Permenungan Hari Pendidikan
Eduaksi | 2022-05-01 14:28:53Chris Wibisana, seorang pelajar dari Tangerang Selatan, penulis di laman media Tirto.id, dan juga sebagai peneliti sejarah independen, lahir dan muncul di tengah publik dengan kecemerlangan, kecerdasan, dan kritisisme yang begitu memukau. Bagaimana tidak, dengan stigma dan ketelanjuran negativisme yang melekat pada pola pikir sebagian masyarakat –terutama yang saya sering jumpai- bahwasanya, pelajar/peserta didik adalah bodoh, acuh tak acuh, tak ada harapan dan impian, kerjanya hanya main-main, hedonisme, dan sebagainya dan sebagainya. Chris, dan pelajar lainnya yang serupa, mematahkan itu semua. Harapan itu ada. Harapan itu benar-benar nyata.
Saya rasa ini adalah penting dan genting. Peserta didik seperti kembali kepada marwah –yang saya pinjam kutipan dari Tan Malaka- Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda. Benteng idealisme memang harus dibangun sejak dalam pendidikan menengah pertama dan menengah atas, supaya kelak, ketika dibenturkan dengan realitas politik kampus, ia tidak goyah. Seperti yang sudah-sudah; masuk organisasi, diundang TV, membawa narasi ketidakadilan dan nasip rakyat miskin, namanya membubung tinggi, eksis, dapat iklan, lantas lenyap ditelan bumi, lalu muncul kembali dan langsung membuat self-proclaimed, “saya bukan aktivis”, “membantu rakyat dengan banyak cara, tak harus dengan turun ke jalan atau menulis opini kritik pemerintah” dan narasi omong-kosong lainnya.
Senin pagi, 13 Januari tahun 2020 silam, Salsabila Khairunisa, seorang pelajar di salah satu SMA negeri Jakarta, telah bolos sekolah demi menuju ke Gedung Manggala Wanabakti di Jakarta Pusat. Ia membentangkan sepotong kardus bertuliskan 'Mogok Sekolah Untuk Hutan' tepat di muka pintu Menteri Siti Nurbaya berkantor.
Mungkin, sebagian kita, pelajar maupun masyarakat umum akan berpikir dan berkomentar demikian, “Ngapain bocah sekolah bolos demi demo sendirian? Mendingan sekolah yang benar deh.” Atau dengan kalimat, “Yailah capek doang, toh juga kagak didenger oleh pemerentah.” Dan kalimat bernada ejekan serta cemoohan lainnya. Tetapi, tidak dengan Abil, yang bukan hanya mengabaikan perkataan orang-orang, lebih daripada itu, ia bahkan menerabas jalan hidupnya sendiri; Keluar dari sekolah! Bayangkan, keluar dari sekolah demi menuntut negara untuk berhenti mengeksploitasi hutan dan penghancuran hutan! (sumber: https://historiajakarta.blogspot.com/2021/05/darurat-kurikulum-lingkungan-hidup-di.html).
Saya pikir dan yakin, Chris, Abil, dan Pelajar lainnya yang sejalan, sejurus, dan sefrekuensi, mengenai ide serta gagasan kritisisme terhadap kekuasaan ini, ada dan berlipat ganda. Ini adalah modal kognitif dan modal sosial untuk kedepannya. Bukan hanya untuk memajukan sebuah bangsa belaka, tetapi ada yang lebih fundamental: sebagai antitesis dan bentuk perlawanan terhadap narasi kekuasaan dengan atribut ideologinya, pancasila, yang bila dikritisi lebih mendalam, bersifat tunggal, yang akan berdampak pada pengendalian kebenaran yang absolut. “Hanya negara yang boleh dan berhak. Bagi siapa yang berbeda dan melawan, salah dan pastinya bukan serta tidak mempunyai jiwa pancasilais.” Buruk bagi demokrasi.
Sudah beberapa tahun ini, negara tak pernah putus membicarakan, membahas, dan mensosialisasikan pancasila. Bahkan, tak hanya di situ, ruang-ruang dan waktu tiap sudut terpampang baliho, iklan, dan juga kampanye. Tak habis pikir, bahkan saat saya nonton bioskop, ada juga narasi pancasila di situ.
Saya melihat, kalau sekarang ini pancasila semakin kontradiktif. Jokowi berulang kali mengatakan bahwa, kalau pancasila sudah final. Pertanyaan saya adalah, mengapa kalau sudah final masih saja terus dibicarakan, bahkan diseminarkan? Final itu artinya sudah dan selesai. Mengapa harus didengungkan bahkan di-gong-kan secera terus-menerus? Bahkan sampai dibuat lembaga Badan Pembinaan Ideologi Pancasila atau disingkat BPIP. Benar-benar membingungkan.
Rocky Gerung, seorang filsuf dan Pendiri Pendidikan Demokrasi menjelaskan. Pancasila mulai dari Sukarno sampai Jokowi memang mempunyai peranan dalam menjalankan kekuasaan. Sukarnoisme dan Pancasila hendak dilekatkan untuk menggerakkan psikologi publik menuju pengkultusan figur Sukarno sebagai Pemimpin Besar Revolusi. Orde Baru tiba dengan pedagogi berbeda. Bukan “revolusi”, melainkan “pembangunan”.
Pancasila diterjemahkan sebagai “ideologi pembangunan”, dan karena itu Penataran Pancasila dimaksudkan untuk membentuk mental bangsa yang siap berpartisipasi dalam “pembangunan”. Jadi, baik pada masa Sukarno maupun pada era Suharto, Pancasila bekerja sebagai ideologi reaksioner. Ia diaktifkan sekedar untuk membungkam kritik, mematikan oposisi dan melanjutkan kekuasaan. https://historiajakarta.blogspot.com/2021/06/pancasila-ide-penuntun-bukan-pengatur.html).
Di dalam Rezim Jokowi, saya melihat ada sebuah pergeseran yang begitu menguat yang dihasilkan dari akumulasi kekuasaan sebelumnya. Semacam penggabungan yang akan menuju titik kulminasi kekuasaan. Para pengkritik langsung diciduk dengan mengerahkan segala macam UU, mulai dari UU ITE sampai UU Penghinaan Presiden yang mana akan segera disahkan! Kekerasan atas nama “ideologi pancasila” dikerahkan demi melancarkan agenda bisnis ekonomi yang berpihak kepada kapital, dan berdampak buruk pada penghancuran dan kerusakan lingkungan hidup.
Belum lagi permasalahan politik yang merangkul oposisi sehingga mengurangi atau bahkan menihilkan para politisi atau pun partai yang mengakibatkan ketidakseimbangan politik, yang dinyana bisa saja semua merujuk pada diskresi. Tidak ada perdebatan dan persaingan ide dan gagasan, tidak ada kontra-kebijakan, tidak ada yang mengkritisi keputusan pembuatan UU, tidak ada dan tidak ada lainnya.
Fenomena kekuasaan rezim ini juga berdampak pada institusi dan lembaga pendidikan. Dengan menunjuk Nadiem Makarim, mantan CEO Gojek, narasi dominan tentang pendidikan yang ada dan terus bertumbuh di dalam masyarakat lekat dengan logika kapitalisme, kompetisi, individualisme, dan depolitisasi institusi pendidikan semakin menebal.
Pendidikan juga hanya dipandang sebagai sebagai alat reproduksi sosial dapat diartikan bagaimana pendidikan digunakan sebagai alat untuk mempertahankan, serta menciptakan kembali, berbagai hierarki sosial serta relasi-relasi kekayaan, kekuasaan, dan pengaruh yang ada di masyarakat saat ini. Kita bisa ambil contoh bagaimana pendidikan mempertahankan—atau bahkan menciptakan kembali—ketimpangan-ketimpangan sosial yang diakibatkan dari struktur masyarakat yang hierarkis. Beberapa contohnya seperti hierarki gender, hierarki ras “pribumi-non-pribumi”, hierarki kelas sosial orang kaya dengan orang miskin, bahkan hierarki orang kota-orang desa.
Sebagai alat reproduksi sosial, pendidikan justru berkontribusi untuk membuat yang miskin tetap miskin, perempuan dilihat sebagai makhluk yang berada di bawah laki-laki, masyarakat adat sebagai masyarakat yang ‘tak berpendidikan’ dan ‘tak modern’, dan sebagainya. (https://indoprogress.com/2020/09/menggugat-pendidikan-8-buku-yang-akan-mengubah-pandanganmu-secara-radikal-mengenai-pendidikan/).
Chris Wibisena dalam tulisannya di laman Tirto.id berjudul, “Belajar PPKN dari Taufiq Ismail? No, Thanks” sangat mengkritisi mengenai keterkaitan ideologi pancasila dengan sistem pendidikan yang ada sekarang ini. Soeharto memang sudah mati, tetapi hantu Orde Baru terus menghantui langkah ke mana bangsa ini hendak bertolak. Dan hantu itu bertahun-tahun lamanya bersemayam di buku pelajaran—dan secara eksplisit dalam kurikulum—Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (selanjutnya: PPKN) yang disusun dan diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI tahun 2014. (https://tirto.id/belajar-ppkn-dari-taufiq-ismail-no-thanks-gbql).
Penerapan pancasila dalam kurikulum satu hal dan tidak ada masalah. Akan tetapi, upaya pemerintah harus kita kritisi supaya menciptakan daya ruang kritis peserta didik agar tidak tumpul, manut, dan mengiyakan apa saja yang dikatakan oleh kekuasaan. Bisa saja, ada sebuah disinformasi, ataupun penciptaan narasi yang jauh dari realitas sejarah sesungguhnya.
Hanya dengan perdebatan kritis lah kita mampu mendeteksi kelihaian negara dalam membuat kecendrungan material dalam kurikulum pendidikan sekarang ini. Dan, bisa jadi juga seperti apa yang dikatakan oleh filsuf Louis Pierre Althusser dalam aparatus ideologi negara, “sebagai upaya untuk melanggengkan kekuasaan”.
Chris, Abil, dan peserta didik lainnya adalah pendobrak peradaban bangsa ini. Dengan kehadiran mereka semuanya, bukan hanya menciptakan daya imajinasi untuk kehidupan berkelanjutan, dan pengubah nasib bangsa ini, tetapi menimbulkan harapan dari hari ke hari, dari waktu ke waktu, dan akan menjadi bola salju yang menggelinding semakin membesar, kuat, dan cepat.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.