels

By Deassy M Destiani, S.P., S.Pd

Seoang ayah dua anak bercerita, bahwa sekarang ini di rumahnya dia mendapat pekerjaan baru yaitu mencetak lembar kerja siswa dan materi yang diberikan guru anak-anaknya di sekolah online. Hal ini dia lakukan untuk meminimalkan penggunaan gawai dan laptop yang punya pengaruh negative seperti radiasi dan adiksi bagi anaknya. Usia anak yang baru 4 dan 6 tahun membuatnya harus berkorban waktu dan tenaga demi membuat mereka tetap semangat belajar.

Sebetulnya apa yang dilakukan ayah dua anak itu bisa menjadi contoh bagi orang tua lainnya. Sebab sejak korona mewabah, anak sekolah belajar jarak jauh lewat daring. Padahal menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim dalam konferensi pers di YouTube Kemendikbud mengatakan bahwa pembelajaran via daring atau online ini beresiko menyebabkan “learning loss” pada peserta didik. Semakin rendah jenjang pendidikannya semakin banyak resiko learning loss nya.

Jadi menteri pendidikan sendiri sudah paham jika PJJ ini terus menerus dilakukan dan sekolah tatap muka masih dihentikan maka yang terjadi adalah menurunnya kompetensi belajar siswa. Learning loss memiliki dampak yang sangat besar bukan hanya terhadap peserta didik. Tetapi juga bagi nasib dan majunya bangsa Indonesia. Jika learning loss terus terjadi dan tidak segera diatasi, maka dalam waktu kurang lebih 15 tahun lagi bangsa ini akan mengalami kehilangan generasi penerus yang berkualitas.

Contoh kasus learning loss ini terjadi di Pakistan. Pada tahun 2005, gempa bumi di Pakistan mengakibatkan hampir 100 ribu orang meninggal dan berbagai fasilitas publik rusak, termasuk sekolah. Anak-anak terpaksa tidak sekolah selama 3 bulan. Ternyata ditemukan sebuah penelitian bahwa mereka yang kehilangan kesempatan belajar karena tidak bersekolah selama 3 bulan akibat bencana itu mengalami ketertinggalan belajar selama 1,5 tahun dibanding mereka yang tetap bersekolah (Michele Kaffenberger, 2020).

Coba bayangkan saat ini sekolah ditutup mulai April tahun 2020. Sudah lebih dari satu tahun anak-anak tidak bersekolah akibat pandemi. Itu artinya jika satu tahun anak-anak tidak bersekolah sama dengan tertinggal 6 tahun. Mungkin saat ini masih lebih baik karena sekolah tetap mengadakan pembelajaran via online. Hanya saja banyak keterbatasan seperti jaringan, media, spesifikasi gawai, pulsa serta kemampuan untuk mengoperasikan aplikasi yang digunakan. Pada akhirnya kesenjangan kualitas antara yang punya akses ke teknologi dan yang tidak jadi semakin besar. Mereka yang tak punya akses memilih untuk tak menyekolahkan anaknya. Apalagi untuk anak usia dini yang biasanya menjadi pilihan terakhir buat disekolahkan.

Saya penah menuliskannya di link berikut ini : https://retizen.republika.co.id/posts/12855/tragis-85-persen-orang-tua-berkurang-minatnya-menyekolahkan-anak-ke-paud bahwa di Yogya minat orang tua menyekolahkan anak di Paud itu berkurang hingga 85%. Orang tua menganggap anak usia dini tidak terlalu penting untuk ikut sekolah jika pembelajaran dilakukan secara jarak jauh. Hal ini juga tidak lepas dari kurangnya kreatifitas guru PAUD yang hanya memberikan tugas kepada anak usia dini tanpa pendampingan, interaksi dan stimulasi maksimal.

Jadi bukan pembelajaran jarak jauh tapi menjadi pemberian tugas jarak jauh. Apalagi untuk anak usia dini, baru sebentar mengikuti pembelajaran daring sudah tidak betah ingin bermain. Belum lagi jika pikiran orang tua harus terpecah jika anaknya bukan hanya satu. Antara mendampingi anak belajar, penghasilan yang menurun, kenaikan pengeluaran, adanya anggota keluarga yang sakit atau bahkan meninggal karena korona. Pastinya menjadi gambaran betapa sulitnya situasi saat ini.

Namun satu hal yang belum banyak disadari, bahwa ketika mereka memutuskan tidak mendaftarkan anaknya ke PAUD mereka berpotensi menghilangkan potensi kecerdasan anak. Bagi orang tua yang tidak mampu menstimulasi 6 aspek tumbuh kembang anak, maka anak akan mengalami penurunan atau kemunduran kecerdasannya karena tidak berkembang sesuai usia dan potensinya.

Lalu apa sajakah tanda-tanda anak usia dini yang mengalami learning loss?

1. Aspek Perkembangan Moral dan Agama

· Hafalan dan bacaan doa anak menurun.

· Anak tidak mau mengikuti ibadah yang biasa dilakukan karena lebih suka menonton TV atau bermain gawai.

· Berkurangnya kebiasaan dan karaker baik yang biasanya diajarkan guru di sekolah.

2. Aspek Perkembangan Fisik Motorik

· Anak kurang aktif bergerak dan terlalu banyak makan. Anak bisa mengalami obesitas.

· Motorik halus kurang berkembang (meremas, menggunting, melipat, mengancingkan, menarik garis, mencetak, meronce) karena kurang ada kegiatan yang merangsang motorik halus atau banyak dibantu orang tua.

· Fisik kurang bugar karena kurang bergerak, lebih banyak bermain HP atau menonton TV. Jika terjadi terus menerus, anak bisa mengalami obesitas, kelainan postur tubuh, kelelahan mata, kerusakan retina dan kornea, serta sulit tidur. Dampak adiksi terhadap gawai juga ditengarai dapat menyebabkan radiasi gelombang elektromagnetik ke otak yang bisa menjadi pencetus kanker.

· Pertumbuhan fisik terganggu karena asupan gizi yang berkurang. Ini di antaranya terjadi karena berkurangnya atau hilangnya pendapatan orang tua

3. Aspek Perkembangan Kognitif

· Pranumerasi (memahami bentuk, posisi, konsep ukuran, pengelompokan, pola, pengukuran) kurang berkembang karena orang tua kurang memahami jenis dan cara bermain bermakna yang bisa dilakukan di rumah.

· Konsentrasi menurun, misalnya karena adanya banyak distraksi atau gangguan seperti ajakan bermain, menonton TV atau bermain gawai, dan digoda kakak.

· Kemampuan memecahkan masalah kurang berkembang karena anak terlalu dibantu oleh orang tua atau pembantu dalam mengerjakan tugas dari guru maupun dalam kegiatan sehari-ha

4. Aspek Perkembangan Bahasa

· Kemampuan menyimak kurang berkembang, misalnya karena orang tua jarang atau tidak pernah membacakan buku cerita, mendongeng, atau mengajak bercakap-cakap dan membiarkan anak menonton TV seharian.

· Minat baca kurang berkembang, misalnya karena tidak tersedia buku-buku anak untuk dibaca.

· Penguasaan kosakata baru rendah, misalnya karena orang tua tidak mengenalkan kosakata baru ketika bercakap-cakap tentang sesuatu yang dilihat, ditonton, atau dialami.

· Kemampuan menyampaikan ide, kemauan, dan perasaan kurang berkembang misalnya karena orang tua terlalu sibuk dengan diri mereka sendiri.

5. Aspek Perkembangan Sosial Emosional

· Emosi kurang stabil, anak mudah tantrum. Ini bisa merupakan dampak dari kondisi emosi orang tua yang mengalami banyak tekanan

· Kurang percaya diri, misalnya karena anak tidak dibiasakan menyampaikan pendapat, ide, dan perasaannya. Ini bisa juga merupakan akibat dari rasa kurang percaya diri yang diperlihatkan orang tua.

· Keterampilan berinteraksi kurang berkembang karena kesempatan bermain bersama teman dan orang lain terbatas.

· Kemampuan berempati kurang berkembang, karena orang tua tidak menstimulasi anak untuk berbagi, sayang dan peduli kepada teman dan orang lain, dan membantu teman yang kesulitan.

· Kemandirian kurang berkembang. Anak cenderung pasif dan tidak tahu harus berbuat apa ketika tidak dibantu atau diberitahu

6. Aspek Seni

· Anak tidak bisa membedakan suara benda yang satu dengan benda lainnya

· Anak tidak memperlihatkan minat untuk berpartisasi dalam aktivitas yang melibatkan music seperti menyanyi, menari atau senam irama.

· Anak tidak berminat dengan kegiatan kreativitas visual seperti menggambar, melukis, membuat bentuk dari playdough dll.

Jika ada anak usia dini yang mengalami tanda-tanda seperti diatas, itu artinya anak dalam kondisi tidak baik-baik saja. Perkembangan otak manusia sangat pesat pada usia 0 sd 5 tahun. Biasa disebut juga dengan usia keemasan atau Golden Age. Apabila usia 0-5 tahun itu kurang stimulasi maka akibatnya baru terasa pada saat dia sudah duduk di bangku sekolah formal.

Lantas bagaimana agar anak bisa mengejar ketertinggalan perkembangannya akibat learning loss tadi?

Jawabannya bersambung di artikel setelah ini yah.

Folow akun saya agar tidak tertinggal lanjutannya!

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image