Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Soleh

Menulis di Era Terhubung (3): Mengasah Pikiran, Mengasuh Perasaan

Eduaksi | Sunday, 20 Jun 2021, 22:36 WIB
Peserta Workshop Kepenulisan Nasional IMM FISIP Uhamka, Ahad (20/1).

Menulis merupakan salah satu medium menyampaikan gagasan dan perasaan. Kita bisa saja merasa cukup dengan bicara. Tapi ingat, kesempatan untuk bicara tidak selalu ada. Kadang kita butuh waktu-waktu tertentu untuk berbicara.

Berbeda halnya dengan menulis. Kapan pun, di mana pun, kita bisa melakukannya. Di kereta, di pesawat, di kamar, di ruang tamu, atau di pojokan perpustakaan. Selama kita memiliki kegelisahan, keresahan, perasaan terpendam, dan ide untuk ditulis, hal itu bisa kita lakukan. Apa pun bentuk tulisannya. Entah itu karya sastra seperti puisi, pantun, prosa, atau esai dan artikel.

Menulis itu merupakan sebuah aktivitas yang mengasyikkan. Kalau aktivitas menulis malah membebanimu, periksalah kembali niat dan tekadmu dalam menulis. Jangan-jangan kita salah menaruh niat dan tekad. Sebab, menulis bukanlah beban, justru dengan menulis harusnya kita melepaskan beban. Membebaskan beban pikiran dan batin yang terpendam. Entah tulisannya itu dipublikasi atau sekadar disimpan di catatan harian.

Nah, masalahnya adalah tak semua orang bisa dan mau menulis. Lagipula, memang bukan suatu keharusan untuk semua orang menjadi penulis, penyair, atau kolomnis. Dari sini saja sudah bisa kita tangkap bahwa menulis itu bukan perkara bakat atau tidak. Melainkan, kata Joko Pinurbo, soal ketekunan dan kesabaran. Menulis itu proses.

Proses itulah yang mesti kita nikmati sebagai suatu hal yang mengasyikkan. Dari proses itu bisa kita dapati beragam manfaat sekaligus menebar kebermanfaatan. Selama yang kita tulis dengan tulus, pandangan yang jernih, dan tidak berniat menyebar keburukan maka tulisan itu pula akan jadi amal yang terus mengalir untuk kita. Apalagi di dalamnya ada ilmu pengetahuan yang berguna bagi orang lain.

Menulis itu mengasah pikiran dan mengasuh perasaan. Dengan menulis kita telah menajamkan nalar sekaligus melembutkan hati. Proses menulis mengajari kita untuk berpikir dengan telaten, dengan tekun. Mulai dari menyusun kata, membuat kalimat, memilih kata-kata yang tepat, menyusun logika dan argumentasi, menganalisis, dan sebagainya.

Menulis suatu karya yang baik juga mengajarkan kita untuk bisa mengasuh perasaan. Bagaimana mungkin bisa kita menghasilkan karya yang baik di tengah perasaan yang tidak terkendali? Emosi meledak-ledak bisa membuat tulisan kita tidak jernih. Maka dari itu, penulis yang baik perlu belajar bagaimana mengelola perasaan dan mood-nya dalam proses menulis.

Jadi, ketika merasa kesulitan dalam menulis, mandek, kehabisan ide, dan kehilangan mood, berhentilah menulis. Lalu lakukan kegiatan lain yang bisa menyegarkan kepala kita. Menulis, kata jurnalis senior Kompas, merupakan sebuah wisata intelektual. Tentu saja, melakukan wisata intelektual artinya kita butuh bekal intelektual yang juga cukup. Isi kepala kita tidak boleh kosong.

Sebab itulah, penulis yang baik adalah pembaca yang baik. Perbanyak membaca, siapkan waktu merenung, lebih peka pada sekitar, dan melatih diri terus-menerus akan mengajarkan kita bahwa sesungguhnya menulis itu suatu hal yang sangat mudah. Semoga bermanfaat!

*Tulisan ini merupakan catatan penulis dari Workshop Kepenulisan Nasional yang digelar IMM FISIP Uhamka, Ahad (20/6).

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image