Siklus Kebahagiaan: Payback your Success!
Gaya Hidup | 2022-05-07 07:02:10(Bagian terakhir dari tulisan: Belajar dari Jusuf Hamka, Sjaiful H.Naumin Hingga Houtman Zainal Arifin)
Untuk bagian pertama tulisan ini bisa diklik di link ini.
***
Payback your Success
Seperti juga Jusuf Hamka, lalu nilai-nilai apa yang mendorong Sjaiful Hamdi Naumin dan Houtman Zainal Arifin untuk “menukar” masa kesuksesan mereka sehingga mau repot mengurusi anak yatim dan dhuafa? Bagian di atas sebetulnya telah memberikan gambaran. Ialah siklus hidup yang membuat mereka merasa bukan hanya perlu, tetapi bahkan berkewajiban untuk berkhidmat pada yatama wal masakin.
Anies Baswedan pernah menginisiasi dan mempopulerkan Payback Movement (Gerakan Membayar Kembali) yang berusaha menggugah tanggung jawab dan kepedulian sosial orang-orang menengah atas atas kesuksesan yang mereka dapatkan. Bahwa di balik kesuksesan mereka, ada kemudahan yang telah diberikan Negara, dunia pendidikan, dan lainnya, sehingga setelah sukses semestinya ada komitmen membayar kembali, membalas budi ke dunia pendidikan, ke masyarakat. Pesan yang digaungkan Anies ini semestinya sangat menyentil kesadaran terdalam kita, mengingatkan kembali ihwal proses dan asal usul, sehingga harapannya muncul kepekaan, empati dan peduli. Karena sejatinya, setiap kesuksesan yang kita rengkuh, sekecil apapun, tidaklah mungkin steril dari keterlibatan orang lain.
Siklus hidup seorang Muslim tidak boleh hanya berhenti dari miskin menjadi sukses dan kaya, dari kekurangan menjadi berlebih, dari bodoh menjadi pintar, dari susah menjadi senang. Lebih dari itu, sikap setelah sukses, setelah kaya, setelah berlebih, setelah pintar, setelah senang atau bahagia itu yang jauh lebih penting sebagai wujud tanggung jawab moral-kemanusiaan maupun terutama wujud optimalisasi nikmat dan anugerah yang diberikan Allah (syukur).
“Kalau dulu saya miskin sehingga kekurangan, maka saat saya kaya semestinya berlebih. Lalu, ke mana kelebihan ini harus kita belanjakan, maka tengoklah asal usul kita yang miskin dan kekurangan. Belenjakan kelebihan harta kita untuk mengurusi orang-orang miskin yang kekurangan,” demikian filosofi yang sering disampaikan Sjaiful, yang juga diyakini oleh Houtman Zainal Arifin.
Seperti halnya Anies Baswedan dengan gerakan payback-nya, apa yang diajarkan Ayah ke kami seolah ingin membuktikan bagaimana komitmen untuk peduli dan berbagi, utamanya dalam mengurusi anak-anak yatim dan miskin, adalah sesuatu yang logis secara moral kemanusiaan kita maupun daam kerangka menjaga keseimbangan sistem sosial. Dengan menginsafi asal usul, maka orang-orang sukses, orang kaya, orang pintar, mau menunjukkan rasa balas budinya terhadap masa lalu.
Syukur, Berkah, dan Bahagia
Kesadaran atas asal usul disertai komitmen untuk berterima kasih terhadap kondisi kekinian yang lebih baik, adalah sebuah perwujudan dari kualitas syukur. Dan sikap syukur ini bukanlah perkara mudah, justru karena begitu banyaknya anugerah yang Allah berikan untuk kita dan seringkali kita anggap sebagai sesuatu yang taken for granted. Seperti disindir Allah dalam QS. An-Nahl: 18: “Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitung jumlahnya”. Dalam bahasa Bang Imad (Dr. Imaduddin Abdulrahim), ayat ini menunjukkan bahwa sikap syukur itu sejatinya tidak mudah, ia membutuhkan ilmu agar syukurnya pun optimal.
Karena dengan syukur yang benar, maka hasilnya adalah produktif. “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya kami akan menambah (nikmat) kepadamu” (QS. Ibrahim: 7). Untuk itu, siapapun yang mau bersyukur, membelanjakan rizkinya untuk berbagi ke sesama, untuk mengurusi anak-anak yang dhuafa, yakinlah bahwa kenikmatan itu justru akan bertambah, baik kuantitas maupun kualitasnya. Alih-alih harta yang kita belanjakan berkurang, justru Allah akan melipatgandakannnya beratus kali (QS. Al-Baqarah: 261).
Segala sesuatu yang berlipat kebaikannya, terus bertambah dan bertumbuh, inilah yang dimaksud dengan konsep berkah, ziyadatul khair. Bahkan meski secara kuantitas mungkin jumlahnya sedikit, kemanfaatannya bisa optimal. Kita pernah memegang uang besar tapi tahu-tahu habis tak berbekas. Tapi suatu waktu kita punya uang sedikit tapi manfaatnya bisa optimal, terasa untuk diri maupun orang lain. Orang Jawa yang kaya dengan filosofi hidup, menyimpulkannya dalam ungkapan; “Sitik asal berkah”.Itulah kemanfaatan yang optimal, ia menenangkan dan menghadirkan rasa bahagia.
"Saya pikir kekayaan itu bukan di harta (saja). Banyak orang-orang kaya tapi tidak ada kehormatan, tidak ada kebahagiaan. Kebahagiaan itu datangnya pada diri kita, begitu kita melihat orang susah kita ikut susah dan sedih dan kita bisa ikut sedikit membahagiakan, itu adalah kebahagiaan. Dan di kebahagiaan itulah terdapat kekayaan," kata Jusuf Hamka dalam sesie podcast dengan channel The Sungkars.
Kalau sedikit habis, maka ketika banyak semestinya ada lebih, ada sisa. Kalau kelebihan ini kita belanjakan sebagian saja untuk orang yang membutuhkan, maka sesungguhnya kita sedang berusaha bersyukur sekaligus mengikhtiarkan agar harta kita berkah, menenangkan. Karena konon, kebahagiaan tertinggi bukanlah saat kita bahagia, melainkan saat kita bisa memberikan kebahagiaan untuk orang lain. Dan kebahagiaan itu akan melanggeng saat orang-orang yang kita bagi, kita berdayakan, kelak melakukan kebaikan yang sama untuk orang-orang lain yang juga dhuafa. Adakah yang lebih membahagiakan dari siklus ini? []
_______________
Sebagian dari naskah tulisan ini pernah dimuat dalam buku: Lawan Minder Raih Sukses
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.