Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Fathin Robbani Sukmana

Yakin Game Online Tetap Dibiarkan?

Info Terkini | Tuesday, 18 May 2021, 14:34 WIB
Ilustrasi Game Online. Sumber Republika.co.id

Akhir-akhir ini dunia maya dikejutkan dengan beberapa kejadian yang menurut saya menyebalkan. Di antaranya adalah viralnya orang tua yang memarahi kasir sebuah minimarket yang berwarna biru, merah dan kuning.

Saya melihat berita ini seakan ingin berkata kasar kepada orang tua yang memarahi kasir tersebut, namun rupanya sudah banyak diwakili oleh netizen Indonesia yang jari-jemarinya begitu cepat memaki-maki kejadian tersebut.

Sebetulnya, kemarin saya lihat sang orang tua sudah meminta maaf secara terbuka kepada kasir yang ia marahi dan juga kepada netizen. Sialnya kenapa permohonan maaf harus didahului oleh kasus yang viral lalu mereka klarifikasi dan minta maaf.

Kasus Game Online

Kalau kita lihat masalahnya, sang orang tua keberatan dan menyalahkan kasir mengapa ia melayani anak-anak yang ingin bertransaksi atau bahasa anak-anak gamer adalah top up saldo untuk membeli sebuah alat pembayaran di dalam game sebesar delapan ratus ribu rupiah.

Mereka menganggap harusnya sang kasir teliti dan curiga mengapa anak-anak dengan usia yang masih kecil membawa uang sebanyak itu untuk transaksi game online tersebut. Pada akhirnya kasir tersebut terkena semprotan kata-kata amarah dari orang tua.

Menurut netizen, sang orang tua juga salah, karena membiarkan anaknya membawa uang 800 ribu itu, dan membiarkan anaknya keluar tanpa meminta izin dan untuk apa memarahi kasir minimarket padahal yang salah adalah anaknya.

Pandangan saya pun demikian, karena mau tidak mau kasir tersebut sudah menjalankan tugas untuk melayani dengan maksimal pengunjung yang datang ke minimarket biru itu, tentu ia juga harus melaksanakan tugasnya dan tidak melarang siapa pun yang ingin bertransaksi di sana.

Kasus-kasus seperti ini sudah sering terjadi, dan bukan hanya sekali. Alasannya tentu orang tua sibuk memikirkan hal lain sehingga tidak sempat memerhatikan perilaku anaknya yang menyebabkan kerugian-kerugian pada keluarganya.

Kebiasaan ini tentu tidak bisa disalahkan karena mau tidak mau orang tua harus terus memperhatikan anaknya dan tidak hanya menitipkan anaknya pada gadget dan juga game online yang membuat beberapa perubahan pada anaknya.

Contoh kasus lain, terjadi pada 2019 lalu di Jawa Timur, seorang ibu yang kaget ditagih hutang oleh sebuah perusahaan, karena anaknya telah membeli dan bertransaksi untuk keperluan game online. Tidak tanggung-tanggung hutang mereka mencapai sebelas juta, karena sang anak menggunakan sistem pascabayar.

Sang Ibu akhirnya menceritakan kasus tersebut di laman media sosialnya, ia bercerita bahwa pentingnya orang tua untuk tetap mengawasi anak walau anak hanya memegang gadget, dan orang tua juga harus melek teknologi.

Akan tetapi, melihat kejadian di atas, saya cukup ragu. Kejadian demi kejadian akibat dampak game online terus terjadi. Bukan hanya kepada anak-anak usia pelajar,tetapi juga kepada anak-anak muda yang berdampak pada gangguan mental mereka.

Contoh kasus terparah adalah seorang pemuda nekat membunuh supir taksi agar bisa mendapatkan uang untuk bertransaksi game online. Kasus ini terjadi di Jawa Barat, walaupun pelaku sudah ditangkap oleh pihak berwajib, tapi tidak menutup kemungkinan akan bermunculan kasus-kasus serupa.

Tidak Bisa Dibiarkan

Saya yakin, beberapa kasus di atas adalah hal yang muncul ke permukaan, masih banyak persoalan game online yang menimpa generasi muda di Indonesia. Tentu jika dibiarkan ini akan berakibat fatal di masa depan.

Anak-anak lebih banyak bermain game daripada mengerjakan tugas, Kata teman saya yang juga mengajar di salah satu sekolah dasar. Persoalan game online meningkat semenjak Covid-19 melanda. Lantas kita harus menyalahkan siapa?

Banyak orang tua yang sibuk dengan mencari nafkah sehingga belum tentu memerhatikan anaknya, belum lagi tidak sedikit juga orang tua yang belum paham akan teknologi, sehingga potensi kejadian-kejadian yang saya sebutkan di awal bisa terulang kembali.

Lalu? Apakah harus bergantung pada kepekaan kasir minimarket atau penjaga toko yang melayani transaksi game online? Oh, tentu tidak. Mereka hanya bisa menjalankan tugas dari bos-bos yang memiliki warung-warung tersebut. Mau tidak mau mereka harus melayani pelanggan yang datang agar toko tetap dapat cuan dan mereka tetap dibayar sebagai karyawan.

Solusinya, agar game online ini tidak terus memunculkan permasalahan di masyarakat, tentu harus ada respons dari para pemangku kebijakan. Jangan sampai persoalan ini dianggap menjadi persoalan biasa sehingga pemerintah enggan untuk turun tangan.

Saya kira pemerintah harus mulai memikirkan regulasi untuk mengatur game online ini. Walaupun ada beberapa anak yang berprestasi di bidang e-sport ini, tapi tetap, pemerintah harus berperan mengatasi permasalahan game online yang sering terjadi.

Pemerintah bisa membuat regulasi yang menyangkut syarat transaksi game online yang menggunakan uang, bisa memunculkan syarat usia untuk melakukan transaksi atau bahkan aturan untuk bermain game online. Sehingga transaksi game online hanya bisa dilakukan oleh orang yang memiliki identitas resmi.

Selanjutnya, saya kira Indonesia sudah butuh suatu lembaga pengawas game online, jika tayangan televisi sering disensor melalui lembaga sensor dan Komisi Penyiaran Indonesia untuk memfilter adegan-adegan yang tidak pantas untuk anak-anak, saya kira game online juga harus demikian.

Tidak sedikit, game online yang berisi tentang kekerasan, peperangan, hingga adegan yang tidak pantas dilihat oleh anak-anak. Mengapa demikian? Tentu, agar adegan-adegan dalam game online tidak ditiru oleh anak kecil.

Saya yakin, jika game online ini dibiarkan begitu saja, tidak akan bagus untuk generasi yang akan datang. Apalagi jika pemerintah hanya bergantung pada orang tua atau kasir minimarket saja.

Fathin Robbani Sukmana, Pemerhati Kebijakan Publik

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image