Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Yoyon Sriyono

PPDB Zonasi Berbasis Seleksi Jarak: Diskriminasi dan Ketidakadilan Baru??

Eduaksi | Tuesday, 06 Jul 2021, 09:36 WIB

Penggunaan sistem zonasi dalam proses pendaftaran peserta didik baru (PPDB) dimulai pada tahun ajaran 2017/2018 yang mengacu pada Permendikbud no 17 tahun 2017.

Menurut Mendikbud Muhadjir tujuan dari sistem zonasi ini, "pertama, menjamin layanan akses bagi siswa, kemudian mendekatkan lingkungan sekolah dengan lingkungan keluarga, kemudian menghilangkan diskriminasi di sekolah, khususnya negeri".

Sungguh mulia tujuan dari penerapan sistem zonasi tersebut. PPDB 2020 yang mengacu pada permendikbub No 44 tahun 2019 merupakan tahun keempat pelaksaaan PPDB berbasis Zonasi. Sesuai pasal 2 (1), PPDB dilakukan berdasarkan prinsip nondiskriminatif, objektif, transparan, akuntabel dan berkeadilan.

Selama empat tahun penerapan sistem Zonasi, ada beberapa perubahan yang dilakukan melalui pembaruan peraturan Permendikbud 14 thn 2018 untuk PPDB 2018, Permendikbud no 51 tahun 2018 utk PPDB 2019 dan terakhir Permendikbud no 44 tahun 2019 utk PPDB 2020.

Selama empat tahun penerapan sistem Zonasi, kriteria utama dalam proses seleksi relatif tidak berubah yaitu menggunakan kriteria jarak terdekat ke sekolah dalam satu zonasi.

Hal ini yang menjadi masalah utama, apakah kriteria jarak terdekat ke sekolah ini sesuai dengan tujuan utama PPDB untuk mendekatkan lingkungan sekolah dengan lingkungan keluarga? Apakah sesuai dengan prinsip utama PPDB yang non diskriminiatif dan berkeadilan?

Perlu diingat dan dikembalikan ke tujuan awal penerapan sistem Zonasi yaitu mendekatkan domisili siswa ke sekolah terdekat atau dengan kata lain SEKOLAH TERDEKAT SISWA. Calon siswa dipaksa untuk hanya bisa mendaftar pada sekolah yang terdekat dengan lingkungan domisilinya. Tujuan ini bisa dicapai dengan penentuan zonasi yang bisa mengakomodir semua wilayah terkait.

Sedangkan proses seleksi yang menggunakan kriteria jarak tempat tinggal ke sekolah hanya akan mengakibatkan diskriminatif dan tidak adil terhadap calon siswa yang domisilinya jauh dari sekolah. Sekolah seolah-olah hanya menjadi hak dan milik dari para calon siswa yang kebetulan memiliki domisili dekat dengan sekolah atau SISWA TERDEKAT DENGAN SEKOLAH.

Jadi bisa penulis simpulkan selama empat tahun penerapan sistem zonasi, tujuan untuk meraih SEKOLAH TERDEKAT DENGAN SISWA tidak tercapai tetapi malah menghasilkan masalah diskriminasi dan ketidakadian baru SISWA TERDEKAT DENGAN SEKOLAH.

Untuk mengevaluasi penerapan sistem zonasi pada PPDB 2020, penulis mencoba membandingkan penerapan sistem zonasi PPDB di wilayah Jawa Barat dan DKI Jakarta.

Wilayah Jawa Barat

Penentuan zonasi berbasis wilayah administratif (terutama kecamatan) dengan mempertimbangkan irisan antar kabupaten/kota maupun irisan dengan wilayah tetangga. Tidak ada penentuan bobot dalam satu zonasi, bobot langsung berhubungan dengan jarak (dalam meter) dari domisili ke sekolah sehingga seleksi zonasi mengacu pada jarak terdekat.

WIlayah DKI Jakarta

Penentuan zonasi berbasis kelurahan dengan menetapkan bobot yang sama dalam satu zonasi. Sehingga tidak ada seleksi pada zonasi yang sama karena semua calon siswa pada zonasi yang sama memiliki kesempatan yang sama untuk diterima di sekolah pada zonasi tersebut.

Perbedaan utama zonasi pada kedua wilayah tersebut adalah penentuan bobot atau kriteria seleksi dalam satu zonasi. Jawa barat menerapkan pembobotan berdasarkan jarak (meter) dari domisili ke sekolah (dengan kata lain menerapkan prinsip SISWA TERDEKAT DENGAN SEKOLAH), sedangkan DKI Jakarta menerapkan bobot yang sama dalam satu zonasi sehingga tidak ada seleksi zonasi pada satu zonasi yang sama (dengan kata lain menerapkan prinsip SEKOLAH TERDEKAT DENGAN SISWA).

Contoh penerapan Zonasi di Jawa Barat yang menggunakan seleksi murni berbasis jarak terdekat dalam zonasi yang sama berakibat pada ketidakadilan diskriminatif terhadap calon siswa yang berdomisili jauh dari sekolah karena seolah-olah sekolah hanya diperuntukkan bagi mereka yang rumahnya dekat dengan sekolah.

Bagaimana dengan domisili siswa yang jauh dari sekolah? Apakah mereka tidak memiliki hak untuk mengenyam pendidikan di sekolah negeri terdekat dengan domisilinya?

Kriteria kedua pada proses seleksi sesuai Permendikbud no 44 tahun 2019 adalah berdasarkan urutan usia (pasal 25 ayat 2). Baik DKI Jakarta maupun Jawa Barat mengacu sepenuhnya pada peraturan tersebut. Lalu mengapa keributan terjadi di DKI Jakarta dan tidak terjadi di Jawa Barat?

Seperti sudah dijelaskan di atas, DKI Jakarta menerapkan bobot yang sama pada zonasi yang sama sehingga tidak ada proses seleksi dalam zonasi yang sama, hal ini berakibat seolah-olah DKI Jakarta langsung menerapkan seleksi berbasis usia. Hal ini yang menjadi protes dari banyak orang tua calon siswa.

Sedangkan Jawa Barat menerapkan proses seleksi berbasis jarak (meter) dalam zonasi yang sama (bahkan sampai pada digit terakhir), hal ini berakibat hampir tidak terjadi seleksi berbasis usia yang terjadi di Jawa Barat karena kemungkinan kecil ada calon siswa pada batas kuota memiliki jarak domisili ke sekolah yang sama.

Usulan Seleksi Berbasis Zonasi

Sistem zonasi pada dasarnya bertujuan mulia jika diterapkan dengan tepat dan tidak menghilangkan hak-hak calon siswa sehingga tujuan mulia dari penerapan zonasi semestinya harus tetap diperjuangkan.

Dengan berprinsip pada Nondiskriminatif dan berkeadilan dengan mengutamakan sekolah terdekat dari siswa (berpedoman pada SEKOLAH TERDEKAT DENGAN SISWA bukan pada SISWA TERDEKAT DENGAN SEKOLAH), maka penulis mengajukan usulan sistem zonasi sebagai berikut :

Penentuan zonasi

Penentuan zonasi harus berpedoman pada:

Setiap calon siswa sesuai domisilinya harus memiliki minimal satu sekolah dalam zonasinya.Setiap calon siswa harus memiliki hak yang sama untuk diterima di sekolah pada cakupan zonasinya tanpa memperhitungkan jarak dari domisili sekolah.Tidak ada pembobotan pada satu zonasi, kecuali diterapkan satu domisili lebih dari satu zonasi.Tidak ada seleksi pada satu zonasi.

Kriteria seleksi

1. Seleksi berdasarkan usia dengan mempertimbangkan rentang usia normal pada tiap tingkatan pendidikan, contoh usia masuk SMA adalah pada rentang 15 tahun 6 bulan ke atas. Pada rentang usia tersebut, semua calon siswa harus memiliki hak yang sama untuk diterima disekolah pada zonasinya (tidak ada seleksi berdasarkan urutan usia).

2. Selanjutnya menggunakan kriteria sebagai berikut :

- Jika calon siswa berdasarkan pada poin 1 melebihi kuota sekolah, seleksi selanjutnya menggunakan nilai atau acuan prestasi lainnya terhadap calon siswa pada poin 1.

- Jika kuota sekolah belum terpenuhi oleh calon siswa pada poin 1, maka calon siswa dengan usia dibawah ketentuan pada poin 1 diseleksi berdasarkan nilai atau acuan prestasi lainnya.

Penentuan zonasi yang lebih tepat untuk memenuhi kriteria pada poin 1-2 adalah penentuan zonasi berbasis sekolah. Berikut contoh penentuan zonasinya:

Ada enam wilayah administratif A,B,C,D,E,F dengan dua sekolah SMA 1 dan SMA 2. Pembagian zonasi bisa dilakukan dengan alternatif (tentunya dengan mempertimbangkan sebaran wilayah, kepadatan, akses jalan dll) :

1. Berbasis sekolah

SMA 1 dengan zonasi mencakup wilayah A,D,B,C

SMA 2 dengan zonasi mencakup wilayah C,D,E,B,F

2. Berbasis wilayah administratif

Wilayah A dengan zonasi untuk SMA 1

Wilayah B dengan zonasi untuk SMA 1 dan SMA 2

Wilayah C dengan zonasi untuk SMA 1

Wilayah D dengan zonasi untuk SMA 1 dan SMA 2

Wilayah E dengan zonasi untuk SMA 2

Wilayah F dengan zonasi untuk SMA 2

Kesimpulan

Sistem zonasi yang diterapkan oleh DKI Jakarta pada dasarnya sudah memenuhi tujuan utama mendekatkan sekolah dengan siswa dan sudah sesuai dengan prinsip nondiskriminatif dan berkeadilan karena semua calon siswa memiliki kesempatan yang sama untuk diterima di sekolah pada zonasinya.

Permasalahan utama terjadi karena kriteria kedua yang digunakan sesuai dengan Permendikbud no 44 tahun 2019 adalah seleksi berdasarkan urutan usia secara mutlak.

Penulis

Yoyon Sriyono (Pemerhati sosial dan kebijakan publik)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image