Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Alfina Rahmatia

Tentang Anak Muda, Jogja, KPR, dan Bank Syariah Indonesia

Gaya Hidup | Monday, 24 May 2021, 15:05 WIB

Setiap kali saya berkendara mengelilingi kota Jogja, tidak hanya coffee shop saja yang menjamur, tapi juga promosi KPR rumah mulai dari baliho sampai brosur kecil yang ditempel di tiang-tiang listrik. Dengan promosi seperti itu, sangat jarang seseorang tidak tertarik, minimal bertanya dan mencari tau informasinya lebih lanjut.

Jogja yang sebagaian besarnya dihuni oleh pendatang, mulai dari mahasiswa dan pekerja, ditambah mahasiswa yang belum lulus-lulus atau lulusan kampus Jogja yang kembali datang untuk bermukim karena terjebak rasa nyaman. Maka, ngga heran kalau pegiat bisnis properti menganggap ini sebagai lahan untuk mendulang pundi-pundi. Karena, siapa sih yang ngga mau punya rumah sendiri?

Maraknya bisnis properti juga dibarengi dengan pembangunan mall dan hotel yang merajalela. Banyaknya aksi unjuk rasa untuk stop pembangunan hotel karena merugikan alam dan masyarakat tampak tidak begitu digubris oleh pemangku kebijakan. Lantas dengan jelas kita dapat melihat ketimpangan yang begitu dahsyat terjadi. Permukiman kumuh di tengah hotel megah nan mewah di tengah kota Jogja.

Pembangunan yang secara teori ekonominya berguna untuk mengurangi angka kemiskinan, ternyata realitanya berbanding terbalik. Justru, secara implisit membuat yang miskin seolah terus digiring untuk tetap menikmati hidup di emperan dan lingkungan kurang layak tinggal. Heh, biasalaaah~

*

Harga KPR rumah rata-rata di Jogja berada pada kisaran Rp 300 juta hingga Rp 700 jutaan. Di mana itu tandanya, kaum UMR Jogja dengan gaji Rp 1,3 juta hanya dapat mengambil KPR rumah yang seharga Rp 300 juta, itupun seluruh gaji digunakan untuk membayar cicilan KPR. Sungguh ngga bisa dikatakan keuangan yang sehat. Bagaimana dengan uang investasi lain dan dana darurat yang harus disiapkan kalau semua pemasukan dipakai untuk nyicil KPR?

Menurut saya, harga KPR rumah di Jogja membuat kita, muda mudi usia menuju kepala tiga khususnya, merasa terpinggirkan karena harga KPR yang tidak bersahabat. Lain hal dengan mereka dengan penghasilan bejibun, kaum kelas menengah ke atas dan kelas atas ke langit. Tentu saja investasi properti adalah incarannya, terlebih bisnis ini menjanjikan dengan harga yang terus naik setiap tahunnya.

Tentu saya paham, meminta agar harga KPR rumah diturunkan kepada pembisnis properti bukanlah hal yang tepat, toh bisnis tetap bisnis, meraup keuntungan sebesar-besarnya. Konsep ekonomi syariah bahwa jual beli harus berlandaskan akad adil tanpa mendzolimi satu belah pihak, nampaknya belum terealisasikan pada bisnis properti. Setidaknya bagi kita, yang cukup terbebani dengan cicilan harga langit itu.

*

Alhasil, saya menemukan berbagai alasan untuk tidak mengambil KPR rumah. Pertama, kalau kita mangambil KPR rumah sedangkan masih ada kemungkinan pindah 5-10 tahun yang akan datang ke ke kampung halaman entah karena diminta orang tua, faktor kerjaan, atau lainnya. Maka rumah yang sudah dicicil itu harus tetap dilunasi dengan konsekuensi tambahan berupa biaya perawatan rumah yang tidak sedikit.

Selain biaya perawatan rumah, kalau rumah itu dikontrakkan, maka setidaknya kita harus pastikan siapa yang mengontrak. Kalau ternyata dikontrakkan, lalu dijadikan wadah bandar narkoba bagaimana? Kan, kita juga yang kena imbasnya. Intinya, kita ngga bisa lepas tangan begitu aja.

Kedua, ketika kita mengambil KPR rumah dalam kondisi keuangan yang tidak stabil, maka bersiaplah menerima kemungkinan besar untuk terjerat hutang dalam waktu beberapa tahun ke depan. Akhirnya, rumah ngga dapat, tapi hutang melilit. Gali lobang tutup lobang sana sini. Dih, amit-amit.

Ketiga, tanpa perhitungan yang matang, demi melawan gengsi sebagai anak yang sudah bekerja di mata keluarga, KPR rumah seakan solusi satu-satunya. Hingga datanglah penyesalan di belakang akibat gengsi dan terburu-buru dalam mengambil keputusan. Poin ketiga ini justru yang sering terjadi. Kemakan gengsi duniawi, menyesal kemudian.

*

Oleh karena itu, berdasarkan apa yang saya amati dari berbagai artikel dan media sosial, saya punya beberapa saran yang juga didapat dari hasil obrolan bersama teman-teman perihal KPR rumah. Yaitu, meredam gengsi adalah langkah pertama. Rumah memang kebutuhan primer, tapi mengontrak bukanlah aib. Santai aja, apalagi kalau kita sedang pada tahap belajar menerapkan perencanaan keuangan yang baik.

Selanjutnya, menabung atau investasi, misalnya menabung emas rutin setiap bulan untuk membeli tanah, lalu sedikit demi sedikit membangun rumah impian. Perlahan tapi pasti. Trik ini cocok untuk kita yang berusaha menghindari bunga pada KPR rumah. Bisa pula mencoba mengambil produk Griya Hasanah atau Griya Simuda yang memiliki marjin murah dan cocok untuk generasi milenial dari Bank Syariah Indonesia (BSI), karena program pembiayaan perumahan spesial BSI terdapat pemberian harga khusus untuk nasabah pilihan berupa margin mulai 3,3%, pembebasan DP bagi nasabah (DP nol persen), bahkan ada hadiah tiket ibadah haji tanpa diundi bagi nasabah yang beruntung.

Maka tetap pastikanlah sudah berada pada kondisi keuangan yang stabil dengan arus keluar masuk kas yang sehat. Karena KPR rumah bukan dua atau tiga tahun, tapi sepuluh sampai dua puluh tahun bahkan lebih (tergantung besaran cicilan yang diambil). Apalagi kalau sudah memiliki anak, slot pengeluaran keuangan akan bertambah untuk pendidikan anak. Belum lagi ditambah biaya asuransi kesehatan dan pengeluaran sekunder lainnya. Selamat mencoba tips and trick di atas.

Referensi:

https://tirto.id/yogya-rumah-dan-ketimpangan-kelas-bCQo

https://www.cermati.com/artikel/mending-jangan-ambil-kpr-jika-belum-siap-dengan-5-hal-ini

https://www.cnbcindonesia.com/syariah/20210414145057-29-237835/geber-terus-kpr-bank-syariah-indonesia-di-q1-tembus-rp-38-t

Keterangan: Artikel ini pernah diterbitkan di https://pucukmera.id/perihal-jogja-anak-muda-dan-persoalan-rumah/ dengan perubahan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image