Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Toto TIS Suparto

Santri itu Menangis Ketika Dilarang Mencium Tangan Kyai

Eduaksi | Thursday, 12 Aug 2021, 22:29 WIB

Santri itu Menangis Ketika Dilarang Mencium Tangan Kyai

Oleh Toto TIS Suparto

"Hampir setiap hari dengar kabar para kyai kita meninggal dunia. Ayo kita sama-sama jaga keselamatan para kyai. Kepada para kyai yang sudah sepuh, saya kira tidak usah dicium tangan dulu,” kata Muhaimin Iskandar, Wakil Ketua DPR kepada wartawan belum lama ini.

Tentu saja ucapan via wartawan ini lebih ditujukan kepada para santri di tanah air. Gerakan menjaga keselamatan para kyai adalah dengan mengikuti protokol kesehatan. Diharapkan santri memahaminya karena jumlah kyai yang wafat karena terpapar Covid 19 terhitung banyak.

Wakil Presiden Ma'ruf Amin mengatakan sejauh ini terdapat 605 orang kyai dan ulama yang meninggal dunia akibat Covid-19. Jumlah tersebut berdasarkan data Kementerian Agama per 7 Juli 2021 dan sudah termasuk pengasuh pesantren di dalamnya.

Banyak pesantren yang sekarang ini tidak menjalankan tradisi cium tangan kepada kyai atau ustadnya. Malah ada cerita santri yang menangis sedih gegara tak bisa lagi mencium tangan sang ustadz. Kesedihan yang bisa dimaklumi karena cium tangan merupakan ekspresi rasa hormat santri kepada kyainya. Santri yang lupa cium tangan, ia akan dianggap tidak punya sopan santun. Ia dinilai tak menerapkan etiket. Tetapi itu dulu, sebelum pandemi. Sekarang ini, gegara corona kontak fisik dihindari. Salah satunya cium tangan.

Tentang Etiket

Etiket di sini mengacu kepada pengertian yang diberikan K. Bertens (2007), bahwa etiket itu terkait sopan santun. Berbeda dengan etika yang lebih terkait moral. Namun keduanya, etika maupun etiket, mengatur perilaku manusia secara normatif. Artinya, memberi norma bagi perilaku manusia dan dengan demikian menyatakan apa yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan.

Etiket itu menyangkut "cara" suatu perbuatan yang harus dilakukan manusia, semisal cara makan, cara duduk maupun cara menyerahkan sesuatu ke orang lain. Ada "cara" menyerahkan berkas laporan ke seorang atasan, yakni secara sopan menyerahkan pakai tangan kanan. Bila menyerahkan pakai tangan kiri, maka akan keluar dari cara kelaziman. Ini artinya tidak mengikuti etiket, tidak sopan.

Hal lain, etiket hanya berlaku dalam pergaulan. Maksudnya, bilamana tidak ada orang lain, atau tak ada saksi, maka etiket tidak berlaku. Contoh sederhana, ketika sedang jamuan makan bersama kolega, angkat kaki sudah barang tentu sangat tidak sopan. Dianggap menyalahi etiket. Tetapi kalau sedang sendirian? Etiket itu tak berlaku. Tak ada orang lain yang menilainya sebagai perilaku yang tidak sopan.

Dalam praktiknya, terutama di masa pandemi ini, etiket yang dianjurkan malah menjadi tidak boleh dilakukan. Hal ini didasari oleh "aturan" pandemi : jaga jarak! Lantaran jaga jarak maka sentuhan tak terjadi.

Etiket yang Menghilang

Etiket di pesantren itu menjadi kasus menarik, akankah kelak menghilang? Benarkah bakal terjadi the lost etiquette?

Pandangan optimis akan menyatakan itu sebagai kehilangan sementara. Alasannya disampaikan oleh para etikawan, bahwa etiket itu bersifat relatif. Ia bisa terpengaruh budaya maupun waktu. Dari sisi budaya, ada etiket yang dianggap sopan di suatu tempat, tetapi biasa saja di tempat lain karena perbedaan budaya. Dari sisi waktu, sopan santun di zaman dahulu mungkin berubah pada saat ini karena perkembangan teknologi. Begitupun pergeseran akibat pandemi, kelak bisa kembali ke perilaku semula walau butuh waktu untuk membiasakan kembali. Etiket maupun etika harus dibiasakan agar menjadi pegangan sehari-hari.

Pandangan pesimistis mengabaikan relativisme etiket. Contoh paling sederhana adalah mengucapkan terimakasih. Baru- baru ini viral cuitan dari GKR Hayu, putri keempat Gubernur DIY sekaligus Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X.

Dalam curhatannya di Twitter itu, GKR Hayu menceritakan, dirinya mengucapkan terima kasih pada setiap satpam yang membantunya menyeberang dari Plaza Senayan ke Senayan City. Namun, dari belakangnya, ibu satu anak ini mendengar gerombolan yang saling berbisik mengatai GKR Hayu kampungan.

Bayangkan, mengucapkan terimakasih merupakan etiket bagi masyarakat negeri ini, tetapi anehnya, sekelompok anak muda menyebut etiket itu sebagai "kampungan". Artinya, mereka menyatakan secara tak langsung bahwa mengucapkan terimakasih di zaman ini sudah tak perlu lagi. Tak lagi modern. Ada pergeseran etiket seiring perkembangan zaman. Inilah yang layak dicemaskan. Masih banyak etiket, semacam ucapan terimakasih tadi, yang dianggap "kampungan" oleh generasi milenial.

Maka dari itu, entah itu pandangan optimistis ataupun pandangan pesimistis, tetap saja musti ada upaya mempertahankan etiket. Bisa jadi etiket sungguh-sungguh menghilang jika tidak ada kebersamaan merawatnya. Pekerjaan rumah bersama adalah merawat warisan etiket itu! (*)

Toto TIS Suparto, Pengkaji Filsafat Moral

===================

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image