Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dr. WAODE NURMUHAEMIN.

The Goodfather Dan Erosi Simpati Dunia Modern

Sastra | Saturday, 07 May 2022, 09:44 WIB

Saya membaca novelnya ketika berkuliah dulu, di Perpustakaan wilayah Sultra. Novel itu bercerita tentang kehidupan bos mafia dari Sisilia Italy, yang ditakuti di Amerika pada tahun 70 an. Konon sang Goodfather sangat kejam. Baginya membunuh seperti menepis lalat saja yang hinggap ditanganya. Akibatnya lawan-lawannya hampir setiap hari mencari cara menghabisi dia dan keluarganya. Begitu banyak orang yang dendam terhadap Goodfather ini. Kisah ini melegenda di Amerika hingga sekarang. Kemarin saya memesan ulang bukunya. Ada banyak pelajaran hidup yang saya dapatkan yang samar-samar terlupakan. The Goodfather, dibalik kekejamannya, mengajarkan untuk tetap bertahan menghadapi kerasnya riak-riak kehidupan dunia mafia.

Sumber : Koleksi buku penulis

Mengapa manusia tidak mudah memaafkan dan cenderung memilihara dendam? Seperti kisah The Goodfather, dari sisi psikologi sangat gampang untuk dijawab. Perasaan tersakiti. Semakin tinggi kadar tersakiti, semakin tumbuh subur dendam yang ada dalam diri. Wajar saja kalau diliat dari aspek dan sisi humanis. Manusia bukan malaikat, sesederhana itu untuk mewajarkan semua. Rasa ingin membuat seseorang menderita sama seperti yang kita alami adalah tujuan jangka panjang dari dendam. Dalam hubungan sosial, kita gampang kecewa dengan orang lain tanpa pernah mau mengandaikan kalau kita yang diposisi dia. Semua melihat kebenaran dari sisinya sendiri. Menjadi lebih kompleks manakala ketika kita berhadapan dengan komunitas yang tidak punya tradisi minta maaf ketika melakukan kesalahan yang membuat orang lain menjadi korban sikap egois tersebut. Bersikap bodoh amat memang kerap menjadi solusi untuk semua masalah yang menyangkut hubungan sosial. Kadar bodoh amat, tergantung dari seberapa ketidak dekatan kita terhadap orang atau komunitas. Ditengah-tengah kemajuan teknologi, rasa-rasanya sudah hampir punah yang namanya ketulusan. Semua berdasar take and give. Normal saja, semua orang punya skala prioritas. Adalah kemewahan ketika mendapatkan orang yang mau memberikan banyak waktunya untuk kepentingan kita. Bukan skeptik, namun demikianlah adanya. Betapa banyak pesan yang tidak kita jawab, bahkan untuk sebuah pertanyaan yang hanya memerlukan jawaban iya atau tidak , ada yang sampai menjawabnya tiga hari bahkan seminggu dengan kondisi yang sama kita ketahui bahwa semua orang pasti memegang HP dalam 24 jam. Begitu rumitnya hubungan manusia di zaman ini, bahkan sebuah penelitian menunjukan bahwa sikap seseorang terhadap kita bisa dilihat kecepatanya dalam merespon pesan yang kita kirim. Mungkin juga ada faktor bosan, yang jelas memang demikian adanya. Waktu yang dimiliki seseorang semakin berharga.

Banyak penelitian yang memfokuskan sikap abai dan tidak simpatik seseorang di medsos. Bagaimanapun dunia kita pindah ke dunia maya , sehingga pola hubungan komunikasi hampir 100 persen menjadi virtual. Kesalahpahaman banyak terjadi. Apalagi di dunia maya, sikap kita kerap berbeda dengan di dunia nyata. Ada yang pendiam di dunia nyata, teryata ahli buly di dunia maya dan sebaliknya. Ada yang ramai di dunia maya aslinya pendiam di dunia nyata. Demikan lah paradox yang terjadi, banyak orang yang kemudian secara dramatik memutuskan untuk tidak memiliki satu medsos pun. Trauma dan luka akibat medsos menjadi trend baru indikator prilaku kita. Saya sendiri sudah tidak lagi membuka FB sejak tahun 2020.

Sudah tidak ada yang menarik di FB. Kalau sekedar rmau dapat informasi, ada media-media online yang bisa kita akses setiap menit. Di beberapa negara maju, bahkan peringkat-peringkat medsos tidak segegap gempita di Indonesia. Orang sudah lebih menjaga privasi. Kejahatan siber dimana-mana. Dari satu foto yang kita upload, penjahat siber bahkan bisa mengetahui rekening kita, No KTP dll. Meskipun kita bukan selebriti, sekurang-kurangya informasi yang mereka dapat bisa jadi jalan masuk untuk sekedar menguras rekening bank yang tidak seberapa yang kita miliki. Kita semua patut waspada dengan kejahatan online.

Belum lagi akibat lain yang ditimbulkan medsos sangat tidak terduga, baru-baru ini dikantor saya, ada rekan yang saling melaporkan ke polisi akibat komen di Fb. Bukan saja adu mulut, adu fisk pun terjadi yang berujung mutasi kedua belah pihak. Mengapa demikian? FB memiliki efek dashyat. Bayangkan saja teman kita ribuan yang membaca kalimat hinaan bahkan sindiran yang entah apa maslahatnya Beda jika digrup WA paling banyak angggotanya ratusan itupun tidak jarang obrolan di Wa berakhir dipengadilan.

Berkaca dari kisah Fenomenal “ The Goodfather” diawal mula tulisan saya, The Goodfather, sudah lama musnah di dunia nyata. Namun, lakon The Goodfather saat ini sudah migrasi di dunia maya. sudah saatnya mengevaluasi secara komprehensif laku dan tingkah di dunia maya dan nyata. Tidak mempertanyakan dan memperpanjang apapun mungkin sikap terbaik. Seperti prinsip ratu Elisabeth dari Inggris, jangan mengeluh, jangan mempertanyakan maka konflik dengan siapapun akan teredam.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image