Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Syafbrani ZA

Menggugat Gelar Kehormatan Akademik

Eduaksi | Monday, 14 Jun 2021, 14:56 WIB
sumber gambar: teachhub
sumber gambar: teachhub

Mengapa kita mempersoalkan gelar (kehormatan) akademik yang diraih oleh orang lain? Untuk kemudian kitapun terjebak dalam ruang debat tanpa muara. Terjerembab dalam ruang penilaian yang tak terdefinisikan. Parahnya lagi ketika landasannya hanya persoalan suka dan benci. Dialektika pro - kontrapun akan semakin mencuat. Bisa-bisa tak terhentikan sampai kiamat.

Padahal, seharusnya, ketika penetapan pemberian gelar (apun bentuk dan jenis gelarnya) sudah melalui rangkaian dan proses yang seharusnya dilewati. Artinya, final sudah dan itu sah. Persoalan suka atau tidak, tidak bisa dijadikan syarat untuk mendiskualifikasikannya.

Bahkan, ketika ruang debatnya beralih pada kapasitas yang dimiliki. Kompetensi. Pun, kita tetap tidak bisa melegalisasikan penilaian pribadi. Alat ukur penilaian kita apa? Gosip-gosip tetangga? Pandangan politik? Atau, suka dan tidak lagi? Sekali lagi, ketika semuanya sudah melewati rangkaian dan proses sesuai aturan. Itu sah.

Dalam panggung demokrasi --- yang juga menjunjung tinggi hukum, hanya satu alat ukur sehingga sesuatu itu diterima atau ditolak: keabsahan. Bahkan andai ingin mengubah keabsahan tersebut, haruslah dilakukan dengan cara yang sah dan didukung oleh aturan yang sah. Bukankah begitu?

Persis, ketika kita pertama kali menyandang predikat lulusan di sekolah. Harus melalui berbagai prosedur yang sah. Mulai dari mengikuti prosedur saat mendaftarkan diri ke sekolah, membawa syarat-syarat yang sah, sampai akhirnya lulus mendapatkan ijazah. Sah!

Ijazah yang sah ini kemudian digunakan untuk melanjutkan studi ke tahap selanjutnya, perguruan tinggi. Perguruan Tinggi yang juga harus sah.

Sama seperti di sekolah. Ketika semua prosedur dilalui, barulah kemudian bisa lulus dan mendapatkan ijazah. Sah!

Pertanyaannya kemudian, misalnya ketika lulus kuliah pertama kali, apakah ada yang peduli tentang kelayakan kita mendapatkan gelar tersebut? Apakah ada yang mempertanyakan kompetensi yang kita miliki terkait dengan gelar kesarjaan tersebut?

Biasanya, ketika gelar itu diraih, adanya adalah kita tenggelam dalam panggung selebrasi akademik bersama toga kebesaran yang digunakan. Tidak ada waktu lagi untuk sedikitpun mempertanyakan dua hal tadi. Keabsahan dan kompetensi. Walaupun saban tahun kita selalu disuguhi fenomena tentang salah jurusan, kompetensi lulusan, daya saing lulusan, dan sebagainya.

Bisa jadi karena fenomena itu sudah dipandang biasa. Akhirnya kita terbiasa.

Bisa jadi juga, saat ini sudah mulai disepakati kompetensi tidak semata-mata harus linear dengan gelar akademik. Atau sebaliknya, gelar akademik tidak semata-mata menunjukkan kompetensi sesuai dengan bidangnya. Ada sudut pandang lain. Sudut pandang yang kita tidak sempat melihatnya. Pun, termasuklah untuk melihat ke diri sendiri.

Bukti sederhananya, bukankah kita sering melihat fenomena yang secara kasat mata sangat kontradiktif: kompetensinya dipandang nihil, tapi karirnya cepat melesat. Atau sebaliknya: berkompetensi tinggi, membangun karir yang mumpuni, tapi selalu kandas menapak jabatan selanjutnya. Kandas hanya oleh variabel yang di luar perkiraan --- jika memandangnya dengan sudut pandang normal.

Bisa jadi, awal mendengar atau mengalami kisah - kisah seperti ini, akan ada rasa ingin menggugat. Bahkan, awalnya akan menjadi perbincangan atau gunjingan, namun lama-kelamaan akan kembali seperti biasa. Perlahan, waktulah yang akhirnya memaksa agar kita aklamasi untuk memandangnya biasa-biasa saja.. Akhirnya kita terbiasa.

Maka, bisa jadi, kelak lambat laun pro - kontra terhadap pemberian gelar (kehormatan) akademik akan mencapai puncaknya: biasa saja. Persis saat para wisudawan strata satu meraih gelar sarjananya. Bahkan juga seperti anak - anak sekolah yang sudah mulai terbiasa di wisuda dengan menggunakan pakaian toga itu. Tidak akan ada lagi pertanyaan-pertanyaan tekait keabsahan, kelayakan dan kompetensi. Biasa saja.

Terakhir, karena dalam panggung demokrasi --- yang juga menjunjung tinggi hukum, ada satu hal lagi yang membuat sesuatu dipandang sah dan layak: kesepakatan bersama. Apalagi kesepakatan bersama ini disuarakan oleh para pihak yang berkuasa membubuhkan cap sah. Sah!

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image