PERAN LPS DAPAT MENJAMIN NASABAH MENABUNG DI BANK SYARIAH
Bisnis | 2021-05-25 23:58:57Sumber: Lembaga Penjamin Simpanan
Pada awal bulan Mei 2021, muncul kasus penipuan investasi 212 Mart di Kota Samarinda. Kasus penipuan seperti ini yang memuat unsur-unsur keagamaan seperti tidak pernah hilang. Berawal Komunitas 212 Kota Samarinda tentang ajakan di media sosial untuk undangan berinvestasi. Sekitar 600 orang bergabung dengan iming-iming âmembangkitkan ekonomi umatâ. Nilai investasinya dari Rp500 ribu sampai Rp20 juta per orang dengan total investasi mencapai Rp2 miliar. Ketika bisnis berjalan, para investor belum ada rasa kecurigaan karena bisnis tersebut mampu membuka cabang 3 gerai dalam waktu 2 tahun. Selain itu, para investor juga dijanjikan tentang pembagian hasil usaha serta mendapatkan poin ketika berbelanja di 212 Mart. Hingga sampai satu per satu masalah bermunculan. Seperti gaji karyawan toko tertunda, pembayaran pasokan barang hingga biaya sewa toko yang belum terbayar.[1] Setelah diselidiki, terdapat indikasi penggelapan dana lebih dari Rp2 miliar. Di sisi lain, KSSMS melakukan penyalahgunaan merek dagang 212 Mart yang menjadi daya tarik investor. Padahal, merek dagang tersebut adalah miliki Koperasi Syariah 212 yang berbeda entitas.[2]
Sumber: Kompas.com
Kejadian penipuan tentang pelabelan merek dagang menggunakan unsur-unsur keagamaan bukan hanya terjadi di Indonesia. Di Amerika Serikat, terdapat kasus besar antara tahun 2000 hingga 2001. Marcus Dukes dan Theresa Hodge dari Finansial Warfare Club, berhasil meyakinkan anggota gereja dengan menyebutkan beberapa ayat-ayat di alkitab untuk berinvestasi pada perusahaan sebelum IPO (Initial public offering). Hasilnya, sekitar 1000 investor dari 18 negara bagian ditipu dan lebih dari $1,3 juta dana investor tidak digunakan untuk membeli saham perusahaan.[3]Pertanyaan selanjutnya adalah, kenapa orang menjadi percaya untuk berinvestasi karena adanya unsur keagamaan di dalamnya?
Secara teoritis menurut Aaker (1991), ekuitas merek akan memperkuat keyakinan konsumen melakukan keputusan membeli atau memilih. Selain itu, pendapat Schiffman dan Kanuk (2000) yang mengatakan bahwa sikap keberagamaan (religiusitas) pelanggan memberi andil didalam keputusan mereka memilih produk untuk dikonsumsi sesuai dengan keyakinan keberagamaan mereka.[4] Memberikan label/simbol/unsur keagamaan tertentu pada sebuah produk atau jasa bukanlah sesuatu yang dilarang. Seperti yang dilakukan beberapa perusahaan multinasional di Indonesia. Pangsa pasar muslim yang begitu besar menjadi sebuah potensi bisnis perusahaan. Seperti, HSBC dengan âHSBC Amanahâ, atau Citibank dengan âCitibank Berhadâ.[5] Banyak korban melupakan prinsip kehati-hatian dan sikap kritis untuk membeli sebuah produk. Selama ini, dua hal tersebut sering dikesampingkan ketika dibenturkan unsur keagamaan yang diyakini para korban.
Sumber: HSBC Amanah
Apa Kaitannya Dengan Perbankan Syariah?
Belajar dari dua kasus sebelumnya, terlihat bahwa apa yang berhubungan dengan keputusan untuk membeli sebuah produk berada âditanganâ konsumen. Sederhananya, jika transaksi jual beli terjadi, maka barang yang dibeli menjadi miliki konsumen dan begitu sebaliknya. Menjadi mungkin jika informasi negatif tentang kondisi barang disembunyikan penjual. Sikap kritis serta prinsip kehati-hatian harus dimiliki seorang konsumen. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah produk perbankan syariah memiliki potensi merugikan nasabah bank?
Sebagaimana diketahui, lembaga perbankan syariah berperan sebagai lembaga intermediary, yaitu sebagai lembaga penyimpan tabungan dan investasi, dan juga lembaga penyaluran dana kepada debitur. Lembaga keuangan syariah ini diatur dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 yang memuat kegiatan usaha hingga tata kelola perbankan. Lembaga keuangan syariah adalah penjual produk dan jasa yang diawasi oleh lembaga independen seperti Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan. Dengan adanya lembaga pengawas independen, apakah industri perbankan syariah menjadi aman bagi nasabah bank?
Walaupun peran dua otoritas tersebut memiliki jangkauan yang luas untuk mengawasi bahkan menindak. Namun, dua lembaga tersebut tidak dapat menjamin ketika perbankan syariah bangkrut. Kasus seperti Bank Century yang merugikan nasabah sebesar Rp1,45 triliun ditahun 2008 atau kasus pembobolan dana nasabah senilai Rp22 miliar di Bank Maybank di tahun 2020. Meskipun kasus tersebut terjadi di perbankan konvensional yang memiliki prinsip berbeda dengan perbankan syariah, namun kasus-kasus yang terjadi bisa menjadi cerminan masih adanya potensi risiko dimasa depan pada sektor perbankan khususnya kegagalan bank melaksanakan fungsinya.
Pentingnya Peran Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)
Inilah yang menjadi peran penting Lembaga Penjamin Simpanan. Berdasarkan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2004, LPS sebagai lembaga independen yang berfungsi menjamin simpanan nasabah dan turut serta memelihara stabilitas sistem perbankan di Indonesia. Pendirian LPS dilatarbelakangi terjadinya krisis moneter yang menghantam Indonesia dan mengakibatkan 16 bank dilikuidasi serta mengakibatkan menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap perbankan. Apabila bank telah gagal melaksanakan fungsinya (bank gagal), LPS akan melindungi simpanan nasabah. Penjaminan dilakukan dalam jumlah terbatas; program penjaminan disesuaikan dengan kondisi sistem perbankan, dan penjaminan simpanan merupakan jaminan pengaman keuangan (finansial safety nets) [6]
Perbankan Syariah adalah lembaga keuangan bank yang mengimplementasikan nilai-nilai syariah baik produk ataupun operasionalnya. Walau perbankan syariah menggunakan label/simbol/unsur keagamaan terutama Islam. Menabung atau mendapatkan pembiayaan adalah bagian dari bisnis-to-bisnis atau muamallah (hubungan dengan sesama manusia). Benar adanya jika menggunakan produk perbankan syariah adalah bagian dari ibadah. Namun, bersikap kritis dan prinsip kehati-hatian harus berjalan bersamaan guna menghindari risiko di masa mendatang. Disisi lain, dengan adanya Lembaga Penjamin Simpanan dapat mempermudah masyarakat muslim di Indonesia terhindar dari risiko yang tak diinginkan khususnya kegagalan bank melaksanakan fungsinya. Serta, terhindar dari aktivitas yang tidak sesuai dengan prinsip Syariah Islam seperti Maisir, Gharar dan Riba.
#retizencompetition
[1] Setiawan, Riyan. Investasi Bodong 212 Mart Samarinda dan Pusat yang Lepas Tangan. 10 Mei 2021. https://tirto.id/investasi-bodong-212-mart-samarinda-dan-pusat-yang-lepas-tangan-gfgR (diakses Mei 20, 2021).
[2] Pebrianto, Fajar. Dugaan Investasi Bodong 212 Mart Samarinda, Siapa di Belakangnya? 6 Mei 2021. https://bisnis.tempo.co/read/1459887/dugaan-investasi-bodong-212-mart-samarinda-siapa-di-belakangnya (diakses Mei 20, 2021).
[3] Austin, David E. â"In God We Trust": The Cultural and Social Impact of Affinity Fraud in The African American Chruch.â U. of Md. L. J. of Race, Religion, Gender & Class Vol. 4, 2004: 369-393
[4] Asraf, Lubis, M. Saleh, dan Erdawati. âReligiusity Moderation on the Effect of Sharia Label Equity in Decision of Selecting Sharia Bank Mandiri Product in West Pasaman.â Journal of Social and Economics Research Vol. 2, 2017: 72-84.
[5] Bassalamah, Anwar. âHadirnya Kemasan Syariah dalam Bisnsi Perhotelan di Tanah Air.â Binus Business Review Vol. 2, 2011: 763-769
[6] Lubis, Abu Samman. Memahami Peran Lembaga Penjamin Simpanan sebagai Jaring Pengaman Sistem Perbankan Nasional. 7 Agustus 2014. https://bppk.kemenkeu.go.id/content/artikel/balai-diklat-keuangan-malang-artikel-memahami-peran-lembaga-penjamin-simpanan-sebagai-jaring-pengaman-sistem-perbankan-nasional-2019-11-05-6e43f79d/ (diakses Mei 20, 2021).
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.