Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Munawar Khalil N

Ramadan: Momentum Keseimbangan Pangan

Agama | Monday, 25 Apr 2022, 22:41 WIB
Foto: dokpri

Puasa merupakan ibadah untuk menahan diri, termasuk menahan lapar dan haus di siang hari. Frekuensi makan yang biasanya tiga kali sehari berkurang menjadi dua kali sehari. Logikanya, ini akan mengurangi pengeluaran untuk pangan dan kita bisa lebih hemat.

Namun kenyataannya tidak demikian. Dilansir dari BPS, biasanya terjadi kenaikan permintaan bahan pangan sekitar 10 hingga 15 persen pada Ramadan dan Idulftiri. Hal ini salah satunya disebabkan karena kebiasaan masyarakat pada momentum tahunan ini. Menu makanan saat sahur dan berbuka tidak seperti di hari-hari biasa. Lebih banyak dan lebih beragam. Konsekuensinya, meningkatkan pengeluaran untuk pembelian bahan pangan. Selain itu, kebiasaan berbuka bersama di luar juga menambah pengeluaran bukan saja untuk makanan tapi juga pengeluaran lainnya.

Ada dua kutub ekstrim yang harus dilihat yaitu kikir (bakhil) dan boros (israf). Perilaku kikir dapat dilihat dari keengganan seseorang untuk bersedekah atau beramal. Berlawanan dengan itu, perilaku boros merupakan sikap berlebih-lebihan dalam menggunakan harta yang dimilikinya tanpa memperhitungkan manfaat dari pengeluaran tersebut.

Perilaku terhadap konsumsi pangan jangan sampai berada di dua kutub ini. Sikap kikir akan mendorong seseorang untuk mengonsumsi makanan jauh dari yang selayaknya padahal ia mampu. Sedangkan sikap boros mengarahkan kita untuk tidak memperhitungkan pengeluaran makanan, sehingga seringkali makanan itu terbuang percuma karena tidak dimakan dan akhirnya hanya menjadi sampah.

Karena itu, Islam mengajarkan prinsip keseimbangan (wasathiyah) dalam berbagai aspek, termasuk dalam pola konsumsi pangan.

Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah yang demikian (QS Al-Furqaan-67)

Prinsip ini memandu kita untuk melihat fungsi segala sesuatu dari sisi kelayakannya. Sehingga adakalanya mesti mengurangi belanja pangan dengan pertimbangan efisiensi atau kebutuhan lain yang lebih mendesak. Mungkin juga suatu saat berbelanja lebih dari sekadar kebutuhan untuk keluarga karena semangat untuk berbagai di bulan puasa.

Pada akhirnya, mengonsumsi atau berbelanja bahan pangan bukan saja didorong oleh adanya pemenuhan kebutuhan dasar kita sebagai manusia. Lebih dari itu, hal yang lebih penting adalah motivasi spiritual di balik perilaku konsumsi yang kita lakukan. Menyediakan menu beragam di meja makan adalah sebagai bagian dari pemenuhan insaniyah sehingga lebih kuat beribadah kepada-Nya. Menyediakan buka puasa bagi orang lain juga demikian, dilakukan hanya karena mengharap ridha Allah SWT.

Prof Azyumardi Azra memisahkan pengertian antara peningkatan konsumsi karena dorongan agama dengan tindakan konsumtif. Peningkatan konsumsi karena motivasi spiritual mestinya didukung. Umat Islam menyediakan pangan untuk fakir miskin, yatim piatu dan kaum dhuafa di bulan Ramadan merupakan hal yang baik. Semakin banyak orang bersedekah semakin menunjukkan realisasi dari ajaran Islam. Ramadan adalah momentum untuk meraih pahala sebanyak-banyaknya.

Sementara itu, perilaku konsumtif hanya mengikuti hawa nafsu belaka dan tidak sejalan dengan inti berpuasa yaitu pengendalian diri. Perilaku konsumtif ini termasuk perbuatan berlebih-lebihan atau boros (tabzir) yang berdampak buruk bagi kehidupan sosial, ekonomi, bahkan lingkungan.

Sebagai contoh, perilaku boros pangan dapat dilihat dari terjadinya peningkatan sampah makanan sekitar 10-15 persen di bulan Ramadan. Di luar itu, Indonesia memang menjadi negara dengan timbunan sampah makanan terbesar di dunia. Bappenas (2021) melansir data bahwa dalam kurun waktu 10 tahun (2009-2019) Indonesia menghasilkan timbulan sampah pangan 115-184 kg per kapita per tahun. Ini dapat memberi makan 61-125 juta orang atau sekitar 29-47% populasi Indonesia. Sedangkan estimasi kerugiannya diperkirakan 213 - 551 triliun rupiah per tahun atau setara dengan 4-5% PDB Indonesia.

Ramadan merupakan momentum untuk mengendalikan diri dari hidup boros. Puasa juga mengajarkan kita untuk merasakan kondisi mereka yang terpaksa menahan haus dan lapar karena lemah secara ekonomi, sehingga kita tergerak berbagi dalam berbagai situasi.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image