Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Razan Tenaya Athallah

Refleksi Kampanye #StopAsianHate

Sejarah | Friday, 02 Jul 2021, 09:15 WIB
Potret Miss Universe Singapura 2020 Bernadette Belle Ong menggunakan jubah dengan warna bendera negaranya yang bertuliskan jargon kampanye stop anti-Asia. Sumber: themissuniverse.sg (2021).

Hari itu, Kamis 13 Mei 2021 di Hard Rock Hotel, Florida, Miami, Amerika Serikat dalam perhelatan Babak National Costume Miss Universe 2020 seorang finalis asal Singapura Bernadette Belle Ong mengenakan jubah dengan tulisan 'Stop Asian Hate' yang cukup menarik banyak atensi publik khususnya di dunia maya dalam situasi pandemi Covid-19 ini.

Bukan tanpa sebab, seperti yang diutarakan Aprillia (2021) hal ini dalam rangka meningkatnya kasus kekerasan serta diskriminasi yang dirasakan oleh masyarakat keturunan Asia, terutama di Amerika atas dasar kuatnya dugaan virus Covid-19 berasal dari Wuhan China yang tak lain orang-orang berparas Asia Oriental.

Tak tanggung-tanggung, menurut survei yang dilakukan oleh CSUSB: Center for the study of Hate & Extremism United States pada tahun 2020 melalui perbandingan tahun sebelumnya 2019 Kejahatan Kebencian Anti-Asia Melonjak 145% secara akumulatif di 16 kota terbesar Amerika Serikat. Baru-baru ini sebut saja tragedi Atlanta Spa Shootings insiden penembakan masal yang telah merengut 8 korban jiwa, 6 diantaranya ber-etnis Asia Oriental.

Gambaran ini setidaknya memberikan indikasi rasisme masih menyelimuti hubungan antar manusia hingga sekarang, serupa tapi tak sama melalui pergulatan panjang anti-Asia penulis melihat kita mampu merefleksikan isu ini dari sepak terjang sejarahnya, adapun tulisan berikut difokuskan melalui peristiwa Pengasingan Orang Jepang-Amerika Pasca Bom Pearl Harbor 1942-1946.

7 Desember 1941, serangan dadakan yang dilakukan oleh Angkatan Laut Kekaisaran Jepang terhadap Armada Pasifik Angkatan Laut Amerika Serikat yang tengah berlabuh di Pangkalan AL Pearl Harbor, Hawaii memicu langsung keterlibatan AS di perang dunia II diiringi pula tentunya dengan kekhawatiran dan rasa kesal masyarakat AS secara luas.

Instruksi pengasingan warga keturunan Jepang-Amerika. (Sumber: National Archives/The LIFE Picture Collection/Getty Images/Dorothea Lange. 1942)

Otoritas Amerika Serikat di bawah instruksi langsung Presiden Franklin D. Roosevelt dengan sigap menyikapi keresahan atas Jepang melalui Perintah Eksekutif 9066 19 Februari 1942. Kebijakan pemerintah AS bahwa orang-orang keturunan Jepang, termasuk warga negara AS, akan dipenjarakan di kamp-kamp pengasingan. Argumen dinyatakan dengan niat mencegah spionase dan sabotase yang bisa saja terjadi atau akan terjadi dilakukan oleh imigran Jepang.

Di belakang layar turunnya perintah instruksi tersebut, ditemukan seorang Letnan Jenderal pemimpin Komando Pertahanan Barat AS bernama John L. DeWitt yang percaya bahwa penduduk sipil berdarah Jepang perlu dikendalikan agar tidak terulang insiden Pearl Harbor. Dikutip dari Conn, Engelman, dan Fairchild (2000:117-123) dalam salah satu laporan konfrensi telefon DeWitt tertanggal 24 Januari 1942 mengatakan â Fakta bahwa tidak ada yang terjadi sejauh ini kurang lebih... tidak menyenangkan, karena saya merasa bahwa mengingat fakta bahwa kami tidak memiliki upaya sabotase secara sporadis, ada kontrol yang dilakukan dan ketika kami memilikinya. akan dilakukan secara massal.

"Kemudian pada awal Februari 1942 dalam Stafford (1999:151) DeWitt melaporkan kepada Presiden Franklin D. Roosevelt bahwa tidak ada sabotase oleh orang Jepang-Amerika yang telah dikonfirmasi, tetapi dia berkomentar bahwa itu hanya membuktikan "indikasi yang mengganggu dan menegaskan bahwa tindakan tersebut akan diambil (Tindakan pengasingan)." Yakinnya DeWitt berimplikasi mulai dijalankan operasi ke kamp-kamp pengasingan di bulan tersebut.

Seorang pemilik toko kelontong ber-etnis Jepang di salah satu jalan kota Oakland, California merespon anti-Jepang pasca bom Pearl Harbor yang tak lama kemudian tutup dan ikut mobilisasi ke camp pengasingan. (Sumber: National Archives/The LIFE Picture Collection/Getty Images/Dorothea Lange. 1942)

Menurut catatan sumber, imbas peristiwa ini 120.000 penduduk yang terdiri atas imigran dan warga keturunan Jepang diasingkan ke kamp relokasi (Report of the Commission on War Time Relocation and Internment of Civilians, 1997).

Peta yang menunjukkan luasnya zona eksklusi dan lokasi kamp interniran untuk orang Jepang-Amerika. (Sumber: Encyclopædia Britannica, Inc.)

Mobilisasi besar dan tidak berdasarkan bukti kuat, melahirkan reaksi kritis salah seorang pemuda bernama Fred Korematsu (23), adalah warga negara Jepang-Amerika yang tidak mematuhi perintah untuk meninggalkan rumah dan pekerjaannya, ia membawa dalih bahwasannya kamp pengasingan tidak sesuai dengan Fifth Amendment, Korematsu diadili di pengadilan federal di San Francisco, dihukum karena melanggar perintah militer yang dikeluarkan berdasarkan Perintah Eksekutif 9066, diberikan lima tahun masa percobaan, dan dikirim ke Pusat Majelis di San Bruno, CA.

Pengacara Korematsu mengajukan banding atas keputusan pengadilan ke Pengadilan Banding A.S., yang setuju dengan pengadilan bahwa dia telah melanggar perintah militer. Korematsu meminta Mahkamah Agung Amerika Serikat untuk mendengarkan kasusnya. Pada tanggal 18 Desember 1944, Mahkamah Agung yang terbagi memutuskan, dalam keputusan skor 6-3, bahwa penahanan adalah â kebutuhan militerâ yang tidak didasarkan pada ras (Burton, Farrell, dan Lord 2005:60).

Dalam bayang-bayang terisolir dari dunia luar, bagaimanakah kehidupan orang Jepang-Amerika selama kurang lebih 3-4 tahun mulai dari 1942 hingga 1946. Salah satu sumber yaitu Augustyn (2021) menggambarkan bahwa para tawanan tinggal di barak-barak tak berinsulasi yang hanya dilengkapi dengan dipan dan kompor batu bara. Penghuni menggunakan kamar mandi umum dan fasilitas binatu, air panas terbatas.

Kamp-kamp itu dikelilingi oleh pagar kawat berduri yang dipatroli oleh penjaga bersenjata yang memiliki instruksi untuk menembak siapa pun yang mencoba pergi, relokasi kamp-kamp dbangun layaknya â Kotaâ Sendiri, setiap pusat relokasi adalah terdapat sekolah, kantor pos dan fasilitas kerja, serta lahan pertanian untuk menanam makanan dan memelihara ternak, bahkan penjara. Disamping itu kehidupan sosial di dalam camp, mereka mencoba membangun rasa kebersamaan. Penduduk diizinkan untuk tinggal dalam kelompok keluarga, anak-anak bermain olahraga dan terlibat dalam berbagai kegiatan. Perlu digarisbawahi mereka hidup dalam suasana ketegangan, kecurigaan, dan keputusasaan, sehingga tak sepenuhnya pula dapat dikatakan manusiawi apabila hanya melihat dari fasilitas-fasilitas tersebut.

Band kamp tahanan Amerika JepangBand Norakuro, dipimpin oleh Roy Matsunaga (kanan), di Pusat Relokasi Minidoka, 1943. (Sumber: Situs Sejarah Nasional Minidoka/NPS/Catatan Otoritas Relokasi Perang, Arsip Nasional, Washington, D.C.)

Lebih-lebih penulis mendapatkan data yang dapat menguatkan bahwa kamp-kamp pengasingan seringkali bertindak represif dan tak berdasar, disebutkan oleh Burton, Farrell, dan Lord dalam karyanya Confinement and Ethnicity: An Overview of World War II Japanese American Relocation Sites (2005) Pada tanggal 27 Juli 1942, selama pawai malam, dua orang Jepang-Amerika, Toshio Kobata dan Hirota Isomura, ditembak dan dibunuh oleh seorang penjaga yang mengaku berusaha melarikan diri, Di Pusat Relokasi Topaz, tahanan berusia 63 tahun James Hatsuki Wakasa ditembak dan dibunuh oleh polisi militer setelah berjalan di dekat pagar pembatas. Dua bulan kemudian, sepasang suami istri ditembak karena berjalan-jalan di dekat pagar, begitupun juga misal kamp Danau Tule pada 24 Mei 1943, James Okamoto, seorang tahanan berusia 30 tahun yang mengemudikan truk konstruksi, ditembak dan dibunuh oleh seorang penjaga. Penjaga bahkan tidak pernah dinyatakan bersalah oleh dewan pengadilan militer.

18 Desember 1944, pemerintah mengumumkan bahwa semua pusat relokasi akan ditutup pada akhir tahun 1945. Kamp terakhir, kamp dengan keamanan tinggi di Danau Tule, California, ditutup pada Maret 1946. Dengan berakhirnya pengasingan, orang Jepang-Amerika mulai merebut kembali atau membangun kembali kehidupan mereka, dan mereka yang masih memiliki rumah kembali pulang.

Upaya orang Jepang-Amerika mengembalikan kepercayaan sekitar dengan menyuarakan melalui media pers seperti penuturan Droker (1974) di kota Seattle, hal ini mungkin selaras di masa kini dengan apa yang diutarakan Bernadette melalui laman pribadi sosial media Instagram "Untuk apa wadah ini jika tidak bisa saya gunakan untuk mengirim pesan perlawanan yang kuat terhadap prasangka dan kekerasan. Terima kasih #MissUniverse telah memberikan saya kesempatan ini,"Ungkapnya. Demikian pula misal di tahun 1946 negara bagian California Agden (1998:169) menyebutkan Liga Warga Amerika Jepang memimpin kampanye yang sukses untuk mencabut Hukum Tanah Asing California.

Hingga kini tak pernah ada satupun bukti yang dapat menjelaskan korelasi imigran Jepang dengan gerakan negara kekaisaran Jepang di perang dunia II, pemerintah AS secara bijak pada tahun 1982 mengidentifikasi prasangka ras, histeria perang, dan kegagalan kepemimpinan politik sebagai penyebab yang mendasari program pengasingan. Pada tahun 1988 Kongres A.S. mengesahkan Undang-Undang Kebebasan Sipil, yang masing-masing menghadiahkan lebih dari 80.000 orang Jepang-Amerika berupa kompensasi senilai $20.000 atas cobaan berat yang mereka derita. Kongres juga mengeluarkan permintaan maaf resmi atas kebijakan pemerintah terhadap orang Jepang-Amerika (Augustyn, 2021).

Kembali ke awal menyinggung korelasi menguatnya anti-Asia dewasa ini, kita sesama manusia sedang dalam keaadan berperang pula meredam virus Covid-19, yang tak berbeda di era perang dunia di mana sebetulnya musuh utama bukanlah negara, orang lain, ataupun menyalahkan oknum tertentu dengan dalih berlomba memberi alasan yang paling logis. Musuh utama kita ialah ego diri kita sendiri yang seringkali menutupi pola berpikir jernih dan bertindak manusiawi.

Sejarah merekam walaupun bentuk kedua hal ini berbeda, nyatanya reaksi-reaksi yang timbul menyudutkan satu pihak tanpa bukti kuat menunjukan pola yang mirip. Terciptanya perlakuan diskriminatif atas dasar suku, ras, agama, dan golongan bagaimanapun juga tidak akan pernah dapat dibenarkan. Tugas kita kini menyebarkan kesadaran, berkata baik, menyuarakan ketidakadilan dengan bijak, dan melihat segala sesuatunya dengan jernih penulis rasa itulah salah satu kebermanfaatan majunya IPTEK memerangi bersama apapun itu persoalan yang ada.

Daftar Pustaka:

agden, Ronald E., Furusato. 1998. Tacoma-Pierce County Japanese 1888-1988. Tacoma , Wash. : R-4 Printing, Inc.

Aprillia, Johanna. (2021). â Potret Miss Universe Singapura 2020 Pakai Jubah Bertuliskan 'Stop Asian Hate'â . https://kumparan.com/kumparanwoman/potret-miss-universe-singapura-2020-pakai-jubah-bertuliskan-stop-asian-hate-1vkXr0HisZC/full, diakses pada 1 Juli 2021 pukul 23.50.

Augustyn, Adam. (2021). â United States history: Japanese American internmentâ . https://www.britannica.com/event/Japanese-American-internment diakses pada 1 Juli 2021 pukul 19.48.

Commission on Wartime Relocation and Internment of Civilians, & Kashima, T. (1997). Personal Justice Denied: Report of the Commission on Wartime Relocation and Internment of Civilians. University of Washington Press.

Conn, Stetson; Engelman, Rose C.; Fairchild, Byron (2000) [1964]. Guarding the United States and its Outposts. United States Army in World War II. Washington, D.C.: Center of Military History, United States Army. pp. 117â 123.

Droker, Howard Alan. 1974. The Seattle Civic Unity Committee and the Civil Rights Movement 1944-1964. Ph.D. diss., University of Washington.

Burton, J., Farrell, M., dan Lord Bersaudara. (2005). Confinement and Ethnicity: An Overview of World War II Japanese American Relocation Sites. U.S. Department of the Interior: Western Archeological and Conservation Center National Park Service.

Stafford, David (1999). Roosevelt and Churchill: Men of Secrets. Woodstock, New York: The Overlook Press, Peter Mayer Publishers, Inc.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image