Sri Lanka Bangkrut Karena Utang, Indonesia?
Politik | 2022-04-22 09:04:30Oleh : Desti Ritdamaya
Praktisi Pendidikan
Sri Lanka bangkrut menjadi headline berita di media massa dan sosial. Bahkan kondisi terkini pemerintah setempat sudah menetapkan status negara darurat nasional. Karena dalam negeri kekurangan makanan, bahan bakar dan kebutuhan pokok lainnya dalam tingkat akut. Kondisi semakin mencekam, unjuk rasa masyarakat meluas, disertai dengan sikap represif pemerintah dalam menanganinya. Sehingga muncul seruan bagi perantauan untuk menyumbangkan hartanya membantu negara menghadapi kondisi genting ini.
Media massa mengulas bangkrutnya Sri Lanka disebabkan kegagalan negara dalam membayar utang luar negeri sebesar 51 miliar dollar AS (Rp 732 triliun). Sejak tahun 2005 Sri Lanka menambah kapasitas utangnya ke China untuk proyek infrastruktur. Tapi media massa menyebut proyek tersebut sebagai “gajah putih”. Maksudnya proyek yang tampak berharga tapi tidak langsung dirasakan oleh rakyat. Yang semakin menohok pemerintah Sri Lanka, sikap China menolak untuk menjadwalkan ulang pembayaran utang.
Sri Lanka Cermin Untuk Indonesia
Bangkrutnya Sri Lanka akibat utang, harusnya menjadikan Indonesia lebih waspada. Karena akhir Februari tahun ini, pemerintah melaporkan posisi utang luar negeri berada pada angka Rp 7.014,58 triluan. (www.bisnis.com,10/04/2022). Ini artinya dengan hitungan kasar utang luar negeri Indonesia hampir sepuluh kali lipat dari Sri Lanka.
Hampir sama dengan Sri Lanka, Kemenkeu merilis alokasi utang luar negeri juga digunakan untuk pembiayaan proyek infrastruktur. Padahal infrastruktur tersebut banyak yang mangkrak yang justru merugikan keuangan negara. Di sisi lain APBN setiap tahunnya selalu defisit. Sudah menjadi rahasia umum, defisit ini selalu ditutupi pemerintah dengan menambah utang baru. Tahun 2022 ini, hampir 20,87 % APBN digunakan untuk bayar bunga utang saja.
Posisi ini rentan sekali untuk terjatuh pada lubang yang sama seperti Sri Lanka. Tapi sayangnya pemerintah menyatakan tidak perlu khawatir dengan dampak utang yang menggunung ini. Karena rasio utang tahun 2022 terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masih aman, yaitu sekitar 40,17 persen. Lantas pemerintah membandingkan dengan negara maju lainnya yang rasio utangnya sudah di atas 80 persen. Padahal para ekonom menjelaskan rasio utang ini berbahaya bagi keuangan negara. Berpotensi picu terjadinya krisis ekonomi.
Utang Denyut Ekonomi Kapitalis
Dari 241 negara yang diakui oleh PBB, hanya ada 7 negara di dunia yang tak memiliki utang luar negeri (www.okezone.com, 31/08/2021). Artinya hampir 97 % negara di dunia mempunyai utang luar negeri. Tak hanya dilakukan oleh negara terkategori miskin dan berkembang, tapi juga negara maju seperti China, Rusia, Amerika Serikat, Inggris, Jepang dan sebagainya. Setiap tahun Bank Dunia mencatat terjadi kenaikan rata-rata utang negara-negara.
Data ini menunjukkan bahwa denyut nadi ekonomi negara dunia hari ini bertumpu pada utang. Padahal negara-negara maju sudah menerapkan pajak yang sangat tinggi bagi rakyatnya. Sumber keuangan negara yang dominan dari pajak pun tak mampu menutupi kebutuhan keuangan negara. Liberalisasi ekonomi di berbagai negara hari ini, terbukti tak memberikan keuntungan finansial bagi negara. Hanya memberikan keuntungan pada pemilik kapital yang mencengkram aset-aset strategis negara.
Setiap utang luar negeri pastilah disertai dengan bunga. Tak ada yang menafikkan utang ribawi seperti ini sangat memberatkan dan merugikan setiap negara yang berutang. Kekayaan negara semakin tergerus dengan semakin tingginya utang negara. Sudah banyak negara yang menjadi korban perangkap utang ribawi. Dan selalu berakhir dengan krisis multidimensi dalam negaranya.
Islam Larang Utang Ribawi
Dalam syari’at Islam, utang yang disertai bunga termasuk dosa besar. Karena riba telah diharamkan oleh Allah SWT dalam Al Quran dan hadis Rasulullah SAW
وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلْبَيْعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰا۟
Artinya : Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba (TQS. Al Baqarah ayat 275)
الرِبَا ثَلاَثَةٌ وَسَبْعُوْنَ بَابًا أيْسَرُهَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ الرُّجُلُ أُمَّهُ وَإِنْ أَرْبَى الرِّبَا عِرْضُ الرَّجُلِ الْمُسْلِمِ
Artinya : Riba itu ada 73 pintu (dosa). Yang paling ringan adalah semisal dosa seseorang yang menzinai ibu kandungnya sendiri. Sedangkan riba yang paling besar adalah apabila seseorang melanggar kehormatan saudaranya (HR. Al Hakim Dan Al Baihaqi). Jadi legalnya transaksi riba dalam kehidupan bahkan menjadi penopang utama ekonomi negara termasuk pelanggaran terhadap syari’at Islam secara sistemik.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap utang piutang antar negara/lembaga no free lunch. Ada udang di balik batu dari pemberian ‘sukarela’ ini baik dari sisi ekonomi maupun politik. Dari sisi ekonomi, negara/lembaga kreditur (pemberi utang) mendapatkan keuntungan finansial besar dari sistem ribawi tersebut. Keuangan negara debitur (penerima utang) akan terkuras hanya untuk membayar utang beserta dengan bunganya. Jadi utang dijadikan sarana eksploitasi kekayaan negara debitur oleh negara/lembaga kreditur. Hakikatnya negara debitur akan ‘termiskinkan’, tidak mandiri dan tidak mendapatkan apa-apa selain dari ketergantungan yang semakin menjerat.
Tidak hanya itu acapkali negara/lembaga kreditur memberikan persyaratan tertentu sesuai dengan kepentingan politik atau ideologi mereka. Mau tidak mau negara debitur harus menyesuaikan diri dengan persyaratan tersebut. Utang menjadi pintu pembuka bagi negara/lembaga kreditur menancapkan pengaruh dan kebijakan mereka. Secara tidak langsung utang tersebut menjadi senjata untuk memaksakan kepentingan politik atau ideologi pada negara debitur. Akhirnya negara debitur pun hanya menjadi ‘pengekor’, lemah politik luar negerinya dan mudah ‘dikuasai’.
Dari bahaya ini, maka utang negara tersebut diharamkan karena menjadi sarana timbulnya berbagai kemudharatan pada kaum muslim. Seperti kemiskinan dan kesengsaraan sistemik pada kaum muslim karena pengeksploitasian kekayaan negeri mereka. Serta adanya penguasaan/dominasi ideologi yang bertentangan dengan akidah dan syari’at Islam (kapitalisme/komunisme) secara tidak langsung pada kaum muslim. Allah SWT berfirman :
وَلَن يَجْعَلَ ٱللَّهُ لِلْكَٰفِرِينَ عَلَى ٱلْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا
Artinya : Dan sekali-kali Allah tidak akan menjadikan jalan bagi orang-orang kafir untuk menguasai kaum mukminin (QS An Nisa’ ayat141)
Sumber Pendapatan Negara Dalam Islam Bukan Utang
Dalam Islam pendapatan utama negara ditetapkan dari pendapatan kepemilikan negara dan umum. Kepemilikan negara diperoleh dari harta fa’i, ghanimah, jizyah, kharaj, ‘usyur, khumus, rikaz dan zakat. Sedangkan kepemilikan umum diperoleh dari air (laut, sungai, danau, rawa dan lain sebagainya); padang (termasuk isi perut bumi yang mengandung berbagai SDA) dan api (sumber energi panas bumi, gas, tenaga surya, api menyala dan lain sebagainya). Hal ini sesuai dengan hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan Abu Dawud dan Ahmad.
الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاَثٍ فِي الْكَلإَ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ
Artinya : Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api
Syari’at Islam memberikan kekuasaan kepada negara untuk mengelola harta kepemilikan umum dan negara. Diharamkan pengelolaannya diserahkan pada individu atau badan usaha (baik dalam negeri atau asing). Pengelolaan oleh negara bervisi melayani kebutuhan rakyat. Artinya dibelanjakan untuk urusan/kebutuhan rakyat dan negara dalam rangka mewujudkan kemajuan taraf ekonomi.
Pengelolaan harta kepemilikan umum dan negara saja secara optimal, dapat menjadikan rakyat makmur dan sejahtera. Sehingga tidak menggantungkan pendapatan pada pajak atau utang yang membuat rakyat sengsara. Negara juga akan mampu bertahan dari krisis ekonomi dengan keberlimpahan pendapatan dari dua sektor ini. Begitu lengkap dan sempurna syari’at Islam mengatur perekonomian negara. Sudah seharusnya negara ini menerapkan syariat Islam secara kaffah, sebagai bentuk ketaqwaan pada Allah SWT dan agar kemakmuran masyarakat menjadi keniscayaan.
Wallahu a’lam bish-shawabi.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.