Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Aida Ma'ruf

Nasib Bank Syariah di Tengah Pandemi dan Menjamurnya Fintech di Indonesia

Info Terkini | Thursday, 10 Jun 2021, 13:44 WIB
sumber: google.com

Bank Syariah hadir di Indonesia bukanlah tanpa sebab. Melainkan merupakah buah daripada usaha para ulama dan masyarakat muslim yang menginginkan segala aktifitas ekonomi mereka berada dalam koridor syariah. Pada tahun 1990 dibentuklah sebuah kelompok kerja yang berkonsentrasi pada pengembangan ekonomi syariah di Indonesia. Melalui sebuah pertemuan ilmiah dengan topik “Bunga Bank dan Masalah yang Ditimbulkan” semakin membuka mata masyarakat tentang pentingnya meninggalkan bunga bank dan beralih pada sistem bagi hasil.

Kemudian pertemuan ilmiah tersebut dilanjutkan dengan MUNAS (Musyawarah Nasional) Tercetuslah sebuah ide untuk membuat bank syariah pertama di Indonesia. Hingga akhirnya berdirilah bank syariah pertama di Indonesia yaitu PT Bank Muamalat Indonesia (BMI), yang sesuai akte pendiriannya, berdiri pada tanggal 1 Nopember 1991. Menjadi sesuatu yang unik karena pendirian Bank Syari’ah ini mendahului penetapan peraturannya (payung hukum). Bank Syariah seperti yang kita tahu didirikan tahun 1991 sedangkan aturan tentang perbankan syariah baru ditetapkan pada tahun 1992.

Dan kemudian menjadi sesuatu yang semakin unik lagi karena pada saat itu perbankan syariah hadir dengan sistem bagi hasil keuntungan dan bagi rugi. Yang tentu sangat berbeda dengan bank-bank yang ada saat itu menganut sistem bunga. Apalagi sistem bunga ini sudah diatur dan dikokohkan dalam UU 14 tahun 1967.

Kita simpulkan pada awalnya bank syariah belum mendapat perhatian khusus sampai akhirnya dibentuklah UU No. 7 Tahun 1992. Undang-undang tersebut yang hanya menyinggung bahwasanya dalam pengembalian utang ada yang namanya bunga dan bagi hasil. Tanpa rincian landasan hukum syariah serta jenis-jenis usaha yang diperbolehkan.

Pada tahun 1998, pemerintah dan DPR melakukan penyempurnaan UU No. 7 tahun 1992 tersebut menjadi UU No. 10 Tahun 1998, yang secara tegas menjelaskan bahwa terdapat dua sistem dalam perbankan di tanah air (dual banking system), yaitu sistem perbankan konvensional dan sistem perbankan syariah. Hingga bertumbulah perbankan syariah dengan begitu cepat ditandai dengan munculnya perbankan syariah lainnya seperti bank mandiri syariah dll.

Di tahun 1998, banyak bank di tanah air yang tumbang akibat krisis moneter. Juga banyak bank konvensional yang merugi. Namun Bank Muamalat meski sedikit terguncang nyatanya berhasil selamat dari krisis bahkan tanpa bantuan uang negara sepeser pun. Selamatnya bank syariah pertama di Indonesia ini bukanlah tanpa sebab. Bank Muamalat dinilai lebih tahan guncangan karena sistem syariah yang dianut, salah satunya pengharaman spekulasi dan riba sebagai penyebab krisis keuangan pada saat itu. Selain itu Bank Syariah tidaklah memiliki kewajiban membayar bunga tetap kepada nasabah melainkan bagi hasil yang ketentuannya beradasarkan profit dan lost sharing. Sehingga hal tersebut menjadi alasan pula Bank Syariah bisa bertahan di tengah krisis yang melanda.

Perkembangan Bank Syariah di Indonesia sampai saat ini masih terus menunjukkan pertumbuhan positif. Terbukti, hingga saat ini di tengah pandemi perbankan syariah masih mencatatkan pertumbuhan positif ditengah masa pandemi. Hal itu terlihat dari data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang menyatakan pertumbuhan total keuangan syariah nasional mencapai 20,61 persen dengan market share di angka 9,68 persen.[1] Potensi pertumbuhan dan dampak positif tersebut muncul karena didukung dengan hasil merger 4 bank syariah ke dalam Bank Syariah Indonesia (BSI). Dengan keunggulan tersebut entitas hasil merger akan menjadikan pangsa pasar industri keuangan syariah di Indonesia lebih besar dari saat ini.

Kini terdapat 14 BUS dengan jumlah kantor sebanyak 1.943, 20 UUS yang berjumlah 390, dan 162 BPRS dengan total 626 kantor. Semuanya berkontribusi pada pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia. Untuk itu perbankan syariah harus melakukan transformasi menjadi perbankan syariah yang berdaya saing tinggi dan berperan lebih nyata pada perekonomian nasional dan pembangunan sosial di Indonesia.

Berlandaskan hasil survei, in-depth interview (IDI), dan Focus Group Discussion (FGD) yang dilakukan OJK, perbankan syariah saat ini masih memiliki beberapa isu strategis yang menghambat pertumbuhannya. Di antara isu strategis tersebut adalah belum adanya diferensiasi model bisnis yang signifikan, pengembangan bisnis yang masih berfokus pada tujuan bisnis saja, kualitas SDM, dan TI yang kurang optimal, serta indeks inklusi, dan literasi yang masih rendah.

Di sisi lain, OJK juga telah mengidentifikasi beberapa peluang dan tantangan yang menjadi faktor pendukung perkembangan perbankan syariah ke depannya. Di antara beberapa faktor pendukung tersebut adalah pesatnya kemajuan teknologi dan digitalisasi, pertumbuhan ekonomi dalam industri halal, dan semakin meningkatnya kesadaran beragama masyarakat Indonesia.

Kemajuan teknologi dewasa ini yang ditandai dengan masuknya kita pada dinamika baru yakni industri 4.0 menimbulkan tantangan baru bagi perbankan. Industri perbankan dituntut untuk bisa beradaptasi dengan perubahan teknologi yang ada. Apalagi di masa pandemi seperti ini aktifitas ekonomi pun terbilang lambat dan interaksi secara langsung antara nasabah dan perbankan diminimalisasi. Sehingga mau tidak mau perbankan harus cepat bertindak dengan menghadirkan digitalisasi perbankan.

Namun perbankan harus menghadapi pemain baru dalam industri keuangan yakni financial technology (fintech) yang sebelum pandemi sempat menjadi tren yang digemari oleh masyarakat. Mekanisme fintech yang terbilang lebih sederhana hanya dengan melalui ponsel menjadi pilihan utama masyarakat dibandingkan dengan produk perbankan. Jika perbankan syariah tidak mengambil langkah tepat bisa saja posisinya akan terancam. Lalu apakah fintech ini menjadi lawan atau kawan bagi perbankan?

Jika ditarik sisi positif, sebenarnya baik fintech maupun bank syariah dapat memiliki pola simbiosis mutualisme karena fintech sudah pasti membuka rekening di Bank untuk keperluan Operasional mereka. Disi lain, para Surplus dan Defisit unit di Fintech juga wajib mempunyai rekening di bank sebelum bertransaksi. Pertemanan bisnis akan lebih erat mengingat adanya pembatasan jumlah pembiayaan yang dapat diberikan fintech syariah. POJK 77 menyatakan bahwa maksimal pembiayaan fintech syariah adalah Rp 2 miliar. Maknanya pengajuan di atas 2 miliar dapat dilimpahkan dari fintech Syariah ke Bank Syariah. Untuk itu fintech dan bank syariah sudah sepatutnya melakukan sinergi.

Sinergi tersebut bisa diimplementasikan dalam berapa bentuk, pertama, database nasabah dan jalur distribusi (distribution channel) yang telah dibangun lama oleh lembaga keuangan perbankan perlu dikolaborasikan dengan fintech. Kedua, Bank dalam rangka peningkatan efisiensi bisnis perlu mengadaptasi fitur fintech. Ketiga, Bank dan fintech harus melakukan kolaborasi produk yang menjadi solusi bagi konsumen dan bermanfaat bagi kedua belah pihak. Keempat, kesamaan sektor bisnis, artinya sinergi dilakukan hanya oleh perbankan yang memiliki bisnis inti di sektor UMKM dan fintech yang menyediakan platform UMKM digital.

Teknologi fintech yang selama ini dipakai oleh perbankan konvensional juga memicu penyelarasan dalam perbankan syariah, terutama regulasi syariah yang memberikan rasa aman nasabah dan menjamin produk tersebut halal. Sinergi ini akan meningkatkan daya saing perbankan syariah dalam bentuk transparansi transaksi keuangan yang bisa diamati oleh para pelaku perbankan syariah, otoritas yang berwenang dan nasabah.

Maka Peran Dewan Syariah Nasonal Majelis Ulama Indonesia sangat dibutuhkan, yakni dalam merumuskan aturan syariah yang menjamin penerapan fintech dalam perbankan syariah tetap berada dalam koridor syariat. Seperangkat hukum akad harus disiapkan kaitannya dengan aktifitas-aktivitas fintech yang diterapkan di perbankan syariah yang menjadi operasional teknis. Dengan demikian, perbankan syariah memiliki peluang besar dalam memanfaatkan fintech untuk meningkatkan efisiensi dan inklusi keuangan dengan tetap berpegang pada aturan syariat yang ditetapkan.

Terkait dengan regulasi yang ada. Di Indonesia sendiri masih dinilai lamban. Padahal regulasi memainkan peran penting dalam pengembangan dan keberlanjutan bank syariah di Indonesia. Regulasi menjadi landasan utama operasionalisasi industri perbankan syariah. Dan regulasi tersebut menjadi pondasi bagi terciptanya public trust masyarakat kepada industri perbankan untuk mempercayakan dananya dikelola oleh perbankan. Oleh karena itu, regulasi perbankan syariah harus senantiasa diamendemen dan diundangkan untuk merespon kebutuhan akan kepastian hukum yang mengatur industri perbankan syariah di masa-masa mendatang.

[1] https://www.goodnewsfromindonesia.id/2020/09/25/pertumbuhan-positif-bank-syariah-ditengah-pandemi

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image