Pajak Sembako, Inflasi dan Daya Beli
Politik | 2021-08-02 00:36:57Penyebaran virus corona atau Covid-19 yang begitu cepat telah memberikan pengaruh yang besar bagi perekonomian dunia. Lonjakan jumlah penderita dengan fatality rate yang tinggi sangat mengkhawatirkan dan menyebabkan kepanikan baik di kalangan pemerintah, masyarakat, maupun dunia usaha.
Kondisi pandemi saat ini penuh dengan ketidak pastian dan menyebabkan kepanikan baik di kalangan pemerintah, masyarakat, maupun dunia usaha, sehingga dalam upaya pencegahan, telah banyak strategi dan upaya untuk menekan angka yang terpapar covid-19 dan kematian, yaitu melalui vaksinasi yang diajalankan secara intensif, pembatasan sosial berskala besar, Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat skala mikro, namun kondisinya tidak sesuai harapan yang terpapar saat ini semakin jauh meningkat, dan saat ini pemerintah memberlakukan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) darurat.
Respon pemerintah dan masyarakat untuk melakukan upaya pencegahan, seperti lockdowns, work from home, dan physical distancing menyebabkan orang menghabiskan lebih banyak bagian dari anggaran rumah tangga mereka untuk kebutuhan primer seperti makanan dan perumahan, sementara lebih sedikit orang yang membeli hal-hal yang tidak penting, seperti tiket pesawat dan pakaian. Kemudian dengan pendapatan turun karena jutaan orang kehilangan pekerjaan, pengeluaran untuk barang-barang yang tidak penting kemungkinan besar akan tetap tertekan.
Disorganisasi rantai suplai dan distribusi dunia, kelangkaan pekerja konstruksi dan pertanian sementara, bahkan kelangkaan shipping containers, semuanya berdampak luas pada biaya produksi. Kenaikan biaya mengikis margin keuntungan dan dapat mendorong perusahaan untuk menaikkan harga yang akhirnya menyebabkan inflasi. Inflasi merupakan kecenderungan naiknya harga barang dan jasa pada umumnya yang berlangsung secara cepat dan terus menerus.
Pada saat negara-negara lain sibuk mengkhawatirkan inflasi akibat pandemi tersebut, Indonesia sebaliknya. Jika pada tahun-tahun sebelumnya perekonomian Indonesia ditekankan untuk mencapai pertumbuhan yang optimal dengan angka inflasi yang relatif tinggi, dalam rentang waktu satu tahun terakhir ini pertumbuhan ekonomi Indonesia cenderung melambat dengan tingkat inflasi yang relatif rendah.
Tingkatan inflasi yang rendah bukanlah merupakan hal yang bagus, karena tingkatan inflasi yang rendah merupakan indikasi bahwa daya beli masyarakat menurun. Inflasi yang rendah cenderung dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi dan menekankan upah. Permintaan yang rendah ini bahkan dapat menyebabkan resesi dan meningkatkan tingkat pengangguran.
Menurut ilmu ekonomi modern, terdapat dua jenis inflasi yang berbeda satu sama lain, yaitu inflasi karena dorongan biaya (cost-push inflation) dan inflasi karena meningkatnya permintaan (demand-pull inflation). Inflasi adalah proses meningkatnya harga secara umum dan terus-menerus sehubungan dengan mekanisme pasar yang dipengaruhi banyak faktor, seperti peningkatan konsumsi masyarakat, likuiditas di pasar yang berlebih. Sehingga memicu konsumsi atau bahkan spekulasi, hingga ketidaklancaran distribusi barang. Inflasi merupakan indikator untuk melihat tingkat perubahan, dan inflasi dianggap terjadi apabila proses kenaikan harga berlangsung terus-menerus dan saling berpengaruh satu sama lain.
Untuk meningkatkan tingkat inflasi tersebut pemerintah berencana untuk memungut pajak pertambahan nilai (PPN) terhadap barang kebutuhan pokok atau sembako yang berfokus untuk menambah pendapatan negara. Selain dari hal tersebut tujuan utama dari PPN juga untuk mereformasi sistem perpajakan.
Rencana pemerintah untuk memungut pajak sembako tertuang dalam draf kelima revisi Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Bersumber dari cnnindonesia.com. Pengenaan pajak tersebut diatur dalam pasal 4A draf revisi UU Nomor 6, yang berisikan Barang kebutuhan pokok serta barang hasil pertambangan atau pengeboran dihapus dalam kelompok jenis barang yang tidak dikenai PPN. Yang berarti sembako tak lagi menjadi objek yang tak dikenakan PPN.
Sembako yang akan dikenakan PPN tersebut merupakan jenis kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan masyarakat yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor 116/PMK.010/2017 dengan rincian sebagai berikut, beras dan gabah; jagung; sagu; kedelai; garam konsumsi; daging; telur; susu; buah-buahan; sayur-sayuran; ubi-ubian; bumbu-bumbuan; dan gula konsumsi.
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menerangkan bahwa dampak dari kebijakan tersebut adalah sebagai berikut: Harga jual barang kebutuhan pokok naik, kenaikan harga barang pokok mendorong inflasi, inflasi tinggi membuat harga barang lain naik, akan tetapi dengan harga barang naik hal tersebut akan menekan daya beli masyarakat yang menyebabkan konsumsi rumah tangga melemah.
Sehingga kebijakan tersebut dapat dikatakan kontraproduktif dengan program pemerintah dalam melakukan pemulihan ekonomi Nasional. Karena masyarakat masih berhadapan dengan kesulitan ekonomi akibat pandemi covid-19. Daya beli masyarakat saat ini belum pulih. Sehingga apabila kebijakan PPN terhadap sembako dilaksanakan, daya beli masyarakat akan lebih tertekan. Artinya kebijakan tersebut akan lebih menyulitkan masyarakat di masa pandemi ini.
Dari masalah tersebut Ketua Kapoksi Fraksi NasDem Komisi XI DPR-RI yang membidangi masalah keuangan, Fauzi H Amro memberikan pendapat, bahwa Kemenkeu dan pemerintah dapat menambal kekurangan APBN dari sektor pajak, tetapi bukan dengan cara menarik pajak sembako. Misalnya dengan mencari sumber pendapatan lain, salah satunya dengan mengejar pajak perusahan-perusahaan teknologi yang beroperasi di Indonesia seperti Google, Facebook, Instgram, Twitter, Netflix dan lain-lain, serta Pajak Penghasilan (PPh) bagi pelaku e-commerce atau toko online, marketplace seperti Tokopedia, Bukalapak, Shopee, Gojek, Grab, dan lain-lain. (Dalam medcom.id 14/06/2021)
Sehingga dengan alternatif pendapat yang diberikan oleh Ketua Kapoksi Fraksi NasDem Komisi XI DPR-RI yang membidangi masalah keuangan, Fauzi H Amro tersebut dapat meningkatkan inflasi, daya beli masyarakat dapat masuk ke fase recovery (pemulihan), dan juga menambah pendapatan negara.
Dan apabila pengenaan PPN hanya berlaku terhadap jenis sembako kategori premium seperti: daging sapi kobe, beras basmati, dst yg selama ini menjadi konsumsi untuk kalangan masyarakat kelas atas, sesuai dengan sumber amp.kompas.com berikan, maka kebijakan pajak sembako tidak akan terlalu berpengaruh pada daya beli masyarakat.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.