Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Soleh

Menulis di Era Terhubung (1)

Eduaksi | Wednesday, 16 Jun 2021, 13:44 WIB

Menulis menjadi salah satu aktivitas yang tidak bisa dilepaskan di era sekarang ini. Berbagai hal, mulai dari yang remeh sampai yang sangat urgen, selalu melibatkan aktivitas menulis. Tentu saja menulis dalam pengertian yang luas dan tidak perlu kita batasi.

Bila kita bicara menulis sebagai kegiatan keseharian, mungkin disadari atau tidak hari ini kita lebih banyak berkomunikasi dengan bahasa tulis. Di antaranya lewat aplikasi percakapan WhatsApp atau menyampaikan ide dan gagasan lewat status media sosial. Saling berbalas komentar di kolom komentar Facebook dan Instagram juga sudah menjadi hal biasa saja, bukan?

Itulah sebabnya di era terhubung (terkoneksi) ini, kemampuan berkomunikasi tidak terbatas pada kemampuan berbicara saja. Artinya, kita dituntut untuk memiliki kemampuan berkomunikasi lewat tulisan. Yang dalam ajaran Islam, sudah diperintahkan sejak wahyu pertama hadir, "Iqra".

Nah, kemudian, bila kita bicara menulis dalam pengertian "profesi", maka hari ini bisa kita lihat bejibun peluang bagi seseorang yang memiliki skill menulis. Katakanlah profesi besar seperti penulis buku, penulis skrip film, penulis naskah iklan, jurnalis/wartawan, hingga profesi "bebas" alias freelance seperti ghost writer, content writer, dan admin media sosial.

Semua profesi menulis itu terbuka lebar di era ini. Namun, bagaimana kondisi kita? Masihkah melakukan kebiasaan "membaca judulnya saja"? Masihkah malas dan merasa lelah ketika mendapat bacaan yang agak panjang atau melihat buku yang agak tebal? Bila hal semacam itu masih kita rasakan, tentu saja ada yang salah dengan diri kita.

Jangankan bicara soal skill menulis, apalagi kegiatan menulis yang menghasilkan "cuan". Bicara soal tradisi membaca saja kita masih minus. Itulah sebabnya di era tsunami informasi ini bertebaran aneka macam hoaks dan kabar disinformasi. Kita lemah dalam mencerna dan menyaring informasi. Kita lemah dalam membaca. Kita masih lemah dan belum bersungguh-sungguh mengamalkan "Iqra".

Maka, kuncinya, kita mesti lebih dulu memulai tradisi membaca. Membaca apa pun, membaca yang kita gemari dan yang tidak kita gemari. Karena "membaca adalah guru menulis". Membaca akan mengajari kita berbagai bentuk tulisan, berbagai gaya bahasa, berbagai sudut pandang. Membaca juga menjadi wahana bagi kita memperkaya wawasan.

Memang, membaca itu kadang terasa melelahkan. Tapi itulah proses yang mesti kita jalani untuk bisa menulis. Tanpa membaca, tulisan kita akan kering dan hampa. Paling tidak, cuma menjangkau emosi belaka. Tapi dengan memperkaya bacaan, ditambah kepekaan sosial, tulisan kita akan bernyawa. Tulisan yang kita hasilkan akan bernyawa. Percaya atau tidak, tulisan bisa mengubah keadaan. (Bersambung)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image