Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Mei Panduwinata

Karya Pramoedya Ananta Toer Tentang Pelanggaran HAM

Eduaksi | Monday, 26 Apr 2021, 12:55 WIB

Penelitian ini mencoba menguraikan tentang bentuk pelanggaran HAM yang terjadi pada tahanan politik PKI di Pulau Buru yang dituliskan oleh Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya yang berjudul Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Teori yang digunakan untuk menjelaskan permasalahan tersebut adalah teori mengenai. Beberapa bentuk pelanggaran HAM yang terjadi pada tahanan politik di Pulau Buru antara lain; hak atas kebebasan, kemanan, berpendapat, kebebasan dari perbudakan dan kerja paksa, keutuhan jasmani, dan hidup dipilih.

Hak asasi manusia sebagai hak yang dimiliki setiap orang yang melekat atau inheren padanya karena dia adalah manusia. Dalam pembukaan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, dicanangkan: Hak-hak ini berasal dari harkat dan martabat yang melekat pada manusia. Di Indonesia HAM bersumber dan bermuara pada Pancasila, artinya bahwa HAM menjadi jaminan filsafat yang kuat dari filsafat bangsa. Beberapa instrumen HAM di Indonesia antara lain; undang-undang dasar 1945, ketetapan MPR nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan instrumennya yaitu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM Sehingga negara demokratis diukur dari sejauh mana negara menjamin kesejahteraan warga negaranya serta menjamin hak-hak warga negara dalam mendapatkan kehidupan yang layak. Demokrasi akan terwujud apabila negara mampu menjamin tegaknya hak asasi manusia.

Nyanyi Sunyi Seorang Bisu adalah salah satu-satunya karya non-fiksi Pramoedya semasa tahanan di Buru, bukan novel. Buku ini merupakan kumpulan catatan berisi surat-surat pribadi kepada anak-anaknya yang tak pernah terkirim, juga esai-esai, terutama sangat mencekam adalah renunganya yang tajam merekam apa yang dialami sebagai pribadi, sebagai suami dan ayah, ebagai pengarang dan sebagai tahanan politik rejim militerisme yang merampas segala darinya; hasil cipta jiwa dan pemikirnnya berikut harta bendanya naskah, buku, dokumentasi, rumah, sampai kepada kebebasan kewarganegaraannya dan sebagai manusia.Walaupun naskah sudah siap cetak sejak 1987, tidak ada percetakan yang berani mencetaknya. Pencetakan dikerjakan tergesa-gesa dalam lima hari sebelum ultah penulis, berkat bantuan yang berani para rekan wartawan muda dari Asosiasi Jurnalis Independen. Mutu cetakan memang tidak memadai karena dilakukan sembuni-sembunyi dan terburu-buru, memakai kertas Koran dengan penjlidan yang rapuh. Kualitas tampilannya rendah, tetapi kualitas dalam isi sangat tinggi makna terpentingnya: Penulis dan Penerbit dengan menempuh resio tinggi telah menembus arogansi kekuasaan.

Menurut Friedman antara pengertian Negara Hukum atau rechtsstaat dan Rule of Law sebenarnya saling mengisi. Berda-sarkan bentuknya sebenarnya Rule of law adalah kekuasaan publik yang diatur secara legal. Oleh karena itu setiap organisasi atau persekutuan hidup dalam masyarakat termasuk negara mendasarkan pada Rule of law. Atas dasar pengertian tersebut maka terdapat keinginan yang sangat besar untuk melakukan pembatasan terhadap kekuasaan secara yuridis normatif. Dalam hubungan inilah maka kedudukan konstitusi menjadi sangat penting bagi kehidupan masyarakat. Konstitusi dalam hubungan ini dijadikan sebagai perwujudan hukum tertinggi yang harus dipatuhi oleh Negara dan pejabat-pejabat pemerintah sesuai dengan prinsip government by law, not by man (pemerintah berdasarkan hukum, bukan berdasar-kan manusia atau penguasa).

Untuk memahami Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia, kita pahami terlebih dahulu pengertian dasar tentang hak. Istilah hak itu sesungguhnya memiliki banyak arti. Ia dapat diartikan sebgai sesuatu yang benar, kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu atau kekuasaan yang benar atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu. Secara terminologi hak asasi manusia adalah hak dasar yang melekat pada diri manusia yang sifatnya kodrati dan universal sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa dan berfungsi untuk menjamin kelangsungan hidup, kemerdekaan, perkembangan manusia dan masyarakat yang tidak boleh diabaikan, dirampas, atau diganggu-gugat oleh siapapun.

Pihak yang bertanggung jawab dalam penegakan, pemajuan, perlindungan dan pemenuhan HAM sampai saat ini masih menjadi perbincangan yang tidak berke-sudahan. Namun dalam kaitan ini minimal ada dua pandangan Pertamamenyatakan bahwa yang harus bertanggung jawab memajukan HAM adalah Negara: Pandang kedua, menyatakan bahwa tanggung jawab perlindungan, penghormatan dan pemajuan HAM tidak saja dibeban kepada Negara, melainkan juga kepada individu warga Negara.

Nyanyi Sunyi Seorang Bisu merupakan karya berupa kumpulan catatan memoar. Tidak seperti karya-karya yang lain, buku tersebut merupakan satu-satunya karangan bergenre non-fiksi yang ditulis Pram semasa menjadi tahanan politik di Pulau Buru, Maluku pada tahun 1966 hingga 1979. Berisi tentang kegelisahan hati Pram, sebagai seorang suami dan ayah yang ketika itu dijauhkan dari keluarga. Dalam lektur tersebut juga terselip surat-surat pribadi Pram kepada anak-anaknya. Namun, tak pernah tersampaikan.

Selain tentang cerita pribadi Pram, buku itu menjadi rekaman kehidupan tahanan politik lainnya yang juga dibuang ke Pulau Buru. Angga menuturkan, ia beberapa kali berinteraksi dengan kawan-kawan Pram yang juga diasingkan serta para keluarga korban peristiwa 65. Dari mereka, banyak yang mengucap terimakasih. Melalui catatan-catatan yang ditulis Pram, para keluarga mendapat informasi berharga; sehingga tahu bagaimana gambaran kehidupan dan kondisi saudaranya saat dibuang ke pulau pengasingan itu.

Buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu sepenuhnya merupakan catatan-catatan pengalaman Pramoedya selama menjadi Tahanan Politik di Pulau Buru. Pramoedya ditangkap pada tahun 1965 dirumahnya kemudian ditahan di RTC Salemba, lalu dipindahkan ke Nusakambangan setelahnya pada 17 Agustus 1969, sebagai hadiah untuk ulang tahun Republik Indonesia, dia dan ribuan orang lainnya dibuang dan diasingkan di Pulau Buru. Perjalanan dari Nusakambangan menuju Pulau Buru menaiki kapal ADRI XV dan berlangsung selama 10 hari. Bagian kapal ini dibagai sesuai asal para Tahanan Politik, Pramoedya yang berasal dari Jakarta mengisi ruangan di hidung haluan. Di ujung terdepan, tertinggi berbanding rombongan lain. Namun, ruangan yang diisi oleh rombongan dari Jakarta ini berdekatan dengan kamar mandi dan kakus sehingga begitu memasuki ruangan yang ditunjuk ruangan itu penuh berisi kotoran manusia dan para Tahanan Politik wajib untuk membersihkan ruangan tersebut. Belum lagi ditambah dengan jumlah makanan yang disediakan selama berada di kapal yang semakin hari semakin menipis kuantitasnya.Setelah sepuluh hari berlayar Pramoedya dan para Tahanan Politik lain sampai di Namlea, sebuah pelabuhan alami di selatan Pulau Buru. Di Namlea kapal menepi dan para Tahanan Politik turun dari kapal ADRI XV dan mulai menjalani masa pembuangan mereka. Pulau Buru dipilih atas alasan kondisi alamnya yang masih berbahaya dan tidak bersahabat yang tidak memungkinkan para Tahanan Politik untuk bisa keluar dari pulau ini.

Perlakuan terhadap Tahanan Politik yang cukup tidak manusiawi selama di kapal saat menuju ke Pulau Buru masih terbilang ringan jika dibandingkan dengan apa yang terjadi pada mereka selama di Pulau Buru. Perlakuan yang mereka hadapi sangat tidak manusiawi, tidak ada satu hari pun tanpa penyiksaan. Para Tahanan Politik setiap harinya hanya diwajibkan untuk bekerja membuka lahan baik untuk pembuatan jalan, sawah maupun ladang. Tertutupnya segala akses informasi untuk mereka dari dunia luar yang membuat terbatasnya informasi baik dari keluarga maupun untuk keluarga, bahkan Pramoedya saat masih ditahan di RTC Salemba menyuruh istrinya untuk menceraikannya dan mencari suami baru, ini dilakukannyakarena tidak tahan harus melihat istrinya bertanggung jawab atas seluruh tanggungan keluarga.Tidak ada jaminan keselamatan maupun kebebasan, para Tahanan Politik tetap menjalani kehidupan mereka walaupun harus selalu hidup dibawah tekanan. Tindakan tidak manusiawi selama di Pulau Buru yang berujung pada pelanggaran atas hak asasi mereka merupakan suatu hal yang harus diberikan perhatian khusus. Pelanggaran HAM yang bersifat besar-besaran yang dilakukan militer saat itu merupakan sebuah sejarah kelam Indonesia yang tidak boleh dipandang sebelah mata, dan buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu berhasil membongkar kembali sejarah tersebut.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image