Mahasiswa, Menakar Dekadensi Dan Progresivitas
Politik | 2021-06-18 00:30:34Membicarakan persoalan mahasiswa memang tak akan pernah surut dari realitas perkembangannya, Karena mahasiswa harus terus mencoba hadir dalam barisan garda terdepan ketika pesoalan kondisi fenomena sosial, ekonomi, dan politik tidak memihak dan bertentangan kepada rakyat kecil. Karena seyogianya Mahasiswa merupakan Kontrol sosial atau watch dog terhadap berbagai kebijakan pemerintah, terutama kebijakan yang tidak pro rakyat, ataupun middle class yang berada pada stratifikasi sosial yang paling tinggi ditengah-tengah masyarakat sebagai penyambung lidah rakyat dan golongan terpelajar yang mempunyai nalar perubahan sosial yang tinggi, Karena memang romantisme sejarah mencatat bahwasannya mahasiswa mampu ikut andil berperan besar dalam memberikan sebuah perubahan yang terjadi di suatu bangsa. Pramoedya Ananta Toer mengatakan bahwasannya Mahasiswa boleh saja maju dalam pelajaran, mungkin pencapai deretan kesajarnan apa saja, tapi tanpa kepedulian sosial dan kepekaan akan realitas lingkungan, mahasiswa hanya tinggal hewan yang pandai.
Namun permasalahannya ditengah situasi yang melesat maju, dan kini sudah masuk pada era yang mana kebenaran menjadi tidak tampak, ketimbang opini atau isu yang makin populer. Sehingga, opini mencuat naik dikonsumsi masyarakat menjadi kebenaran, ketimbang fakta kebenaran itu sendiri. Fenomena seperti ini disebut dengan era post-truth.
Era yang disebut dengan pascakebenaran ini menggejala di tengah masyarakat kita. Makin gencarnya perkembangan teknologi dan ideologi-ideologi yang cenderung mengarah kepada ketidaksesuaian dengan nilai Pancasila membuat makin kompleksnya kehidupan manusia. Kendati demikian, mulai banyak dampaknya, sebagaimana perilaku yang kiranya mulai terjadi (sebagian) boleh dikatakan tidak sedikit, tentang minimnya adab,akhlak dan moral pada mahasiswa misalnya.
Belenggu Pragmatisme
Saya makin yakin bahwa manusia adalah makhluk yang berbahaya, dan bahwa kekuasaan, baik yang diberikan pada sedikit orang maupun banyak orang, adalah selalu tamak dan terus berteriak meminta kekuasaan lebih banyak.( âAbigal Adams ) Jika kita pahami makna tersebut rasanya pemahaman itu prakata yang sangat pas dengan konteks mahasiswa di era milenial sekarang, walaupun tidak semuanya secara rata seperti itu, namun sifat praktis yang perlahan sudah melekat pada jati diri mahasiswa. Karena kendatinya hari ini masih banyak yang memanfaatkan organisasi kampus sebagai alat kendaraan politik, ataupun untuk hanya memberi keuntungan pribadi dan kesenangan sekelompoknya saja, yang kita ketahui itu adalah sebuah tindakan yang dzalim, Idealis digadaikan seakan sudah krisis, kritis terkikis sehingga melainkan mulai overdosis, Padahal Tan malaka mengatakan idealisme adaah merupakan kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda, namun rujukan prakata itu sudah tak berbanding lurus dengan realitasnya hari ini, tragis mahasiwanya gemar mengkonsumsi terhadap yang bersifat praktis ataupun pragmatis.sehingga memang benar apa yang dikatakan Abigal adams memberi sebuah kesimpulan bahwa terkait persoalan kekuasaan, bahwa kekuasaan menyebabkan tidak pernah merasa terpuaskan dan tak aka nada habisnya. Serta paradigma yang kurang tepat ketika jabatan organisasi kampus hanya dijadikan ajang mencari eksistensi dan terlihat keren. Maka tak bias dipungkiri segala dalih ia perjuangkan demi terpilihnya ia seorang, Padahal, secara pengalaman, kapasitas, keilmuan dan kemampuannya masih jauh dari kata âsanggupâ alhasil, ah sudahlah pasti bisa terbayangkan, positifnya mungkin suka sekali mereka ini bermain dalam urusan keseriusan. Banyak modus yang akhirnya membuat mereka ini menuhankan segala materi, menuhankan popularitas, tak heran yang penting roda organisasi hanya dijalankan sebagai ritual semata, padahal output rasanya tidak tepat sasaran. Idealismenya perlahan hilang dilacurkan demi kepentingan pribadi,Ideologi organisasi dikesampingkan sehingga mulai berbelok-belok kepada hal yang bersifat kesenangan dan menguntungkan. Padahal menurut Plato kesenangan dan kebahagiaan bukanlah pemuasan nafsu hidup di dunia (inderawi) tetapi kesenangan dan kebahagiaan di dua dunia, yaitu inderawi dan ide. Dan dunia sesungguhnya adalah dunia ide (akhirat).
Refleksi fungsi dan aktualisasi
Pepatah mengatakan, sebelum kau mampu mengubah realitas, maka kau perlu merubah terlebih dahulu diri sendiri. Hal ini dapat dimaknai, bahwa kapasitas psikologis, termasuk intelektual itu merupakan keharusan yang wajib dimiliki bagi mereka yang ingin menciptakan sebuah tatanan sosial yang berkemajuan. Nalar dan kompetensi ini harus selalu dimaksimalkan agar tujuan dapat tercapaikan. Mahasiswa yang menyandang status kaum intelektual, Intelektual adalah mereka yang mampu menjadi bagian dari solusi masalah, bukan menjadi bagian dari masalah itu sendiri. Cerdas adalah berilmu, cakap dan bijak dalam menyelesaikan masalah. (Hardisman). Terkait ini, mengenai tradisi intelektual, yang salah satunya adalah budaya diskusi adalah tak terpisahkan dari intelektualisme itu. Diskusi dalam konteks ini, seyogianya ditampilkan dengan dialogis, bukan monologis, hal itu agar pemikiran dialektik itu muncul, Sehingga pemikiran dialektik itu muncul, dan kemudian terjadi hubungan dialektik Hegel pemikiran yang bersifat tesis dihadapkan pada antitesisnya bukan untuk mengangguk-anggukâ saja, untuk kemudian memunculkan sintesis. Dari hal itu bisa kita hubungkan bahwa tugas dan fungsi mahasiswa yaitu dari diskusi menjadi aksi nyata dalam bentuk tindakan. Namun demikian Intelektual bukan sebuah mahkota tinggi yang patut dibanggakan oleh setiap insan akademisi dan yang mengaku dirinya memiliki kapasitas intelektualitas, apalagi sampai membuat kelas sosial hipokritik semacam intelektual palsu.ataupun yang membahayakan sebut saja pelacur intelektual, akan tetapi jadilah intelektual yang hadir untuk masyarakat dalam rangka transformasi sosial, begitu dengan jadilah seorang Rausyan fikr ala Ali Syariâati yang menghibahkan dirinya (intelektual) untuk perubahan membantu masyarakat (pemikir/intelektual yang mencerahkan masyarakat). Sejatinya memang mahasiswa harus terus melakukan pendalaman ilmu dan iman sebagai filterisasinya, Dengan mahasiswa dibekali segudang ilmu, dan pengetahuan itu sejatinya memaksimalkan perannya di tengah kondisi saat ini. Mahasiswa menjadikan dirinya sesuai dengan predikat dirinya cendekiawan progresif. Cendekiawan progresif merupakan istilah mengaksentuasikan pribadi mahasiswa untuk selalu berupaya meningkatkan kualitas iman, dan ilmunya, agar kemudian dapat berperan dengan progresif (berkemajuan) di tengah kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara. Senada dengan itu, mahasiswa haruslah beriman. Beriman dan bertakwa kepada Allah, dan dibarengi dengan ikhtiar berproses untuk menjadi seorang pembelajar terbaik/ Pembelajar dengan melakukan pendalaman ilmu agama, umum, kemudian diaktualisasikan dalam kehidupan.Aktualisasi ini harus dengan usaha maksimal, dan tetap dengan perilaku yang sabar, santun, bijak, dan jujur. Dengan demikian, nilai mahasiswa cendekiawan progresif itu tidaklah hanya sebatas simbol, atau sampai pada wacana melangit, melainkan turun ke bumi, kemudian hidup, dan menghidupkan (turun dari wacana ke praksis kehidupan).Memang mudah berucap seperti diatas, namun dalam bertindak itu menjadi sulit. Namun pemikiran demikian yang menimbulkan penyakit. Alasannya, mahasiswa merupakan laboratorium intelektualâcendekiawan progresif sejatinya memang harus mengupayakan dengan maksimal, ber-ijtihad, dan tidak mengatakan, âmudah berucap, bertindak sedikitâ. Kalimat demikian membawa pada sifat mengeluh, malas, dan pada akhirnya sedikit bertindak.
Mahasiswa Sebagai Harapan baru.
Akhir kata, jangan sampai mahasiswa mencadi berkemunduran (dekadensi), bukan berkemajuan (progresivitas). Dan jangan sampai pula perilaku-perilaku tercela menjadi suatu kewajaran, dan kewajaran tersebut menjadi terstruktur, sistematis, dan masif. Mahasiswa sekali lagi, wajib maju sejak dalam pikiran, perilaku, dan perbuatan. Sehingga, mahasiswa sebagai cendekiawan progresif tadi menjadi nyata. Oleh sebab itu, mahasiswa dengan meningkatkan keimanan, ketakwaan, dan ilmu, serta mengaktualisasikannya dalam kehidupan dengan bijak adalah suatu keniscayaan, agar terwujudnya peradaban yang berkeadaan. Wallahu aâalam bishawab.
Oleh: Dicky Mulya Ramadhan
Mahasiswa Administrasi Pubik FISIP UMJ
Kader IMM FISIP UMJ
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.