Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image nurul jubaedah

Mudik dalam 3 Dimensi

Eduaksi | Friday, 29 Apr 2022, 03:28 WIB
(oleh Nurul Jubaedah, S.Ag.,S.Pd.,M.Ag guru SKI di MTsN 2 Garut

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ( Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan : 1990 ), mudik berarti "Pulang ke udik atau pulang ke kampung halaman bersamaan dengan datangnya hari Lebaran". Islam tidak mengenal tradisi mudik. Selesai melaksanakan puasa selama sebulan penuh, umat Islam hanya diperintahkan mengeluarkan zakat fitrah dan melaksanakan salat Id Fitri baik di masjid ataupun di tanah lapang, serta dilarang berpuasa pada hari satu Syawal tersebut. secara filosofi para perantau di kota-kota besar berbondong-bondong kembali ke kampung halamannya (asal muasal) atau dikenal mudik.

Sementara menurut Umar Kayam (2002), mudik awal mulanya merupakan tradisi primordial masyarakat petani Jawa. Keberadaannya jauh sebelum kerajaan Majapahit. Awalnya kegiatan ini digunakan untuk membersihkan pekuburan atau makam leluhur, dengan disertai doa bersama kepada dewa-dewa di Khayangan. Tradisi ini bertujuan agar para perantau diberi keselamatan dalam mencari rezeki dan keluarga yang ditinggalkan tidak diselimuti masalah. Namun, sejalan masuknya pengaruh ajaran Islam ke tanah Jawa membuat tradisi ini lama-kelamaan terkikis, karena dianggap perbuatan syirik terutama bagi mereka yang menyalahgunakan dengan meminta kepada leluhur yang telah meninggal dunia.

Penulis menelaah mengenai mudik ditinjau dari tiga dimensi yaitu dimensi spiritual, dimensi psikologis, dan dimensi sosial. Berikut penjelasannya :

1. Dimensi Spiritual

Hakikat mudik menurut Al-Qur’an terdapat dalam firman Allah SWT yang artinya : “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (Q.S. Ali Imran: 133). Maksud dari ayat tersebut adalah menjalankan perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya. Dalam kajian kesusastraan Arab, peniadaan ungkapan tersebut adalah salah satu bentuk keistimewaan bahasa Al-Qur’an yang tujuannya adalah untuk meringkas.

Kata “maghfirah” (ampunan) disebutkan dalam bentuk nakirah (tak tertentu) untuk menunjukkan bahwa ampunan yang dimaksud adalah ampunan hakiki dan agung dari Allah SWT. yang salah satu syaratnya adalah keislaman. Pada ayat ini, Allah diungkap dengan ungkapan “Rabbikum/Tuhanmu”. Kata “rabb-rububiyyah” digunakan untuk konteks Allah sebagai pencipta, pemelihara, dan pengurus. Karena pencipta, pemelihara, dan pengurus, tentu Allah Mahakaya, Mahakuasa, Mahabesar, Maha Mengetahui, dan Maha Mendengar. Jadi, adalah pantas bersegera menuju ampunan dari Dzat Yang Mahasegalanya.

Mudik yang hakiki adalah pulang menuju kampung akhirat dengan membawa perbekalan ampunan dari Allah dan bekal pahala untuk menempati surga-Nya. Inilah mudik yang tidak akan ada peristiwa kembali lagi. Sekali sudah mudik ke akhirat, maka tidak akan ada jalan lagi kembali ke dunia. Mudik hakiki perlu dipersiapkan karena tempat yang akan dituju adalah “keabadian”, apakah di neraka atau di surga. Sugesti mudik hakiki yang baik ditengarai dengan tawaran menempati surga yang luasnya seluas langit dan bumi. Ini tawaran sangat tinggi mengingat fasilitas yang ditawarkan di dalamnya pun sangat banyak dan variatif,

2. Dimensi Psikologis

Pada tahun 1970-an fonema dan istilah mudik lebaran mengemuka kembali ke permukaan. Saat itu, Jakarta merupakan satu-satunya kota besar di Indonesia. Orang dari desa beramai-ramai datang ke Jakarta untuk mencari pekerjaan dan mengubah nasib. untuk mereka yang sudah mendapat pekerjaan, mereka akan mendapatkan jatah libur panjang. Biasanya, libur panjang itu jatuh pada hari besar seperti Hari Raya Idul Fitri. Jadilah momen lebaran ini digunakan untuk mudik atau pulang kampung dan bersilaturahmi dengan keluarga, juga mereka selalu menyempatkan diri untuk ziarah dan membersihkan kuburan leluhur.

Meskipun kini, teknologi semakin maju, sudah ada handphone, internet, hingga teleconference yang memudahkan komunikasi dari jarak jauh. Namun, meskipun biaya komunikasi lewat handphone dan internet sudah terjangkau, masyarakat merasa tradisi mudik belum dapat tergantikan. Menurut sosiolog Universitas Gajah Mada Arie Sudjito ada beberapa hal yang menyebabkan teknologi tidak bisa menggantikan tradisi mudik. Salah satunya, disebabkan teknologi tersebut belum menjadi bagian dari budaya yang mendasar di Indonesia, terutama pada masyarakat pedesaan. Sehingga para perantau rela berdesak-desakan mengantre tiket, kereta dan pesawat hanya demi tiba di kampung halaman sebelum Lebaran. Namun, bukan berarti tradisi mudik tidak bisa hilang. Tradisi mudik bisa saja hilang, namun membutuhkan waktu yang relatif lama.

Mudik dalam perspektif psikologi adalah bagian kebutuhan fsikologis manusia yang harus dipenuhi (Moslow) jika esensi mudik adalah untuk silaturahmi dan melepas rindu dengan keluarga dan sahabat. Kebutuhan mudik sulit terkikis dan belum tergantikan oleh mudahnya alat komunikasi seperti : handphone, telegram, email, sky dan teleconfrence. Lebaran asli tradisi dan budaya Indonesia, namun ada beberapa negara yang memiliki kesamaan dengan mudik seperti : China, India, Arab Saudi, Turki dan Malasyia.

3. Dimensi Sosial

Ayat yang menegaskan tentang hubungan mudik dengan jalinan silaturahmi merefleksikan Ukuwah Islamiyah seperti yang ditegaskan dalam ayat berikut :

Artinya : “Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara. Karena itu, damaikanlah kedua saudara kalian, dan bertakwalah kalian kepada Allah supaya kalian mendapatkan rahmat”. (QS. Al Hujurat Ayat 10)

Terdapat 4 hal yang menjadi tujuan orang untuk melakukan mudik dan sulit digantikan oleh teknologi. Pertama, mencari berkah dengan bersilaturahmi dengan orangtua, kerabat, dan tetangga. Kedua, terapi psikologis. Kebanyakan perantau yang bekerja di kota besar memanfaatkan momen lebaran untuk refreshing dari rutinitas pekerjaan sehari-hari. Sehingga ketika kembali bekerja, kondisi sudah fresh lagi. Ketiga, mengingat asal usul. Banyak perantau yang sudah memiliki keturunan, sehingga dengan mudik bisa mengenalkan mengenai asal-usul mereka. Dan keempat, adalah unjuk diri. Banyak para perantau yang menjadikan mudik sebagai ajang unjuk diri sebagai orang yang telah berhasil mengadu nasib di kota besar (Arie Sudjito : 2012).

Kesimpulan

Mudik secara bahasa berarti "Pulang ke udik atau pulang ke kampung halaman bersamaan dengan datangnya hari Lebaran". Mudik secara hakiki adalah pulang menuju kampung akhirat dengan membawa perbekalan ampunan dari Allah dan bekal pahala untuk menempati surga-Nya. Esensi mudik adalah Ukuwah Islamiyah menjalin silaturahmi membangun persaudaraan dan kebersamaan untuk melepas rindu di kampung kalaman tercinta.

Pertanyaannya : Apakah mudik tiga dimensi tersebut masih berlaku bagi orang yang tidak pernah melakukan mudik selama sisa umurnya?. Jawabannya bisa hubungi penulis di 081322292789. Sekian dan terima kasih. Salam Literasi!

Daftar Pustaka

Arie Sudjito, Mudik Lebaran,Yogyakarta, Gajah Mada, 2012.

Sairin, Sjafr. Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia. Yogyakarta, Pustaka Pelajar Offset.2002

Tim Penyusun Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Cet ke 4, 1990.

Umar Kayam, Seni.Tradisi, Masyarakat, Yogyakarta, Penerbit Pinus, 2002.

Biodata

Nurul Jubaedah lahir di Garut, 19 Mei 1978. Pendidikan : D1 Akuntansi (1995), S1 PAI UNIGA ( 2001), S1 Bahasa Inggris STKIP Siliwangi Cimahi (2007), S2 PAI UIN SGD Bandung (2012). Prestasi : Pembimbing KIR : Membimbing 27 judul Karya Ilmiah Remaja kategori sosial budaya, menghantarkan peserta didik juara 1,2,3, dan harapan 1 kategori Sejarah, Geografi, dan Ekonomi (tingkat Provinsi), juara harapan 1 dan 2 (tingkat Nasional) (Juli 2019-September 2021), guru berprestasi tahap 1 di GTK Madrasah (2021), lolos tahap 3 AKMI KSKK Madrasah (Februari 2022). Karya : 18 buku antologi (Januari-April 2022). Memiliki 540 konten pendidikan di canal youtube dan website : 30 artikel (Oktober 2021-April 2022). Instagram (nj_78).

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image