Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muhamad Farhan Azwinanto

Birokrasi Politik Dalam Wacana Presiden 3 Periode

Politik | Monday, 25 Apr 2022, 06:30 WIB

Dalam proses menjalankan suatu kebijakan, birokrasi-birokrasi negara tidaklah steril dari lingkungan politik suatu negara. Berjalan atau statisnya implementasi kebijakan negara oleh birokrasi-birokrasi negara sangat dipengaruhi lingkungan perpolitikan suatu negara. Pengaruh-pengaruh tersebut dalam berlangsung dari lingkup internal, eksternal, resmi, ataupun non resmi. Sehubungan dengan dimensi pengaruh politik suatu negara terhadap jalannya administrasi publik yang dijalankan birokrasi-birokrasi negara, membaginya ke dalam dua dimensi. Dasar dimensi-dimensi tersebut pada sejumlah aktivitas politik yang dilakukan seorang administrator publik. Dimensi pertama adalah internal-eksternal, sementara dimensi kedua adalah formal-informal.

Dimensi pertama, internal-eksternal, khususnya internal, menjelaskan tentang kegiatan-kegiatan politik di dalam suatu birokrasi yang berupaya mencari sejumlah masukan dari kelompok kepentingan, partisan, eksekutif politik, dan sejumlah besar sumber-sumber lain guna membuat suatu kebijakan. Pada sisi eksternal, adalah kegiatan-kegiatan politik birokrasi yang berupaya mencapai pemeliharan dan perkembangan organisasi.

Dimensi kedua, formal-informal, bicara mengenai sifat resmi dari suatu politik administrasi. Pada administrator publik berinteraksi baik dengan pejabat-pejabat resmi pemerintahan (DPR, eksekutif, perwakilan-perwakilan daerah). Selain itu, para administrator publik juga bersentuhan dengan para aktor politik yang tidak resmi seperti tokoh-tokoh masyarakat, para pengacara, kelompok penekan, dan sejenisnya. Sifat formal ataupun informal pun sulit dibedakan sebab terkadang terdapat lobi-lobi tidak resmi antara birokrat publik dengan para anggota DPR, misalnya, dalam menjalankan suatu proyek pembangunan.

Isu atau wacana jabatan presiden tiga periode kembali bergulir ditengah ruang publik. Istilah kembali dipakai mengingat saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjabat sebagai presiden di periode kedua, isu jabatan presiden tiga periode muncul. Sayangnya isu tersebut berhenti begitu saja tanpa ditindaklanjuti dengan kebijakan yang relevan. Saat ini, isu tersebut kembali muncul, tepat saat Presiden Joko Widodo menjabat untuk yang kedua kali . Isu yang muncul berulang seperti ini, mungkin tidak perlu ditanggapi secara serius oleh publik. Terlebih Presiden Joko Widodo sebagai orang yang akan diusulkan menjabat tiga periode, secara tegas menolak usulan tersebut.

Beberapa usulan dari sejumlah politikus untuk mengubah ketentuan masa jabatan bahkan mengajukan uju materi pasal UU Pemilu yang mengatur masa jabatan Presiden/Wapres ke MK. Hal ini dapat disebut sebagai arogansi kekuasaan, karena keterlibatan dalam isu 3 periode ini di usul dari berbagai pihak. Tentunya mereka yang berkoalisi untuk memanfaatkan kekuasaan yang dimiliki, untuk keuntungan mereka. Sikap yang dilakukan oleh mereka yang mengusulkan Presiden 3 periode begitu jelas tujuan dan kepentingannya. Peran partai politik sebagai garda depan penjaga demokrasi kini tak terlihat. Partai politik justru masuk dalam pengolahan otoritarianisme dengan mengusulkan perpanjangan masa jabatan hingga mengubah konstitusi soal masa jabatan presiden.

Kepala desa pun juga terlibat dengan dipecah belah setelah Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia hendak mendeklarasikan Presiden Jokowi tiga periode. Padahal Apdesi tidak memiliki SK Kemenkum HAM. Kepengurusan Apdesi yang sah kini berada di tangan Arifin Abdul Majid. Hal ini dinilai apa yang dilakukan Apdesi dengan politik praktisnya sangat membahayakan. Pemerintahan ini juga mengumpankan perpecahan sampai tingkat desa. Seperti ada demokrasi, tapi sebenarnya demokrasi sedang dirusak.

Ini juga termasuk tujuan dari adanya birokrasi yaitu pekerjaan terselesaikan secara cepat dan teroganisir. Sebagai tipe dari suatu organisasi yang dimaksudkan untuk mencapai tugas-tugas administratif yang besar dengan cara mengkoordinir secara sistematis. Sangat jelas terlihat bahwa adanya birokrasi pasti berhubungan dengan politik, dan idealnya birokrasi menjamin keberlangsungan administrasi secara efektif dan efisien. Namun dalam prakteknya, birokrasi sering diidentikkan sebagai suatu kinerja yang berbelit-belit, dan tidak memuaskan, penuh dengan kolusi, korupsi dan nepotisme. Seharusnya birokrasi lebih mengutamakan kepentingan umum, nyatanya birokrasi hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu. Terbukti dengan contoh isu Presiden 3 periode juga sebagi contoh kasus yang terjadi dari kubu birokrasi indonesia. Seperti fenomena suap yang masih tumbuh subur dalam tubuh birokrasi. Sistem birokrasi saat ini seperti menempatkan birokrasi sebagai penguasa daripada pelayan masyarakat, sehingga dimata publik kinerja birokrasi dianggap licik.

Birokrasi dan politik adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Diantara keduanya saling mempengaruhi baik bersama menuju kebaikan maupun menuju ketidakbaikan. Wajah birokrasi yang tampak terkadang tergantung dari wajah politiknya. Karena birokrasi merupakan implementasi dari kebijakan-kebijakan politik. Birokrasi menuntut keteraturan sedangkan politik malah berlaku sebaliknya, namun diantara keduanya saling bersinergi membentuk satu kesatuan yang padu. Dinamika diantara keduanya terjadi saat kondisi dimana birokrasi tidak sejalan dengan politik. Terdapat pemisahan ranah gerak antara birokrasi dan politik, ranah-ranah tersebut anatara lain dimensi Internal-formal, Internal-Informal, Eksternal Formal dan eksternal-Informal. Jadi pada intinya keduanya dapat bergerak secara berkesinambungan dalam berbagai dimensi. Namun patut untuk dipahami bahwa dimensi-dimensi tersebut hanya berlaku dalam tatanan sisitem, diluar itu masih banyak actor-aktor yang mewarnai kondisi keduanya. Aktor-aktor itulah yang menentukan warna dan arah gerak antara birokrasi dan Politik.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image