Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Nurul Permana

Bank Syariah di Mata Emak Zaman Milenial

Bisnis | Tuesday, 25 May 2021, 21:01 WIB
Nurul Fithrati

Seperti deretan sinus, cosinus, tangen dalam rumus-rumus trigonometri matematika, istilah-istilah perbankan dalam rumus-rumus ekonomi juga membuat dahi mengernyit tak mengerti babar blas. Tapi, sebagai seorang ibu yang awam, dua alasan sederhana sudah cukup membuat yakin untuk berpaling pada bank Syariah.

Pada satu waktu, saya dihentakkan oleh pertanyaan si bungsu. ‘’Kenapa sih Abi, nabungnya ngga di bank syariah? Kata pak guru, bunga bank itu haram, Umi,’’ cerocos si bungsu yang sekolah di SMPIT di salah satu sudut wilayah Jakarta Timur.

Pertanyaan si bungsu mematik munculnya dua alasan sederhana untuk tidak ragu memilih bank Syariah. Yakni, alasan sistem mudharabah dan pemanfaatan dana sesuai syariah. Dua alasan sederhana tersebut sudah cukup menenangkan dari sisi keyakinan sebagai seorang Muslim. Meski perbankan syariah masih harus banyak belajar dari ‘bank sebelah’ yang lebih maju selangkah dari sisi kenyamanan pelayanan terhadap nasabahnya.

Sistem Mudharabah

Otak sempat dibuat hang ketika membaca sejumlah literatur soal makna riba yang menjadi alasan mengapa bunga bank dijatuhi haram hukumnya. Ada yang menyebut bunga pinjaman yang dikenakan pihak bank, bukanlah riba tapi ujroh (upah). Alasannya karena bank juga butuh profit untuk menggaji karyawan, sehingga pihak bank pantas menetapkan ‘bunga’ (keuntungan) dalam urusan pinjam meminjam.

Lainnya berpendapat bunga bank bisa jadi riba, bisa juga tidak. Bunga bank menjadi riba jika bunganya berlipat-lipat dan memberatkan si peminjam. Namun jika bunganya dalam batas wajar, bunga bank menjadi halal. Pusing!!!

Namun, sebagai Muslim yang ibadahnya masih ‘belang bentong’, saya salah satu yang menyakini bunga bank haram meski tidak ngerti-ngerti amat dalil-dalil syariahnya. Paling tidak ada satu dalil yang cukup menyakinkan diri saya. Surat Al Baqarah ayat 279: ’’Dan jika kamu bertaubat, maka kamu berhak atas pokok hartamu. Kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) menganiaya."

Ayat tersebut terang benderang menyebutkan bahwa bila seseorang bertaubat dari riba, ia hanya boleh menarik uang sejumlah pokok yang ia pinjamkan. Ia tidak mengambil lebih dari uang yang dipinjamkannya tersebut.

Kalau hutang atau pinjamannya Rp 1 juta, ya logika sederhananya, dibalikan pinjamannya Rp 1 juta. Tidak kurang, tidak lebih. Kira-kira begitu, dalil sederhananya.

Sistem tersebut yang ditawarkan bank syariah dalam sistem mudharabah. Dalam sistem bagi hasil (mudharabah), si peminjam (nasabah) akan mengembalikkan dana pokok pinjaman plus keuntungan (bagi hasil/mudharabah). Semuanya sudah disepakati ketika pihak bank syariah dan nasabah melakukan akad pinjaman modal usaha. Di sinilah bedanya antara bank syariah dengan bank konvensional.

Jika meminjam modal usaha di bank konvensional, maka nasabah dikenakan bunga pinjaman yang besarannya sudah ditentukan sendiri oleh pihak bank. Nasabah atau si peminjam sama sekali tidak dilibatkan dalam menentukan besaran bunga pinjaman. Nasabah dipaksa pasrah menerima besaran bunga pinjaman yang sudah pasti menguntungkan pihak bank meski harus sampai ‘mencekik leher’ nasabah mereka.

Beda dengan bank syariah yang menggunakan pendekatan bagi hasil (mudharabah). Ketika akan meminjam modal usaha kepada bank syariah, nasabah dilibatkan dalam menentukan besaran persentase bagi hasilnya. Di sini nasabah punya posisi tawar untuk menentukan besaran bagi hasilnya, apakah persentase mudharabah-nya 50:50 atau 60:40.

Perbedaan lainnya adalah nasabah bank konvensional tetap harus membayar cicilan bunga pinjaman meski sedang dalam kondisi pailit. Sementara di konsep mudharabah-nya bank syariah, nasabah tidak dikenakan kewajiban membayar mudharabah (bagi hasil) jika memang bulan itu tidak berhasil memperoleh keuntungan usaha. So, sistem mudharabah-nya bank syariah cukup adil dan menenangkan.

Selain alasan sistem mudharabah, ada satu hal lagi yang membuat saya merasa nyaman bersama bank syariah. Yakni, kepastian bahwa dana simpanan nasabah dimanfaatkan sesuai prinsip-prinsip syariah.

Tren Positif

Lepas dari alasan syari mengapa memilih bank syariah, ada alasan lain yang membuat saya semakin yakin melirik bank syariah. Yakni, pertumbuhan keuangan syariah di Indonesia yang terus mengalami tren kenaikan.

Sejumlah indikator menunjukkan tren positif tersebut. Aset perbankan syariah disebut mengalami pertumbuhan 10,97 persen secara tahunan (year on year) pada September 2020. Dana pihak ketiga perbankan syariah juga dikatakan mampu mencatatkan pertumbuhan 11,56 persen (yoy). Dari sisi pembiayaan, perbankan syariah tumbuh 9,42 persen (yoy).

Meski kurang begitu memahami indikator-indikator keuangan tersebut, saya merasa cukup yakin hal tersebut merupakan sinyal positif bagi perkembangan industri syariah Indonesia. Apalagi, ekonomi syariah Indonesia sukses menorehkan prestasi di level internasional.

Indonesia berhasil menduduki peringkat empat dalam The State of Global Islamic Economic Report 2020/2021. Peringkatnya terus naik dari sebelumnya posisi lima pada 2019 dan ranking 10 pada 2018. Dan, laporan Islamic Finance Development Indicator (IFDI) tahun 2020 juga menetapkan Indonesia sebagai negara peringkat ke-2 dunia dalam pencapaian perkembangan industri keuangan Islam.

Keberpihakan pemerintah pun semakin menguatkan keuangan syariah. Menteri BUMN Erick Thohir yang terpilih sebagai ketua umum Masyarakat Ekonomi Syariah (MES), berkomitmen memajukan keuangan syariah. Wapres Ma’ruf Amin bertekad membawa Indonesia menjadi leader dalam industri ekonomi dan keuangan syariah dunia pada 2024.

Teranyar adalah kehadiran Bank Syariah Indonesia (BSI) yang diresmikan Presiden Joko Widodo pada awal Februari 2021. BSI yang merupakan hasil merger tiga bank syariah Himbara –BNI Syariah, BRI Syariah dan Bank Syariah Mandiri-- ini menjadi bukti keseriusan pemerintah dalam mengembangkan industri perbankan syariah Tanah Air.

Emak Milineal

Di luar semua itu, saya hanyalah seorang emak yang ‘terkurung' di era milineal dengan tiga anak remaja Generasi Z (kelahiran 2000-an). Mau tidak mau, emak yang lahir dari Generasi X ini harus mampu beradaptasi dengan atmosfer zaman milineal yang serba digital friendly.

Itu pula yang saya harapkan pada bank syariah. Karena, dibandingkan dengan ‘bank sebelah’, pelayanan bank syariah bisa dibilang masih kalah. Ketika ‘bank sebelah’ sudah punya mesin ATM yang memanjakan nasabahnya bisa menabung sendiri tanpa harus lewat teller, kebanyak ATM bank syariah bisa dibilang masih jadul dan terbatas jumlahnya.

‘Bank sebelah’ juga sudah memiliki mesin dimana nasabahnya bisa mencetak (ngeprint) sendiri buku tabungannya, bahkan mencetak sendiri kartu ATM-nya. Sementara, nasabah bank syariah masih harus mengantre di teller untuk sekadar ngeprint buku tabungan. Atau, menunggu giliran bertemu customer service untuk membuat kartu ATM.

Yang tak kalah penting adalah digital banking. Di zaman teknologi serba canggih ini, semua urusan transaksi keuangan kini diselesaikan lewat dua jempol jari kita. Transfer uang yang dulunya harus antre di depan teller, kini cukup lewat layanan mobile banking. Begitu pula urusan tetekbengek membayar iuran bulan seperti bayar listrik, PAM air dan tagihan telepon rumah.

Bank syariah harus unggul satu langkah dalam urusan pelayanan digital banking guna memanjakan nasabahnya. Jika hal tersebut bisa terwujud, maka sempurnalah menjadi nasabah bank syariah. Aman dari sisi syariah, nyaman dari sisi pelayanan. Sempurna..

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image