Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Wasyith

Perbankan Syariah: Ambideksteritas dan Urgensi Budaya Pembelajaran Organisasi

Bisnis | 2021-05-25 23:43:45

Sebelum tahun 1990-an, kuat sekali tuntutan masyarakat yang menginginkan hadirnya entitas perbankan yang selaras dengan spirit Islam. Gayung pun bersambut dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia tahun 1991. Disusul berikutnya dengan lahirnya bank-bank syariah lainnya, baik melalui skema BUS maupun UUS.

Waktu terus bergulir dan gerakan potensial itu tampak masih jauh panggang dari api. Kondisi ini dengan sangat jelas dapat dibaca dari berbagai indikator. Di antaranya melalui data pangsa pasar perbankan Syariah yang hingga Januari 2021 masih menyentuh angka 6,55% dari total pasar perbankan nasional.

Dapat disimpulkan, tantangan saat ini berbeda dengan fase awal sebelum kemunculan perbankan Syariah. Tantangan fase sekarang tidak hanya sekadar bagaimana memiliki entitas perbankan Syariah, tapi lebih lanjut, bagaimana menumbuhkan dan mengembangkannya secara berkelanjutan.

Masih relevankah jargon populasi muslim terbesar di dunia? Paradoks apa yang sesungguhnya sedang terjadi? Bagaimana ikhtiar untuk keluar dari jebakan ini?

Melampaui Mantra Business as Usual

Harus diakui, tiga dekade sebelumya adalah fase eksperimentasi yang sangat memadai untuk lebih dari sekadar memiliki entitas bank Syariah. Ketika ternyata industri ini belum cukup memikat hati masyarakat, tampaknya masih terdapat beberapa isu yang belum tuntas. Setidaknya ada dua isu besar yang berkelindan dalam akselerasi industri perbankan Syariah di negeri ini.

Isu pertama, isu bisnis. Business as usual: bagaimana memperbesar asset, memperluas jaringan, meningkatkan portofolio bisnis, melanggengkan loyalitas nasabah, termasuk juga bagaimana menetapkan kebijakan harga (pricing) yang kompetitif. Penguasaan atas isu-isu ini relatif bisa dipelajari oleh siapapun. Dan oleh karenanya, dapat ditiru oleh pesaing.

Sedangkan isu kedua, isu syariah. Wilayah ini berkaitan dengan tingkat kepatuhan syariah, serta tingkat akomodasi spirit syariah dalam kehidupan bisnis. Isu kedua ini menjadi faktor distingtif yang unik dan khas, serta menjadi poin keunggulan (competitive advantage) sekaligus tantangan dalam pengembangan industri perbankan Syariah.

Kedua isu tersebut berbanding lurus dengan diskusi lainnya, seperti ‘Apakah perbankan syariah adalah entitas komersial murni? Seberapa penting sayap sosial? Bisakah menggabungkan antara domain komersial dan sosial? Seberapa Syariah perbankan Syariah Indonesia?’

Suka tidak suka, tantangan-tantangan di atas melekat secara erat dalam nadi industri perbankan Syariah, sekaligus membuka peluang dan horizon baru jika mampu ditangani secara proporsional.

Membaca Dinamika Melalui Lensa Ambideksteritas

Jika tantangan pengembangan perbankan Syariah tampak berwajah ganda, maka pekerjaan rumah perbankan Syariah saat ini tentu lebih dari sekadar capaian skala industri dan adopsi masyarakat yang masih rendah, tapi juga bagaimana memastikan dimensi syariah menyatu dalam budaya kerja segenap stakeholder yang terlibat di dalamnya. Untuk itu, waktunya memberikan ruang lebih leluasa untuk tampilnya gagasan-gagasan segar bagaimana mengembangkan industri ini.

Di antara lensa yang dapat digunakan adalah ambideksteritas organisasi (Organizational Ambidexterity) yang terkenal dalam literatur manajemen strategis. Istilah ini merujuk pada kemampuan suatu organisasi untuk melakukan fungsi eksploitasi (profit-efisiensi) dan fungsi eksplorasi (inovasi produk, pasar, pelanggan) secara simultan.

Di tengah lanskap kompetisi bisnis yang kompleks dan ‘cair’, ambideksteritas organisasi dapat dipahami sebagai kemampuan dinamis untuk terus beradaptasi dengan kemungkinan-kemungkinan baru. Konsep ini didasarkan pada asumsi bahwa organisasi harus mengejar tujuan eksplorasi dan eksploitasi yang saling melengkapi namun kontradiktif (Duncan, 1976). Eksploitasi memungkinkan organisasi untuk membangun dan memperluas kompetensi inti. Sedangkan eksplorasi memungkinkan pertumbuhan dan adaptasi melalui pencarian peluang dan sumber daya baru.

Suatu organisasi yang hanya fokus pada aspek eksploitasi dan abai atas aspek inovasi, dalam jangka panjang akan kalah saing. Sementara jika hanya fokus pada proses eksplorasi inovasi tanpa efisiensi, keberlangsungan suatu organisasi akan terancam, khususnya disebabkan karena biaya tinggi yang harus dikeluarkan. Organisasi dituntut untuk melakukan prinsip keseimbangan dua spek tersebut.

Apa yang dialami perbankan Syariah di Indonesia adalah tentang pentingnya seni memahami dan mengimplementasikan ambidekteritas secara lebih luas: kedua ‘tangan’ harus bekerja secara simultan, baik dalam dimensi eksploitasi maupun dimensi eksplorasi. Ini pula yang harus dilakukan guna menjembatani tensi antara beberapa isu bisnis dan beberapa isu syariah seperti dijelaskan sebelumnya.

4I: Sebuah Framework Pembelajaran Organisasi

Dipopulerkan oleh Crossan, Lane, dan White (1999), framework 4I menyerukan pentingnya empat proses pembelajaran yang harus terjadi dari waktu ke waktu dan lintas level dalam sebuah entitas bisnis, dari mulai individu, kelompok, dan organisasi.

Secara eksplisit, teori pembelajaran organisasi ini berusaha untuk memahami proses eksplorasi dan eksploitasi melalui aktifitas pembelajaran organisasi sebagai fenomena bertingkat: Intuiting, Interpreting, Integrating, serta Institutionalizing. Keempat proses tersebut meniscayakan perilaku aktif yang berkesinambungan, mulai dari aktifitas menggali intuisi, melakukan interpretasi, mengupayakan integrasi, hingga proses pelembagaan. Intuiting dan interpreting terjadi di tingkat individu. Apapun pengalaman kebermaknaan yang terjadi pada seseorang dapat dikristalisasi menjadi sebuah intuisi atau dinterpretasikan menjadi sebentuk ilham yang bisa jadi suatu saat memiliki manfaat tertentu. Sedangkan Interpreting dan integrating terjadi di tingkat kelompok. Fase ini adalah kelanjutan dari proses sebelumnya yang terjadi pada level individu. Bedanya, terjadi akumulasi interpretasi secara komunal sebelum kemudian terintegrasi. Selanjutnya, Integrating dan Institutionalizing terjadi di tingkat organisasi. Setelah proses integrasi interpretasi terjadi di level kelompok, fase selanjutnya adalah menarik integrasi tersebut ke level organisasi hingga akhirnya terlembagakan sebagai sebuah pemahaman ataupun budaya bersama. Menurut Crossan dkk. (1999), proses mikro ini dihubungkan dengan interaksi umpan maju dan umpan balik yang terjadi secara rekursif.

Pesan yang dapat diambil dari framework 4I ini adalah urgensi peran komunikasi dua arah antara individu dan kelompok dalam hubungan sense-making dan sense-giving. Artinya, masing-masing individu dan kelompok berusaha untuk menafsirkan pengalaman (juga intuisi) mereka tentang peluang baru, kemudian mengintegrasikan wawasan dari peluang baru ini sehingga sampai pada proses bagaimana melembagakannya dalam organisasi sebagai sebuah cara atau budaya kerja yang lebih baik.

Epilog

Dihadapkan pada berbagai situasi dan pilihan yang tampak paradoksal seperti ditegaskan di awal tulisan ini, perbankan Syariah dapat terus menumbuhkembangkan segenap potensi dan kapasitasnya agar dapat terus beradaptasi dengan jiwa zaman. Caranya, tentu bukan lagi melalui glorifikasi potensi pasar muslim yang mayoritas. Tapi, dengan selalu memastikan bahwa industri ini adalah orkestra kolektif (individu, kelompok, juga organisasi itu sendiri) yang terus belajar. Persis seperti pesan kuat ayat pertama dalam Al-Qur’an: “Iqra’ bismi rabbika alladzi kholaq”.

#retizencompetition

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image