AKAL DALAM PERSFEKTIF EPISTEMOLOGI ISLAM
Agama | 2021-08-02 17:20:38AKAL DALAM PERSFEKTIF EPISTEMOLOGI ISLAM
Segala ciptaan Allah baik yang bergerak maupun tidak bergerak, yang ada di bumi maupun di luar angkasa, baik yang nyata dan tidak nyata, baik yang bernyawa maupun tidak bernyawa, semua memiliki ciri khas dan kelebihan yang berbeda. Seluruhnya itu adalah ciptaan Allah Yang Maha Kuasa atas segala-galanya dan segala sesuatu yang dikehendaki-Nya dapat terjadi. Diantara semua makhluk-Nya memiliki nama atau sebutan, tugas dan kewajiban yang berbeda, ada yang dicipkatan hanya untuk beribadah kepada-Nya (Malaikat), ada juga yang menjadi pemimpin di muka bumi serta beribadah kepada-Nya yaitu manusia, dan ada juga yang diciptakan untuk hidup dan makan saja, yaitu hewan atau binatang.
Terkhusus untuk makhluk Allah yang disebut manusia, Allah menciptakan dengan lebih istimewa dibandingkan dengan makhluk-makhluk-Nya yang lain, yaitu dengan diberi insting (rasio atau akal), dan rasa (kalbu atau hati nurani) yang mana tidak semua makhluk memilikinya. Dengan adanya akal yang sehat manusia dapat menggunakan akal tersebut semaksimal mungkin. Dalam Islam akal adalah suatu potensi abstrak berwujud aksiden yang berada pada hati yang dimana apabila dengannya ia dapat melakukan kontemplasi dan perenungan terhadap suatu hakekat dan makna sekaligus justifikasi serta pertimbangan mengenai nilai yang baik maupun yang buruk.
Secara terminologis âaql didefinisikan sebagai suatu kekuatan potensial dalam memperoleh ilmu dan merupakan kekuatan seseorang untuk memperoleh suatu ilmu. Menurut Al-Imam al-Fayruz Abadi bahwa hakekat akal adalah cahaya rohani (nur ruhani), dengannya jiwa dapat memperoleh ilmu mengenai hal-hal yang bersifat fundamental (daruriyyah) dan yang intelektual (nazariyyah). Rasio atau akal merupakan suatu cahaya spiritual yang berada didalam batin seseorang, dengan adanya hati seseorang dapat melihat sesuatu yang inderanya tidak mampu melihat dengan melakukan kontemplasi, pemikiran dan sebuah perenungan yang mendalam dengan taufiq dari Allah SWT setelah kemampuan indera fisik sampai pada puncaknya.
Meskipun Islam sangat memuliakan dan memperhatikan akal, tetapi tidak menyerahkan segala sesuatu kepada akal semata, namun Islam juga membatasi ruang lingkup akal sesuai dengan kemampuannya, karena akal sangat terbatas jangkauannya yang tidak akan mungkin bisa menjangkau hakekat segala sesuatu. Akal memang bukan penentu segalanya, tetapi akal akan tetap memiliki kemampuan dan kapasitas yang terbatas. Dengan itu Allah SWT menurunkan wahyu-Nya untuk membimbing manusia agar berada pada jalan yang benar.
Kemudian turunlah Al-Qurâan sebagai wahyu Allah yang berada ditengah-tengah umat yang memiliki berbagai kultur dan budaya yang berbeda sehingga pada akhirnya mereka dapat bertemu dalam mengemukakan kebenaran mutlak dengan perantara akal dan wahyu. Dengan ini banyak ayat-ayat di dalam Al-Qurâan yang mengungkapkan bahwasanya akal merupakan salah satu sumber pengetahuan yang benar dalam diri manusia dan seberapa penting akal dalam kehidupan manusia tersebut.
Seperti yang ada didalam firman Allah dalam surat Ar-Raâdu ayat 19:
Ø£ÙÙ Ù ÙعÙ٠أÙÙ٠آ Ø£Ùز٠إÙÙ٠٠٠رÙبÙ٠اÙØÙ ÙÙ Ù Ù٠أع٠٠إÙ٠اÙتذÙÙر Ø£ÙÙ٠اÙØ£Ùبب (19)
âAdakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal saja dapat mengambil pelajaranâ(Ar-Raâdu:19)
Banyak kata âakalâ didalam Al-quran dengan aneka bentuk yang mengisyaratkan seberapa penting peranan akal. Jika seseorang kehilagan akal maka hukum apapun tidak akan berlaku baginya. Dengan akal lahirlah kemampuan yang dapat menjangkau pemahaman sesuatu yang dapat mengantar pada dorongan berakhlak luhur. Seseorang dapat dikatakan sempurna dan bersih akalnya apabila seseorang tersebut mengetahui, memahami dan menghayati bahwa di balik fenomena alam dan segala sesuatu yang ada didalamnya menunjukkan adanya Sang Pencipta Allah SWT.
Pemakaian akal dalam agama Islam diperintahkan langsung oleh Allah SWT melalui wahyu-Nya yang berwujud Al-Qurâan. Karena Al-Qurâan itu sendiri baru dapat dipahami, dihayati, dan dipraktekkan hanya oleh orang-orang yang berakal. Apabila terjadi kekeliruan dalam pemahaman terhadap akal maka dapat menyebabkan terjadinya kekeliruan pula dalam merumuskan tujuan dan materi pendidikan.
Maka dari itu jelas bahwa hubungan antara akal dan wahyu tidak bertentangan, hanya saja jangkauan akal yang sangat terbatas, sementara wahyu yang otoritasnya dari Yang Maha Benar sangat tidak terbatas. Jadi, akal hanya sebagai sumber maârifat namun maârifat yang digalinya terbatas, sedangkan hakikat wahyu tidak akan berbenturan dengan apa yang dicapai oleh akal manusia.
Daftar Pustaka:
Kamarasyid Alio, Mawaâizh Jurnal Dakwah dan Pengembangan Sosial Kemanusiaan, Vol.9,no.1 (2018), pp. 76-104, Bngka Belitung, Indonesia.
Shadiq Sandimula Nur, Potret Pemikiran, Vol.23, no.1 (2019), pp. 19-25, Manado.
Amin Muhammad, Tarbawi Jurnal Pendidikan Agama Islam, Vol.3, no.1 (2018), pp.80-92, Makassar.
Hatta Muhammad, Itqan, Vol.VI, no. 2 (2015), pp. 141-152, Tekagon.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.