Membungkus Kecerdasan Abad ke-21
Eduaksi | 2021-05-31 13:19:09Critical Thingking
Pendidikan dan teknologi ada dua hal yang tidak terpisahkan. Perkembangan konsep dan pelaksanaan pendidikan berbanding lurus dengan perkembangan serta kemajuan dalam bidang teknologi. Keduanya mengubah serta membentuk peradaban manusia. Menjadi alat transformasi yang efektif.
Dalam upaya mengbungkus pendidikan berbasis teknologi kekinian memunculah istilah kecerdasan abad 21. Kercerdasan ini meliputi critical thinking, creativity, communication, and collaboration yang dikenal dengan akronim 4C.
Kecerdasan abad 21 diharapkan mampu menelurkan output pendidikan yang berkualitas ungguh. Bukan hanya memiliki kercerdasan berbasi solusi atau pemecahan masalah yang bertumpuh pada poin critical thinking dan crativity. Namun juga mampu mengkomunikasikan serta bekerja sama dengan baik.
Critical thinking menjadi bagian utama yang menjadi fokus pendidikan. Berbagai upaya diterapkan untuk membentuk sumber daya manusia yang memiliki nalar kritis, berpikir kritis atau science of crisis. Kritis sering kita maknai dengan kemampuan berpikir jenih yang melibatkan berbagai pertimbangan.
Kitis atau critical merupakan cara berpikir mendalam. Berpikir kritis bukan berarti harus memecahkan masalah atau soal yang sulit. Kritis atau critical merupakan budaya yang diturunkan oleh para filosof awal seperti Socrates serta para murid-muridnya. Mereka membahas hal-hal yang bisa dengan cara yang tidak biasa. Mereka memulai dengan bertanya serta mencari jawab atas pertanyaan tersebut. Hingga ktiris atau critical bukan lagi cari berpikir tapi menjadi sudut padang dalam menyelesaikan masalah.
Merujuk dari teori yang dikemukakan oleh Paulo Freire salah satu tokoh pendidikan. Kritis adalah sebuah kesadaran yang hadir dari sebuah keresahan. Kesadaran kritis lahir dan hadir sebagai upaya solutif untuk memecahkan masalah yang terjadi dan ia alami. Kesadaran kritis menuntut seseorang mampu melihat masalah dari sudut padang yang berbeda. Hingga pada akhirnya menelurkan kreativitas dan solusi.
Dalam pendidikan nasional, pemerintah mengupayakan hal ini terjadi secara masif dan cepat. Beragam seminar hingga diklat ditujukan untuk membahas bagaimana pendidikan mampu menghadirkan output sumber daya manusia yang berpikir kritis.
Dari sinilah semua berawal. Konsep critical diterjemahkan menjadi Higher Order Thinking skills atau kemampuan berpikir tingkat tinggi. Higher Order Thinking skills atau yang lebih populer dikenal menjadi HOTs. Merupakan konsep yang merujuk dari hirarki kemampuan berpikir. Digagas oleh Bejamin S Bloom seorang psikolog pendidikan berkebangsaan Amerika Serikat. Secara umum Bloom membagi kemampuan berpikir menjadi 6 bagian yaitu pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi.
Higher Order Thinking skills (HOTs)
Bejamin S Bloom membagi kemampuan berpikir manusia menjadi sebuah hirarki berpikir. Para pendidikan di negeri kita tentu sudah sangat mengenal hirarki ini dengan baik. Bloom kemudian mengkategorikan beberapa kata kerja yang memilibatkan kemampuan berpikir menjadi Cognitive yang dalam serapan bahasa Indonesia berubah menjadi kognisi. Kognisi diartikan sebagai suatu proses berpikir untuk memperoleh pengetahuan.
Pengkategorian kata kerja oprasional yang dilakukan Bloom ini termanifestokan dalam sebuah taksonomi Bloom. Taksonomi Bloom sangat membantu untuk mecari kata kerja oprasional berdasarkan kategori yang dibutuhkan.
Dalam taksonomi Bloom ini, kata kerja oprasional yang mewakili Higher Order Thinking skills terdapat pada level cognitive 5 dan cognitive 6. Level ini dianggap cukup representatif dalam upaya menghadirkan output yang memiliki critical thinking. Dengan anggap ini pulalah seminar dan diklat diadakan.
Namun yang menjadi menarik Higher Order Thinking skills menjadi acuan dalam membuat asessmen akhir tahunan. Soal-soal ditelaah diperiksa dengan detail dan rinci serta harus mengandung HOTs. Soal atau assessmen harus mengandung Kata kerja oprasional level cognitive 5 atau cognitive 6. Tidak jarang kepala sekolah atau pengawas melakukan monitoring atau pendampingan untuk merancang hal itu dapat terlaksana.
Penerapan Higher Order Thinking skills (HOTs) yang tepat
Penerapan HOTs secara ideal bukan terletak pada akhir pembelajaran berupa assessmen kegiatan belajar. HOTs dirancang sebagai barometer proses. Artinya HOTs baru akan memiliki dampak signifikan manakala kegiatan pembelajaran dirancang dengan HOTs.
Apabila seminar atau diklat hanya dirancang untuk menciptkan assessmen berbasis HOTs. Maka hanya akan menimbulkan bias belajar pada peserta didik. Umpanya setiap hari siswa dilatih berjalan dengan benar, namun pada akhir kegiatan pembelajaran. Siswa harus menyelesaikan assesssmen yang mengukur kecepatan berlari dan ketinggian melompat.
Maka perlulah kita memahami HOTs bukan merupakan penilaian akhir. Namun HOTs merupakan proses berlatih yang berujung pada munculkan karakter atau kesadaran kritis dalam memandang masalah hingga mampu menghadirkan solusi yang kreatif. Dengan demikian seminar dan diklat harus mengkaji lebih dalam bagimana menghadirkan HOTs dalam proses pembelajaran.
Dengan demikian pendidik diharapkan mampu merumuskan IPK dan tujuan pembelajaran dan proses pembelajaran berbasis HOTs. Bukan hanya semata menggunakan kata kerja oprasional cognitive 5 dan cognitive 6.
Selain itu pemerintah sebagai pemangku kebijakan harus mampu merespon hal ini dengan sigap. Perlu adanya peraturan tertulis yang dibukukan dan dibakukan dalam menerjemakan taksonomi Bloom. Apabila hal tersebut dianggap menjadi rujukan dalam menciptakan output sumber daya manusia berkesadaran kritis.
Hal tersebut bertujuan sebagai upaya meberikan koridor dalam pemaknaan dari setiap kata kerja yang ada pada taksonomi Bloom. Sebagaimana kita ketahui dalam taksonomi Bloom tersebut terdapat beberapa kata yang sama dengan level cognitive yang berbeda.
Pada akhirnya Higher Order Tingking skills yang dianggap mampu menjadi tangga menuju sumber daya unggul dan bernalar kritis. Serta dapat secara efektif dan efisien dalam penerapannya.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.