Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Lusy Chairunnisa

Asuransi Syariah dan Praktiknya di Indonesia

Eduaksi | Sunday, 25 Jul 2021, 09:01 WIB

Seiring dengan menggeliatnya pertumbuhan ekonomi Syariah secara global, Indonesia sebagai Negara dengan mayoritas muslim terbesar di dunia pun mulai memperlihatkan perkembangan yang pesat pada berbagai sektor keuangan di bidang Syariah, salah satunya adalah industri asuransi Syariah. Jika selama ini banyak masyarakat menyimpan kekhawatiran terhadap akad dan transaksi yang terjadi pada asuransi konvensional, maka asuransi Syariah hadir atas dasar keresahan masyarakat tersebut. Merujuk fatwa DSN MUI mengenai asuransi Syariah, yang dimaksud dengan asuransi Syariah (ta’mîn, takâful atau tadhâmun) adalah usaha saling melindungi dan tolong menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan/atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.

Asuransi Syariah pertama kali muncul di Sudan pada tahun 1979 yang dinamakan asuransi takaful. Asuransi tersebut dikelola oleh Dar al-Mal al-Islami Group. Dâr al-Mâl melebarkan sayap bisnisnya ke negara-negara Eropa dan Asia lainnya. Setidaknya ada empat asuransi takâful dan re-takâful pada tahun 1983, yang berpusat di Geneva, Bahamas, Luxembourg, dan Inggris. Hingga saat ini, tidak kurang dari 65 perusahaan asuransi syariah tersebar di seluruh dunia. Perkembangan asuransi dibilang cukup pesat. Dari asset $550 juta pada tahun 2000, $193 juta diantaranya berada di Asia Pasifik, meningkat menjadi $1,7 milyar. Angka ini terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah asuransi syariah di dunia. Pada tahun 2004 asetnya sudah mencapai $2 milyar.

Mengikuti perkembangan perbankan Syariah yang telah lahir sebelumnya di Indonesia sendiri sejarah mengenai asuransi Syariah dimulai pada tanggal 05 Mei 1994 dengan didirikannya PT Asuransi Takaful oleh Takaful Indonesia yang saat itu diresmikan oleh Menteri Keuangan, Mar’ie Muhammad. Untuk kemudian mulai dioperasikan pada 25 Agustus 1994. Perkembangan selanjutnya sejak tahun 2009 hingga tahun 2013, jumlah asuransi jiwa Syariah bertambah perusahaan menjadi 20 perusahaan. Sementara di periode yang sama, jumlah asuransi umum bertambah lebih besar, yaitu 6 perusahaan menjadi 26 perusahaan. Namun pada Februari 2014, izin usaha cabang Syariah Asuransi Tokio Marine resmi dicabut oleh OJK, sehingga jumlah asuransi umum Syariah hingga Maret 2014 tercatat berkurang menjadi 25 perusahaan.

Hingga saat ini, perkembangan asuransi Syariah menunjukan perumbuhan yang cukup positif sejak pembentukannya pada tahun 1994. Menurut Ketua Asosiasi Asuransi Syariah, Tatang Nurhidayat, pertumbuhan ini wajar meskipun dari segi profit masih stagnan. Ia mengatakan bahwa asuransi syariah memang lebih stabil dan lebih rendah risiko daripada asuransi konvensional. Terhitung, per-Desember 2020, asuransi syariah di Indonesia tercatat tumbuh 5 persen dari tahun sebelumnya. Sementara itu, premi bruto asuransi syariah pada November 2020 tercatat Rp15,37 triliun, meningkat 6,4 persen dari November 2019 yang hanya sebesar Rp14,45 triliun. Bahkan belakangan asuransi Syariah mulai diburu banyak orang dan dianggap sebagai salah satu sektor yang menenangkan. Saat ini, nyaris semua perusahaan asuransi membentuk unit syariahnya masing-masing. Bahkan asuransi asing juga ikut membuka unit syariahnya. Terhitung per tahun 2008, di Indonesia sudah ada 3 perusahaan yang full asuransi syariah, 32 cabang asuransi syariah, dan 3 cabang re-asuransi syariah. Perolehan premi industri asuransi syariah tanah air pada tahun 2007 tumbuh sebesar 60%-70%. Pada 2006, industri asuransi syariah membukukan pertumbuhan premi sebesar 73% dengan nilai total Rp. 475 miliar.

Kendati kian meningkatkanya angka-angka pada sektor asuransi Syariah di Indonesia, namun hal tersebut tak terlepas dari berbagai hambatan dan tantangan yang kerap ditemukan baik oleh para praktisi sebagai pengawas, maupun masyarakat sebagai nasabah asuransi Syariah. Tantangan paling fundamental yang kerap dihadapi oleh perusahaan-perusahaan asuransi syariah adalah penyesuaian budaya perusahaan dan sumber daya manusia dengan strategi dan struktur etika bisnis yang berlandaskan pada konsep-konsep Islam. Selama ini yang kita ketahui adalah, bahwa pelaku bisnis yang menggerakan perusahaan-perusahaan asuransi syariah adalah orang-orang yang awalnya merupakan pelaku bisnis asuransi konvensional. Kehadiran orang-orang seperti ini dalam perusahaan asuransi syariah tidak kita pungkiri telah menumbuhkan imej di masyarakat bahwa perusahaan asuransi syariah itu ada. Tak ayal, banyak masyarakat menganggap bahwa etika-etika bisnis yang dilakukan dalan asuransi konvensional masih terbawa dalam sektor asuransi syariah. Hal tersebut sangatlah penting untuk diperhatikan, karena dengan munculnya trust issue pada masyarakat dapat menimbulkan penurunan pada tingkat produktivitas asuransi Syariah. Tantangan lain yang kerap ditemui di lapangan adalah, kurangnya pengetahuan dan literasi masyarakat terhadap sektor asuransi Syariah. Maka dibutuhkan sosialisasi yang lebih dekat kepada masyarakat sehingga mereka dapat mengetahui mengenai manfaat keanggotaan dalam asuransi Syariah.

Ketatnya persaingan bisnis dan perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi yang terus meningkat maju, kebutuhan perusahaan asuransi syariah terhadap tenaga-tenaga profesional tidak dapat dipandang sebelah mata. Perusahaan asuransi syariah akan dapat bersaing untuk mengikuti perubahan yang terjadi dalam era globalisasi salah satunya dengan tenaga profesional yang mau mengubah diri dan mau untuk diubah sesuai dengan tuntutan syariah. Seperti yang dikatakan sebelumnya, produktivitas perusahaan asuransi Syariah dapat ditingkatkan dengan meningkatnya kepercayaan oleh masyarakat untuk menjadi nasabah asuransi Syariah, dan salah satu hal yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan keilmuan pada semua elemen terkait mengenai pengetahuan, pekerjaan, pelatihan-pelatihan serta pemahaman yang baik akan hukum-hukum mu’amalah syariah. Sehingga apa yang diketahui dapat di edukasikan kepada masyarakat sebagai bekal untuk memupuk kepercayaan masyarakat pada sektor ini.

Meski berdasarkan data yang tertera bahwa asuransi Syariah telah menunjukan perkembangan yang cukup pesat dalam angka pertumbuhannya, kontribusi terhadap total industri baru mencapai 1,11% per 2006 dan diperkirakan meningkat ke posisi 1,33% tahun 2007. Hal tersebut bisa jadi karena beberapa kendala yang sempat disebutkan sebelumnya, bahwa masih harus tetap dilakukannya berbagai perbaikan pada sistem maupun praktiknya.

Melakukan prinsip berasuransi secara Islam merupakan bagian dari prinsip hidup yang berkaitan dengan tauhid. Keberhasilan sistem asuransi tidak sepantasnya diukur berdasarkan total uang yang dapat dikumpulkan atau keuntungan yang diraih melalui lembaga dan badan yang telah dibentuknya. Sebaliknya, keberhasilannya harus diukur dari sudut seberapa besar sumbangan yang telah diberikannya untuk keselamatan hidup anggota masyarakat dan baktinya untuk meringankan beban bencana dan malapetaka yang dihadapi oleh mereka. Inilah sebenarnya esensi dari tujuan Asuransi Syariah yang sesuai dengan prinsipnya, ta’awun yang berarti tolong menolong.

Wallahu a’lam bis-Shawab.

Ditulis oleh: Lusy Chairunnisa (Mahasiswa Akuntansi Syariah STEI SEBI, Depok)

Referensi:

DSN-MUI dan Bank Indonesia, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI, Edisi Revisi 2006 (Jakarta: DSN-MUI, 2006), h. 127.

www.ojk.go.id (Diakses pada tanggal 23 Juli 2021)

Desmadi Saharuddin (2014). Asuransi Syariah Dalam Praktik (Studi Analisis Terhadap Shariah Compliance). ESENSI: Jurnal Bisnis dan Manajemen Vol.4, No. 3.

Asyari Suparmin, S,Ag. M.Kom.I (2020). Asuransi Syariah Di Indonesia: Hukum Prospek Dan Tantangan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image