Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Harits Masduqi

Berlaku Sederhana dalam Perjalanan Hidup nan Fana

Agama | Monday, 02 Aug 2021, 09:43 WIB

"Anak lelaki tak boleh dihiraukan panjang, hidupnya ialah buat berjuang, kalau perahunya telah dikayuhnya ke tengah, dia tak boleh surut palang, meskipun bagaimana besar gelombang. Biarkan kemudi patah, biarkan layar robek, itu lebih mulia daripada membalik haluan pulang" (Prof. Dr. Abdul Malik Karim Amrullah).

Beberapa tahun lalu aku beruntung memperoleh rezeki beasiswa, mengikuti pelatihan selama 6 bulan, dan akhirnya memperoleh sertifikat mengajar Bahasa Inggris (Certificate in English Language Teaching) dari University of Cambridge, Inggris. Dengan berbekal sertifikat profesi internasional tersebut, aku sebenarnya bisa mengajar Bahasa Inggris tidak hanya di Indonesia tapi juga di luar negeri. Ditunjang dengan pengalaman pernah menjadi dosen tamu di sebuah universitas di negeri kangguru beberapa waktu yang lalu, aku juga berpeluang untuk mengajar mata kuliah Indonesian Studies di kampus-kampus luar negeri. Andai tidak ingat janji dan tanggung jawab di dalam negeri, rasanya aku ingin berpetualang, berkelana, dan bekerja di mancanegara.

Apakah aku bisa sukses berkarir di luar negeri? Sejujurnya aku tidak tahu. Yang pasti, sebagai orang Jawa yang relijius, aku percaya bahwa hidup itu sawang sinawang atau pandang memandang saja, terlepas dari tinggal di dalam atau luar negeri. Belum tentu orang yang hidupnya tampak makmur itu pasti juga bahagia. Kebahagiaan itu ada di hati dan tidak bisa diakali. Hidup sederhana itu lebih mulia daripada nampang dengan barang hutangan atau kreditan.

Bila tinggal di Kota Malang, aku tidak memiliki mobil untuk bepergian, cukup sepeda motor sebagai teman setia yang menemani aku pergi bekerja dan jalan-jalan di kampung halaman. Hatiku tidak terangsang meniru teman-teman yang memaksakan diri untuk membeli rumah megah dan mobil mewah.

Bukankah perjalanan hidup sementara di dunia ini idealnya berpondasi pada kesederhanaan dan bertitik tolak dari kesiapan kita menghadapi perjalanan hidup selanjutnya?

Nabiyullah Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam pernah berdialog dengan seorang pria yang bertanya, "Siapakah manusia terbaik, wahai Rasulullah?” Rasulullah pun menjawab, "Orang yang panjang umurnya dan bagus amalnya." Kemudian pria tersebut bertanya sebaliknya, "Siapakah manusia terburuk, wahai Rasulullah?" Rasulullah lalu menjawab, "Orang yang panjang umurnya namun jelek amalnya."

Pada kesempatan lain, seorang sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, siapakah orang mukmin yang paling cerdas?" Rasulullah lalu menjawab, "Yang paling banyak mengingat mati, kemudian yang paling baik dalam mempersiapkan kematian, itulah orang yang paling cerdas."

***

Di sepertiga malam ketika aku sendiri menatap rembulan, ketika kebanyakan tetangga mungkin sudah tertidur pulas mendengkur, aku tersenyum puas menikmati udara segar dan ibadah menjelang fajar. Aku sudah merasakan sebagian hikmah kehidupan dan merasa bahagia dalam kesederhanaan.

Mungkin ada benarnya apa yang pernah disampaikan oleh sastrawan ternama Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, pada zaman dahulu kala, "Jarang orang mau mengakui, kesederhanaan adalah kekayaan yang terbesar di dunia ini: suatu karunia alam. Dan yang terpenting diatas segala-galanya ialah keberaniannya. Kesederhanaan adalah kejujuran, dan keberanian adalah ketulusan."

Akhirnya ijinkan aku menutup tulisan sederhana ini dengan terjemahan Q.S. Al-'Asr, "Demi masa. Sungguh, manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasehati untuk kebenaran dan saling menasehati untuk kesabaran."

Good luck, everyone!

@HaritsMasduqi

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image