Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Siswantoro

Membumikan Perbankan Syariah melalui Peran Krusial Masjid Daerah

Eduaksi | Sunday, 23 May 2021, 23:41 WIB

Literasi keuangan syariah menjadi variabel dominan dalam meningkatkan minat masyarakat untuk menggunakan produk keuangan syariah. Hal ini bermakna bahwa semakin tinggi indeks literasi keuangan syariah, seyogyanya semakin banyak pula masyarakat yang mengakses produk-produk keuangan syariah. Sayangnya, kabar mengenai indeks literasi keuangan syariah Indonesia dalam beberapa tahun terakhir terkonfimasi kurang menggembirakan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melaporkan di tahun 2020, tingkat melek keuangan syariah masyarakat hanya berkisar 8,93%, tertinggal jauh dari indeks literasi keuangan nasional yang sudah mencapai 38,03%. Rendahnya tingkat melek masyarakat dalam memahami keuangan syariah berdampak domino pada rendahnya masyarakat dalam menggunakan produk-produk keuangan syariah. OJK menyebut bahwa saat ini masyarakat yang sudah menggunakan produk keuangan syariah hanya 9,1% dari total populasi, bandingkan dengan angka inklusi keuangan konvensional nasional yang sudah mencapai lebih dari 8 kali lipatnya. Tingkat literasi dan inklusi keuangan syariah yang masih rendah di negara dengan mayoritas penduduk muslim terbesar di dunia tentunya menjadi ironi yang harus segera terpecahkan. Produk keuangan syariah seharusnya tidak lagi asing untuk diakses oleh masyarakat di negara berpenduduk mayoritas muslim seperti Indonesia.

Infrakstruktur menjadi hal krusial dalam memberikan pemahaman dan penetrasi terhadap produk-produk keuangan syariah. Hal ini disadari betul oleh OJK yang mengakui bahwa infrakstruktur keuangan syariah di negara sebesar Indonesia belum 100% mewadahi. Hal ini dapat di lihat dari sisi jumlah perbankan syariah yang terbilang masih minim. Data OJK menyebut bahwa saat ini jumlah bank syariah yang beroperasi hanya 14 perusahaan, dengan total kantor cabang hanya 1905 unit. Bandingkan dengan jumlah bank konvensional yang sudah mencapai 96, dengan jumlah kantor cabang tercatat sebanyak 29.222 yang tersebar di seluruh Indonesia. Minimnya jumlah bank syariah yang diperparah dengan rendahnya literasi turut berkontribusi besar dalam membatasi masyarakat untuk mengakses layanan dan produk bank syariah. Alhasil, masyarakat lebih memilih bank konvensional yang sudah lama dikenal.

OJK sebagai pihak yang bertanggungjawab dalam memajukan inklusi dan literasi keuangan nasional tentunya tidak tinggal diam akan masalah ini. Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan indeks literasi keuangan syariah pada masyarakat. Upaya tersebut dapat tergambar dari rencana besar OJK untuk mengedukasi masyarakat akan pentingnya literasi keuangan syariah yang terangkum dalam 4.727 kegiatan. Berbagai kegiatan tersebut dikemas dalam berbagai acara seperti webinar, sosialisasi dan edukasi keuangan syariah ke berbagai kelompok masyarakat. Dengan harapan bahwa melalui serangkaian kegiatan edukasi ini, masyarakat dapat lebih mengenal berbagai layanan keuangan syariah sehingga dapat meningkatkan minat mereka untuk menggunakan produk keuangan berbasis syariah.

Berbagai upaya tersebut memang patut diapresiasi, namun apabila ditelisik lebih mendalam memiliki beberapa kelemahan mendasar. Selain boros dana dan tidak mampu mengakomodasi secara penuh pada seluruh lapisan masyarakat, kegiatan-kegiatan webinar dan sosialisasi juga terkesan tidak berkelanjutan. Selain itu, suasana kegiatan yang kaku dan formal memungkinkan masyarakat kelas menengah ke bawah untuk sulit menerima informasi sehingga memberikan hasil yang kurang maksimal. Untuk itu, diperlukan alternatif edukasi keuangan syariah yang lebih dekat, konkret dan sustainabilty agar masyarakat benar-benar dapat memahami produk-produk keuangan syariah.

Masjid mungkin menjadi salah satu jawaban atas masalah literasi keuangan syariah. Gagasan ini menekankan pentingnya peran krusial masjid dalam mengedukasi masyarakat, terutama pada kalangan menengah ke bawah dalam meningkatkan pemahaman mengenai produk keuangan syariah. Terdapat tiga alasan kuat mengapa ide ini layak diterapkan ke depan. Pertama, sejarah membuktikan bahwa Rasulullah SAW memfungsikan masjid tidak hanya sebatas sebagai tempat ibadah saja, namun kegiatan lain seperti sosial kemasyarakatan, pendidikan dan pembinaan sumber daya manusia, sampai pemberdayaan ekonomi juga terfokus di masjid. Shayyurahman Al-Mubarakfuri mengutarakan bahwa sejarah Masjid Nabawi di Madinah yang didirikan oleh Rasulullah SAW memiliki tidak kurang dari sepuluh peranan dan fungsi (Sumalyo, 2000). Sayangnya, sebagian besar masjid di Indonesia saat ini hanya difungsikan sebagai tempat ibadah umat muslim saja.

Alasan kedua, didukung oleh banyaknya jumlah masjid yang tersebar luas di Indonesia. Data Dewan Masjid Indonesia (DMI) menyebut, jumlah masjid di Indonesia merupakan yang terbanyak di dunia yaitu mencapai 800.000. Artinya, setiap satu masjid yang berada di daerah dapat diakses oleh 220 orang. Di samping itu, masjid juga hampir selalu ditemukan di pedesaan, bahkan di desa yang cukup pelosok sekalipun. Alasan terakhir bersumber dari suasana masjid yang begitu dekat dan kental di masyarakat sehingga proses edukasi menjadi lebih mengena. Atas tiga alasan inilah, sepertinya tidak salah apabila masjid difungsikan sebagai tangan panjang OJK dalam proses edukasi produk keuangan syariah kepada masyarakat sehingga inklusi dapat ditingkatkan.

Apabila gagasan ini diterapkan ke depan, OJK beserta bank syariah dapat melakukan proses kerja sama dengan pihak pengurus masjid. Sebelumnya, pengurus masjid harus sudah mendapat pelatihan edukasi mengenai produk keuangan syariah melalui bank syariah di daerah. Setelah itu, mereka dapat melakukan proses edukasi kepada masyarakat, terutama masyarakat pedesaan, secara lebih luas melalui kegiatan yang lebih dekat. Hal ini akan menambah pemahaman akan berbagai layanan keuangan syariah sehingga dapat meningkatkan indeks literasi yang bermuara pada membuminya produk layanan bank syariah di Indonesia.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image