Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Yudhi Hertanto

Manusia Tekstual

Politik | Tuesday, 17 Aug 2021, 07:32 WIB
ilustrasi: republika.co.id

Dikepung teks. Kehidupan manusia dibentuk serta membentuk teks dan maknanya. Kita menjadi makhluk teks -homo tekstual yang mengenyam teks sejak dilahirkan.

Kelahiran sebuah negara bangsa pun tidak lepas dari teks proklamasi, sebagai pernyataan kemerdekaan. Dalam aspek kesejarahan, kita mengabadikan berbagai momentum dimasa lalu melalui teks yang dihasilkannya.

Tenggok saja, narasi dalam teks Sumpah Pemuda 1928, menjadi keinginan dan semangat untuk bersatu. Pada ilmu komunikasi, teks tidak hanya pada apa saja yang dapat terbaca, namun juga meluas di berbagai hal yang dapat dimaknai, ditafsir dan dipahami.

Teks tidak melulu soal teks itu sendiri.

Sebuah teks, jelas tidak berdiri sendiri. Bingkainya adalah konteks atau menjadi situasi dari yang melingkupinya. Teks dan konteks dapat melebur menjadi satu bentuk gugusan makna.

Bersama dengan hal itu, manusia bergerak serta menyusun diri, tumbuh dan berkembang secara dinamis.

Pada kajian teks, termuat ide dasar yang menjadi penggerak bernama wacana. Bagian yang terakhir ini disebut sebagai elemen praktik sosial, melekat serta tidak dapat terpisah dari teks maupun rangkaian teks.

Kita memproses teks dalam format konsumsi informasi, lalu memproduksi teks yang baru.

Teks itu sifat asalnya netral, namun bisa jadi sarat kepentingan. Teks dapat dikekang, dibatasi, diregulasi, agar tidak menjadi teks liar yang membangkang dan membahayakan, khususnya kepentingan kekuasaan.

Begitu kerja Ministry of Truth, melalui fungsi polisi pikiran dalam karya George Orwell, 1984. Kuasa panoptik yang mengawasi gerik laku kelompok yang tersubordinasi, sebagaimana penjelasan Foucault.

Manakala teks telah terpenjara, maka dominasi dan hegemoni kepentingan yang berkerja. Pemilik kuasa akan menciptakan ruang teks yang sesuai dengan seleranya.

Tidak ada lagi area demokratis untuk membebaskan teks. Dengan itu penguasa selalu khawatir akan kehadiran sebuah teks.

Ketika teks diartikulasikan dalam tampilan mural, dengan berbagai aspek semiotiknya. Lantas karya teks tersebut di ekspose ke tengah publik, serta di eskalasi melalui instrumen media, maka sensor menjadi jawaban yang dilakukan.

Keteraturan dan ketertiban berbicara untuk mencegah gangguan bagi kepentingan kuasa.

Dalam demokrasi, teks harus diperbincangkan. Sebuah ruang dialogis harus terus dibuka. Bila teritori publik hanya berisi propaganda pemujaan, maka hal itu sejatinya berupaya untuk menjauhkan diri dari realitas yang sesungguhnya.

Kesadaran palsu tengah diinjeksi secara monolog melalui para demagog.

Perangkat tindakan komunikasi, membutuhkan dimensi kesetaraan, dengan prinsip demokrasi: kebenaran, kejujuran dan partisipasi.

Manusia selalu bergelut dengan teks, perbenturan antar teks menciptakan ruang konflik, membutuhkan upaya negosiasi, yang dapat berujung pada resolusi.

Suatu teks berkaitan dengan rentetan teks lain, menjadi sebuah intertekstualitas. Terjadi kesinambungan makna, ketidakterputusan dalam kerangka perbaharuan.

Hal tersebut menyoal genoteks sebagai makna terdahulu, dan relasinya pada fenoteks makna saat ini.

Teks bersifat lentur dan tidak rigid. Fleksibilitas teks merentang sesuai dengan persepsi penafsir. Sebuah teks dapat berubah, berkurang maupun bertambah sesuai arus kesepahaman bersama.

Begitu hasil kajian, Des Hanafi, Semiotika Tubuh Perempuan, 2021, yang melihat perubahan konstruksi teks pada imaji tubuh perempuan pada panil relief Candi Borobudur.

Tidak ada lineritas dan sifat sekuens dalam teks. Bentuknya, acak dan abstrak. Teks itu hidup dan menghidupi entitas sosial. Teks konstitusi, mengikat individu pada lokus komunitas.

Satu yang tidak dapat digugat, berakhir pada teks penciptaan dan permulaan, menjadi rahasia Illahiah.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image