Sejarah Ilmu Nahwu dan Perkembangannya
Sejarah | 2021-07-31 14:56:31Salah satu cabang linguistic ilmu nahwu sejak awal perkembangan sampai saat ini menjadi bahan kajian dikalangan pakar linguistic Bahasa arab. Ilmu nahwu dapat dipelajari dengan dua Langkah yaitu dipelajari sebagai prasyarat yang mana referensinya ditulis dengan Bahasa arab, contohnya ilmu tafsir, ilmu hadits dan ilmu fiqh. Yang kedua ilmu nahwu dipelajari sebagai tujuan titik Bahasa. Ilmu nahwu telah menjadi tradisi perkembangan pada masa dahulu sampai sekarang karena semua pakar agama islam sejak lahir sampai sekarang mempunyai penguasaan yang baik terhadap ilmu nahwu. Beberapa pakar ilmu nahwu yang handal dalam ilmu agama juga kepakaran mereka diakui dibidang ilmu nahwu ialah Imam Ibnu Katsir, An-Nawawi, Jalaluddin A-Suyuthi, Ibnu Hisyam, dan Az-Zaamakhsyari.
Syauqi Dlaif membagi perekembangan nahwu berdasarkan aliran-aliran, aliran tersebut sebagai berikut
· Aliran Basrah
· Aliran Kuffah
· Aliran Baghdad
· Aliran Andalusia
· Aliran Mesir[1]
Aliran basrah dan kuffah disebut sebagai aliran pertama karena mempunyai otoritas yang tinggi juga mempunyai pendukung yang banyak dan fanatic, Adapun ketiga aliran yang lain disebut sebagai aliran turunan yang berinduk pada salah satu aliran utama. Perkembangan ilmu nahwu muncu dari Ali bin Abi Thalib saat menjdi khalifah gagasan ini disepakati oleh semua pakar linguistic arab dan ada dorongan dari beberapa fakor, antara lain factor agama dan factor social budaya. Maksud dari factor agama ialah usaha pemurnian Al-Qurâan dari bacaannya. Dari sisi social budaya bangsa arab dikenal mempunyai kebanggaan dan fanatisme yang tinggi terhadap Bahasa yang mereka miliki. Factor ini mendorong manusia berusaha untuk memurnikan Bahasa arab dari pengaruh asing, kesadaran tersebut semakin lama semakin besar sehingga thap demi tahap manusia mulai memikirkan langkah-langkah pembakuan Bahasa dalam bentuk kaidah-kaidah. Dukungan dari khalifah Ali bin Abi Thalib mempunyai komitmen trhadap Bahasa arab dan Al-Qurâan sedikit demi sedikit disusun kaidah-kaidahnya kemudian menjadi pertumbuhan ilmu nahwu, sebagaimana terjadi pada ilmu-ilmu yang lain. Ilmu nahwu tidak begitu muncul dan langsung sempurna dalam waktu singkar, melainkan berkembangan tahap demi tahpa dalam kurun waktu yang cukup lama[2].
Abu Aswad ad-Duali adalah orang pertama yang mendapatkan kepercayaan dari khalifah Ali bin Abi Thali dalam menangani dan mengatasi masalah lahn yang mulai mewabah dikalangan masyarakat muslim. Ali bin Abi Thalib memilih beliau karena beliau adalah salah seorang penduduk basrah yang berotak genius, berwawasan luas, dan berkemampuan tinggi dalam Bahasa arab. Berbagai Riwayat menguatkan bahwa Abu Aswad al-Duali adalah tokokh peletak dasar ilmu nahwu, salah satu Riwayat yang popular dan diakui oleh para ahli adalah bahwa Abu al-Aswad al-Duali karena ia berjasa dalam memberi harokat pada mushaf Al-Qurâan, karena kita ketahui bahwa awalnya Al-Qurâan itu tidak bertitik dan tidak menggunakan tanda baca, tidak ada pembeda dalam bacaan al-Qurâan karena khawatir akan kesalahan dalam membaca Ziad bin Abi Sufyan meminta Abu Aswad al-Duali untuk mencari solusi yang tepat hingga menemukan jalan yaitu memberi tanda baca dalam al-Qurâan dengan tinta yang warnanya berlainan dengan tulisan al-Qurâan. Tanda bac aitu adalah titik diatas huruf untuk fathah, titik dibawah untuk kasro dan titik disebalah kiri atas untuk dhommah. Cukup besar jasa Abu Aswad al-Duali dalam menyatukan umat islm melalui bacaan al-Qurâan yang sama. Jika setiap orang membaca al-Qurâan dengan pendapatnya sendiri betapa rapuhnya umat islam pasti terjadi penafiran yang berbeda-beda, dan hal itu akan menjadi potensi yang cukup besar untuk terjadinya perpecahan dikalangan umat islam.
Berkat jasa Abu Aswad al-Duali dalam memberi tanda bacaan al-Qurâan maka ia dijuluki sebagai peletak dasar sintaksis Bahasa arab dan setelahnya banyak masyarakat yang dating kepadanya untuk belajar ilmu qiroah dan daar-dasar ilmu Bahasa arab. Abu Aswad menjalankan proses pembelajaran iroah dan dasar-dasar Bahasa arab dimasjid Jamiâ kota Basrah. Dari sinilah kota Basrah dikenal sebagai kota kelahiran sintaksis Bahasa arab. Di kalangan tersebut banyak murid yang berhasil kemudian menjadi generasi-generasi penerus yang mengembangkan gagasan-gagasan yang telah dirintisnya diantaranya ialah Ansabah al-Fil, Nasr bin Ashim al-Laitsiy, Yahya bin Yaâmur. Bentuk perkembangan ilmu nahwu sampai pasa masa Yahya bin Yaâmur dan Nasr Ashim ialah pembakuan sebagai istilah sintaksis Bahasa arab seperti rafaâ nashab, jar, tanwin dan iârab. Disaat kota Basrah sedang maju dalam mengkaji berbagai hal yang berkaitan dengan Bahasa arab sampai pertengahan akhir abad kedua hijriah, kota Kufah masih berjutat pada pembacaan al;Qurâan dan pengumandangan syair dan prosa.
Kemajuan kota Bashrah dalam bidang Nahwu tidak terlepas dari peranannya dalam bidang sosial budaya. Karena Bashrah saat itu menjadi pusat perdagangan negara Iraq, sehingga kota itu banyak pertukaran budaya dengan negara asing[3].
Factor yang menjadi penyebab munculnya gagasan penyususnan ilmu nahwu adalah faktor peradaban yaitu masa disaat agama islam masuk dalam dunia arab. Perkembangan ilmu nahwu dalam abad pertama meluas hingga kota Mekkah atas peranan Ibnu Abbas dan kota Madinah atas peranan Abdurrahman bin Hurmuz al-Madani, dengan begitu seiring berjalannnya tersebebarlah ilmu nahwu dan berkembang dibeberapa kota bahkan negara dari abad pertama hijriyah hingga sekarang ini. Semakin meluasnya ekspansi islam kenegara-negara timur tengah karena penaklukan oleh khalifah Ali bin Abi Thalib dan juga banyak orang asing yang memeluk islam menyebabkan bertambahnya lahn juga kesalahan yang belum pernah berbahasa arab. Kesalahan tersebut semakin menguatkan kebutuhan mengenai dasar kaidah dalam Bahasa arab, sehingga dapat meminimalisir kesalahan yang terjdi. Tujuan penting dari rumusan dasar kaidah Bahasa arab ialah untuk menjaga al-Qurâan dan juga Sunnah nabi dari berbagai macam kesalahan dan penyimpangan.
Nahwu lahir dan berkembang dikota Bashrah kemudian meluas ke Kufah, Baghdad, Mesir, dan Andalusia kemudian kota-kota ini menjadi pusat mazhab-mazhab nahwu yang kita kenal hingga masa kini. Berikut tokoh-tokoh ulama nahwu mazhab Bashrah serta karateristik masing-masing periode.
Generasi pertama
1. Abu Aswad al-Duali seorang penduduk Bashrah yang memiliki pengetahuan yang tinggi, pandangan yang jeli dan cerdas dan sangat memahami Bahasa arab juga termasuk tabiâin yang dipercaya haditsnya, beliau meriwaytkan banyak hadits dari Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib Ibnu Abbas, Abu Dzar dan lainnya. Abu Aswad termasuk orang yang fasih bacaanya beliau belajar qiroah dari Utsman bin Affan yang meriwayatkan qiroahnya adalah putranya sendiri yaitu Abu Harb dan Yahya bin Yaâmur.
2. Abd ar- Rahman Bin Hurmuz seorang yang paling mengetahui ilmu nahwu dari keturunan Qurasyi beliau juga termasuk ahli qoriâ dan rijalul hadits. Diriwayatkan oleh Abu Hurairah dan Abd al-Rahman bin Abd Qari beliau termasuk ahli fiqh dan berbeda pendapat dengan Malik bin Anas, ilmu yang diperdebatkan adalah mengenai ushul din. Karaterisktik beliau pada periode pertama ialah mereka tergabung dalam profesi qori, para ulama Bashrah sebagian adalah qori al-Qurâan yang mempelajari hukum-hukumnya, yang halus bacaannya dan juga perawi hadits. Kedua, memberi perhatian khusus terhadap lahn dalam kalam arab dn dalam Al-Qurâan juga menentang fenomena terlarang. Ketiga, mushaf-mushaf diberi titik dengan iârab yang dimulai oleh Abu Aswad al-Duali yang mendapat nasehat dari ibn Abihi, kemudian diikuti oleh murid-murid setelahnya. Keempat, awal penyusunan ilmu nahwu mendapat petunjuk dari Imam Ali r.a yang diawali oleh Abu Aswad al-Duali. Kelima, tidak terdapat peninggalan berupa tulisan kecuali Riwayat yang diklaim oleh Nadim dan Qifti.
Generasi kedua
1. Yahya bin Yaâmur al- Udwan orang yang pertama belajar ilmu nahwu dari Abu Aswad termasuk salah satu orang yang belajar mengenai harokat dalam titik mushaf dengan titik iârob.
2. Abu Abdullah Maimun al-Aqran ia belajar ilmu nahwu dari Abu Aswad juga termasuk orang yang Menyusun ilmu nahwu.
3. Anbasah al-Fil, ia belajar ilmu nahwu juga merupakan murid yang dating setelah al-Arqan.
4. Nashr bin Ashim, seorang yang faqih dan berpengetahuan dibidang Bahasa arab termasuk tabiin terdahulu. Ia juga termasuk ahli qiro yang fasih dalam hal al-Qurâan dan nahwu. Nashr belajar nahwu dari Yahya bin Yaâmur dan Abu Umar bin Ula, beliau memiliki buku dalam Bahasa arab.
Ada beberapa yang menjadi karateristik dalam periode ini yaitu tergabung dalam profesi qiroat dn ahli hadits, memiliki perhatian pada realitas lahn dalam kalam arab dan al-Qurâan juga pembicaraan para pemimpin seperti Hajjaj bin Yusuf al- Tsaqfi, kesepakatan dalam memberi titik mushaf dengan titik iârab, terdapat tambahan atas penyusunan ilmu nahwu, tidak ada peninggalan berupa tulisan.
Generasi ketiga
1. Abdullah bin Ishaq, ia belajar al-Qurâan dari Yahya bin Yamur dan belajar nahwu dari Maimun al-Arqan.
2. Abu Amr bin Ula
3. Isa bin Umar ats-Tsaqafi
Karateristik dari periode ini ialah mulainya deprivasi qias dan implementasinya atas bacaan al-Qurâan dan puisi arab, munculnya berbagai pendapat seperti pendapat Abu al-Ula san Isa bin Amr, munculnya pendapat nahwu yang bersifat individual, dan pembacaan al-Quran yang berbeda dari jumhur ulama, tidak ada peninggalan berupa tulisan kecuali periwayatan dari Jami; dan al-Kamil karya Isa ibn Amr.
Generasi keempat
1. Al-Akhfas al-Akbar merupakan orang pertama yang menafsirkan syiir setiap bait.
2. Al-Khalil bin Ahmad merupakan orang yang menghasilkan karya tulis dalam bidang ilmu Bahasa dan syiir serta music.
3. Yunus bin Habib.
Karatristik pada periode ini ialah munculnya istilah-istilah ilmu nahwu dan shorof yang sampai sekarang masih dipakai oleh ilmu nahwu, adanya pembatasan mengenai bab-bab dalam ilmu nahwu, penyebutan tentang tanda-tanda Iârab dan bina, muncullnya ilmu arud dan terkumpulnya syair arab dalam 15 bahr, munculnya mizan shorfi untuk mengetahui pola kata dan pembatasan huruf asli dan ziyadah.
Generasi kelima
1. Sibawaih, kitab sibawaih banyak mendapatkan pujian karena kelengkapan. Kitab ini menjadi kitab pokok dikota Bashrah karena tatabahasa arab yang mudah dipahami, sayangnya banyak orang yang tidak percaya bahwa kitab ini karya Sibawaih sendiri karena mengira bahwa Sibawaih mengerjakan kitab ini bersama orang lain
2. Al-Yazidy
Karateritik dalam periode ini ialah penyempurnaan ilmu nahwu, adanya penyusunan buku, dan adanya diskusi[4].
Fase awal dari tumbuh dan berkembangnya ilmu nahwu baik dari dasar peletakan yang menginspirasi manusia kemudian mengembangkannya sebagaimana ilmu pasa umumnya termasuk filsafa Yunani, maka ilmu selalu mengalmai perkembangannya mulai dari awal hinga menjadi sempurna. Dalam kasus perkembangan ilmu nahwu menegaskan perkembangan awal yang berdasarkan kebutuhan terhadap kelengakpan untuk kesempurnaan nahwu karena Bahasa menganggap bahwa sebenarny ilmu nahwu tidak pernah sempurna bahkan hingga kini. Belakangan ini muncul penolakan terhadap teori nahwu terutama dalam hal iârob.
Perkembangan keilmuan pada masa Abbasiyah yaitu masa Harun ar-Rasyid menunujkkkan peningkatan yang signifikan sementara kodifikasi keilmuan masih menemui keraguan yang besar dikalangan umat islam, filsafat sebagai symbol peneriamaan keilmuan diluar agama mendapatkan kedudukan yang begitu besar oleh para ilmuan. Filsafat mewarnai perkembangan ilmu sebagai hasil dari penerjemahan terahadap apa yang dikembangkan diwilayah Persia sebelum islam dating. Ilmu Bahasa arab salah satu bidang penting dalam pertarungan supremasi keilmuan dan nyatanya ilmu Bahasa arab dalam nahwu telah tercatat mendapatkan peran penting yang turut mewarnai berkembangnya ilmu dalam islam. Dengan membuktikan banyaknya hasil karya keilmuan yang tidak bisa dilepaskan dari peranan ilmu nahwu[5].
Daftar Pustaka
[1] Syauqi Dlaif, Al-Mudarrusun An-Nahwiyah (Mesir: Darul Maârifat, 1968
[2] Anwar Abd. Rahman, Sejarah Ilmu Nahwu dan Perkembangannya, Jurnal Adabiyah, Vol. X, No. 1, 2010
[3] Haidar Putra Daulay, Dinamika dan Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Klasik dan Kontemporer, PT. Perdana Publishing, Cet. Pertama, Universitas Islam Negri, Sumatera Utara, 2019, p. 15
[4] Yeni Ramdiani, Perkembangan Ilmu Nahwu Mazhab Bashrah, Jurnal Sastra, Vol. VIII, No. 2, Juli-Desember, 2015
[5] Sri Guna Najiib Chaqoqo, Sejarah Nahwu Kodifikasi Nahwu Sibawaih, Institut Agama Islam Negri, Cet. Pertama, Oktober, 2015, p. 67
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.