Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image ahmad yazid

Potensi Pendidik sebagai Duta Buku Nasional

Eduaksi | Monday, 10 May 2021, 16:54 WIB

Saat menjelang hari buku nasional, saya menatap lekat-lekat deretan buku yang ada di rak. Bak alat pemindai, pandangan saya kemudian bergeser pelan dari satu buku ke buku lainnya. Sembari melihat, saya lantas sadar bahwa saya membeli dan membaca sebagian besar buku-buku tersebut berkat rekomendasi dan testimoni dari orang lain. Khususnya dari guru dan dosen saya.

Misal, novel Laskar Pelanginya Andrea Hirata. Saya membeli dan membacanya karena guru Bahasa Indonesia saya. Ia menjelaskan betapa luar biasanya kisah perjuangan anak-anak Desa Gantung tersebut. Seperti seorang salesman yang menawarkan produk, berbagai kalimat persuasif dan hiperbolis keluar dari mulutnya. Saya yang saat itu tengah berada di ruang kelas, berseragam sekolah, dan duduk di kursi kayu merasa senasib dengan tokoh-tokoh yang diceritakannya. Singkat kata, gara-gara beliaulah sebuah novel Laskar Pelangi itu sekarang nangkring di rak buku saya.

Setelah itu, mata saya lalu tertuju pada novel Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi. Saya pertama kali tahu Novel itu dari guru agama saya di Madrasah Aliyah. Saya ingat betul, kala itu ia berdiri di depan kelas sambil memamerkan novel tersebut dan berkata, saya tidak tidur semalaman karena membaca novel ini. Selanjutnya ia mengisahkan secara garis besar jalan cerita dan spirit yang ada di dalamnya. Penjelasan, dan khususnya kalimat pembuka ala testimoni buku best seller darinya berhasil mempengaruhi saya untuk turut membeli dan membacanya.

Di rak yang memuat koleksi buku terbaru, saya melihat jajaran buku dari para sarjana di bidang Islam politik. Buku-buku itu hasil rekomendasi dari dosen pembimbing sewaktu saya menyelesaikan tesis mengenai tema tersebut. Berkat beliaulah, nama-nama besar seperti Asef Bayat, Greg Fealy, Martin van Bruinessen, Olivier Roy, Noorhaidi Hasan, Ahmad Najib Burhani, dan lain-lain hadir di rak buku saya saat ini.

Dari upaya kilas balik itu, saya lalu berkesimpulan bahwa para pendidik, baik itu guru maupun dosen, sebenarnya punya potensi yang besar untuk membantu ketersebaran buku-buku nasional. Saya opitmis penyebaran informasi ini, mulai dari pusat kota hingga pelosok desa, dapat berlangsung melalui tangan dingin para pendidik. Oleh karenanya, tanpa perlu acara pelantikan, para pendidik yang mengenalkan berbagai buku sejatinya merupakan duta buku nasional.

sumber gambar: parenting.firstcry.com

Ada satu lagi pengalaman yang menguatkan kesimpulan saya di atas. Dulu, saat kuliah, saya dan teman sekelas pernah kewalahan mencari sebuah buku, baik itu di toko buku fisik maupun daring. Peristiwa ini rupanya disebabkan oleh seorang dosen yang meminta para mahasiswanya menggunakan buku tersebut dalam perkuliahannya. Akhirnya, terjadi permintaan yang serempak dan membludak untuk buku yang kami cari. Hal ini sekali lagi menunjukkan bagaimana efektifnya peran pendidik dalam mempopularitaskan buku-buku yang ada.

Tiga Potensi Pendidik

Paling tidak, ada tiga kekuatan yang dimiliki oleh pendidik dalam hal mengenalkan buku kepada banyak orang. Pertama, pendidik adalah sosok yang kredibel. Bagi anak didiknya, perkataan dan saran darinya tentu saja dapat dipercaya. Sementara itu, perilaku manusiatermasuk membeli dan membaca bukudipengaruhi oleh rekomendasi dari orang yang bisa dipegang perkataannya. Dengan begitu, keefektifan pendidik dalam mengenalkan sebuah buku tidak usah diragukan lagi.

Kedua, pendidik punya massa yang tak terhitung jumlahnya. Mari kita berhitung sejenak. Apabila seorang pendidik, entah itu guru atau dosen, dalam satu semester mengajar enam kelas yang total dalam setiap kelasnya ada dua puluh orang. Maka, dalam satu semester ia bisa menceritakan dan merekomendasikan buku-buku yang dibacanya kepada seratus dua puluh orang. Angka ini tentu akan bertambah berkali-kali lipat jika pendidik tadi mendapat jatah mengajar selama bertahun-tahun. Acara launching buku belum tentu mampu mengumpulkan massa sebanyak itu.

Ketiga, dalam mengenalkan buku, pendidik sudah berada dalam ruang yang tepat dan berhadapan dengan audiens yang tepat pula. Begini, bila kita menggunakan bahasa marketing, keberhasilan upaya pemasaran suatu produk sangat bergantung dari tepat tidaknya target pasar yang disasar.

Dalam konteks ini, upaya pendidik mempromosikan suatu buku kepada anak didik sudah selaras dengan strategi pemasaran di atas. Buku adalah sumber pengetahuan, inspirasi, dan motivasi. Peserta didik datang ke ruang-ruang kelas dengan tujuan untuk mendapatkan itu (pengetahuan, inspirasi, dan motivasi). Jadi, kebutuhan peserta didik terhadap produk, dalam hal ini buku, klop dengan penawaran yang diberikan oleh pendidik.

Sudah Saatnya

Oleh karena itu, kita tidak bisa mengabaikan begitu saja potensi pendidik dalam menjaga ketahanan buku nasional. Meski saat ini buku-buku nasional dibantu keberadaan dan ketersebarannya oleh staf marketing dan para influencer di media sosial, tetap saja, peran pendidik tidak bisa dipandang sebelah mata.

Eksistensi buku-buku nasional cukup bergantung pada mereka. Mereka punya power untuk merekomendasikannya ke banyak orang, khususnya anak didik mereka. Mereka dipercaya. Mereka punya massa. Mereka berada di tempat yang tepat untuk mengajak orang-orang untuk mau membaca, buku khususnya.

Hanya saja, pertanyaannya ialah, apakah mayoritas pendidik yang jumlahnya banyak saat ini adalah penyuka buku? Sebab, tidak mungkin seseorang dapat medorong orang lain untuk mencicip sesuatu tanpa ia menyantapnya terlebih dahulu. Hanya seseorang yang cinta dengan buku sajalah yang dapat menceritakan lezatnya membaca buku. Hanya mereka yang sudah merasakan dahsyatnya buku yang dapat mempengaruhi orang lain untuk merasakan kedahsyatan yang sama.

Ahmad YazidPengajar di IAIN Pontianak, penyuka buku

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image