Mengurai Akar Masalah Suara Mahasiswa – Pendapat Mahfud MD
Politik | 2022-04-19 10:51:07Oleh : Desti Ritdamaya
Praktisi Pendidikan
Aksi mahasiswa turun ke jalan dalam sepekan terakhir tak hanya menyita atensi masyarakat, tapi menjadi diskusi panas di ruang publik. Idealis mahasiswa terbangkitkan oleh belitan masalah konteks politik dan ekonomi terkini. Mereka menyuarakan aspirasi dan asa rakyat korban kepentingan politik dan ekonomi lingkar kekuasaan.
Mahasiswa tak hanya menolak penundaan pemilu 2024 atau masa jabatan presiden 3 periode. Tapi menuntut pemerintah segera menyelesaikan kenaikan harga sembako (seperti minyak goreng, gula, beras, bawang, LPG, BBM, listrik) yang massif dan simultan menjelang Ramadhan; Mengusut kekuatan mafia pasar yang menyebabkan kelangkaan sembako dan mempermainkan harganya; juga mengkaji ulang UU bermasalah seperti IKN dan Cipta Kerja.
Pihak istana cemas jika aksi mahasiswa menjadi motor penggerak yang mendatangkan skala aksi lebih besar. Terlihat dari turun gunungnya Wiranto dalam menanganinya. Karena semua tuntutan mengarah pada presiden Jokowi. Dalam aksi terbentang spanduk meminta Jokowi mundur. Tak kalah lantang, emak-emak pun menyuarakan hal yang sama.
Tuntutan Mahasiswa Masalah Sistemik
Harus diakui sebenarnya beberapa tuntutan mahasiswa merupakan masalah ‘klasik’ yang sudah berurat akar, terus berlanjut hari ke hari tanpa ada solusi. Masalah yang bersumber dari aturan segala lini bernegara yang dikendalikan oleh korporatokrasi.
Yang paling menonjol adalah liberalisasi ekonomi. Pengelolaan hulu-hilir SDA dan aset strategis lainnya diserahkan pada badan usaha dalam negeri maupun asing yang berorientasi profit. Pemerintah hanya berperan sebagai regulator yang mendapat ‘jatah’ tak sepadan. Ini adalah ciri khas ekonomi kapitalistik warisan penjajah yang diterapkan negeri ini sejak merdeka. Dalam kasus melejitnya harga minyak goreng dan BBM, pemerintah bukan ‘kalah’ pada mafia pasar. Tapi memang mafia pasar diberikan karpet merah dan dilegalkan atas nama investasi. Jadi wajar harga sembako atau tarif pelayanan publik lainnya tak henti menanjak karena mengikuti ‘selera’ mafia pasar.
Liberalisasi ekonomi melahirkan masalah turunan, terkait kebijakan dan pelayanan publik. Tak dapat disangkal, semuanya sarat dengan kepentingan korporatokrasi bukan rakyat. Sangat nampak pada UU IKN dan Cipta Kerja. IKN proyek ambisi tanpa rasionalisasi aspek keuangan, kelayakan lingkungan ataupun keamanan. Tak hanya mendapat kritikan tajam dari dalam negeri, tapi juga olokan dari dunia internasional. Demo berjilid dilakukan para buruh menolak UU Cipta Kerja. Karena dinilai sangat merugikan buruh dan memanjakan pemilik kapital. Tapi sekali lagi pemerintah tutup mata telinga, UU tetap melenggang aman di Paripurna.
Sejuta masalah rakyat lain juga bermodus sama. Tak ada solusi tuntas menyentuh akar persoalan yang diberikan oleh negara kecuali tambal sulam. Seperti pemberian BLT, subsidi upah atau Bansos sejenis. Ini mengulang kembali kebijakan gagal sebelumnya untuk menutupi kesemrawutan tata kelola kebijakan pemerintah.
Jelas dengan telaah realitas ini, sekadar pergantian pemimpin bukanlah solusi. Karena akar masalahnya ada pada penerapan sistem kapitalistik dalam kehidupan. Tak layak lagi dipertahankan sistem gagal ini. Karena sudah dari akarnya, kapitalisme menumbuhkan bibit kemiskinan dan ketidakadilan ekonomi sistemik.
Butuh Solusi Ideologis
Dalam kebijakan dan tata kelola bernegara dibutuhkan aturan yang memanusiakan manusia dengan memberikan keadilan dan ketenangan. Ini tak mungkin diraih kecuali aturan terbaik yang berasal dari Allah, Rabb semesta alam. Islam tentu saja memiliki seperangkat aturan bernegara yang komprehensif termaktub dalam hukum syara’. Sehingga permasalahan sistemik hari ini hanya Islam yang mampu mengatasinya.
Islam mengharamkan liberalisasi sektor kepemilikan umum seperti SDA dan aset strategis lainnya. Tak diizinkan tata kelolanya diserahkan pada individu atau badan usaha. Sesuai dengan hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan Abu Dawud dan Ahmad.
الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاَثٍ فِي الْكَلإَ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ
Artinya : Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api.
Syari’at Islam memberikan kekuasaan pada negara untuk mengelola harta kepemilikan umum. Dengan keberlimpahannya, sumber pendapatan negara bertumpu pada hasil pengelolaannya, bukan pada pajak atau utang luar negeri.
Pengelolaan oleh negara bervisi melayani kebutuhan rakyat bukan profit. Pendapatan dibelanjakan untuk urusan kemashlahatan rakyat dan negara. Pembiayaan bidang kesehatan, pendidikan, keamanan, dan sektor publik lainnya menjadi tanggungan negara, bukan urunan dari rakyat.
Di pundak negara pemenuhan kebutuhan pangan per kepala rakyat secara menyeluruh. Negara menjamin ketersediaan pangan dengan melakukan politik pertanian, pertanahan, pengelolaan ekspor impor sesuai syari’at Islam. Negara berkuasa penuh atas produksi dan stok pangan. Tidak diserahkan pada mekanisme pasar, sehingga berdampak pada stabilitas harga.
Islam mewajibkan negara melakukan distribusi kekayaan di tengah-tengah masyarakat (QS. Al Hasyr ayat 7). Mekanismenya melalui beberapa instrumen. Antara lain adanya filantropi Islam berupa zakat, infaq, sedekah dan wakaf oleh individu yang mampu, yang bernilai ibadah. Adanya diwaanu al ‘athaai (seksi santunan) dan diwaanu ath-thawaari (seksi urusan bencana alam) dalam baitul mal untuk mengurusi santunan negara kepada rakyat yang membutuhkan. Instrumen-instrumen ini tak hanya potensial dalam mengatasi ketimpangan ekonomi kaya-miskin, tapi juga untuk pemberdayaan ekonomi rakyat.
Narasi Redam Solusi Ideologis
Dalam dekade terakhir, tren penyuaraan syari’at Islam sebagai solusi bernegara mengalami peningkatan. Tak hanya nampak dari opini di media massa atau sosial, tapi didukung survey skala nasional dan global. Publikasi ISEAS-Yusof Ishak Institute di Singapura dengan responden dari 34 provinsi Indonesia merilis 67 % responden menganggap penerapan syari’at Islam mampu menjaga moral masyarakat (www.dw.com, 08/092017). Selaras dengan publikasi Pew Research Center di AS dengan responden dari 39 negara merilis 70 % lebih responden menginginkan syari’at Islam diterapkan. Serta LSI merilis jumlah warga yang pro NKRI syariah naik signifikan (www.voaindonesia.com, 18/07/2018).
Sayangnya menggemanya solusi ideologi Islam sengaja diredam sistematis oleh penguasa hari ini. Nampak ada ketakutan pada lingkar kekuasaan, jika syari’at Islam diterapkan. Ya wajar. Karena ekonomi dan kekuasaan mereka kokoh dengan eksistensi sistem kapitalis. Tak hanya itu cara pandang mereka dipengaruhi nilai-nilai peradaban sekuler Barat. Ajaran Islam dihakimi dengan standar nilai sekuler Barat. Apabila berseberangan, ajaran Islam wajib diubah dan disesuaikan. Padahal cara pandang ini jelas bertentangan dengan aqidah Islam yang menjadikan Allah sebagai Al Khaliq juga Al Mudabbir (pengatur) kehidupan.
Dengan mesin uang dan opini, dinarasikan ‘keburukan’ Khilafah tak hanya dari sisi historis dan sosiologis tapi menyasar sisi teologis. Dinarasikan khilafah tidak ada dalilnya dalam Al Quran. Yang ada hanya istilah khalifah tapi sama sekali tidak mengandung konotasi politik. Khilafah produk tafsir ulama yang praktiknya tak ada kebakuan di dalamnya. Narasi inilah yang juga disuarakan oleh Bapak Mahfud MD dengan menyatakan haram hukumnya mendirikan negara seperti yang dibentuk Nabi SAW.
Bagi yang mengkaji literatur fiqih Islam, pendapat seperti di atas sangatlah lemah tidak berdasar syara’. Khilafah adalah ajaran Islam dengan dalil-dalil syara’. Nash Al Quran mewajibkan pelaksanaan sanksi hudud (potong tangan, rajam, qishah) yang hanya bisa diwujudkan jika ada khalifah. Sehingga mengangkat khalifah sama hukumnya dengan menerapkan hudud tersebut.
Ijma’ shahabat secara sharih menyepakati wajibnya mengangkat pengganti Nabi dalam mengurusi agama dan dunia. Dilakukan penundaan shalat jenazah Rasulullah SAW yang mulia, sampai akhirnya diangkat Khalifah Abu Bakar. Semua ulama ahlussunnah sepakat keberadaan imam dan imamah adalah wajib. Penjelasan ini termaktub dalam banyak kitab fiqih Islam karangan para ulama. Sehingga tak perlu lagi ragu dengan kewajiban Khilafah.
اَلۡحَـقُّ مِنۡ رَّبِّكَ فَلَا تَكُوۡنَنَّ مِنَ الۡمُمۡتَرِيۡنَ
Artinya : Kebenaran itu dari Tuhanmu, maka janganlah sekali-kali engkau termasuk orang-orang yang ragu (QS. Al Baqarah 147).
Wallahu a’lam bish-shawabi.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.