Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Anggi Putri Beru Dinam

Tudung Saji

Sastra | 2021-04-24 10:33:31

Tudung Saji

Pagi yang cerah dengan hembusan angin yang sangat sejuk membuat aku terbangun pagi itu. Aku mendapati nenek sedang mengaduk teh di dapur pada pagi itu. Di atas meja sudah tersaji makanan untukku dan adikku Apin. Ketika aku dan adikku sedang makan, nenek mengambil sebuah benda yang telah usang dari dalam lemari.

 “Apa itu nek?” tanya Apin.

“Ini tudung saji.” jawab nenek.

Nenek kemudian menyuci tudung saji itu dengan air yang mengalir, kemudian menjemur tudung saji itu di teras depan rumah. Rumah kami berbentuk rumah panggung berwarna hijau dan dikelilingi bunga yang beraneka warna.  Setelah selesai makan aku dan Apin pergi bermain. Ketika kami hendak keluar rumah kakak bertanya.

 “Mau kemana kalian?” tanya kak Ros.

“Kami mau bermain kak.” jawab Apin.

“PR kalian sudah selesai?” tanya kak Ros lagi.

“Belum kak, nanti malam kami selesaikan.” jawab Apin pula.

“Baiklah.” Kata kak Ros.

Aku dan Apin langsung berlari keluar rumah. Pagi itu angin bertiup sangat kencang sehingga membuat tudung saji milik nenek terbang. 

“Ini tudung saji milik nenek, kenapa nenek membuangnya?” tanyaku.

“Sepertinya sudah tidak digunakan nenek lagi.” jawab Apin.

Kami kira tudung saji itu memang tidak digunakan nenek lagi. Aku dan adikku langsung berlari ke danau dekat rumah, dan membawa tudung saji milik nenek. Ku jumpai teman-temanku yang lain disana. Danau itu sangat indah, aku dan teman-temanku sering bermain di tepi danau itu.

“Kalian sedang apa” tanyaku.

 “Husstt”, Izat memberi isyarat agar aku diam. Ternyata dia sedang menangkap katak.

“Dapat!!!!!” teriak Izat. Dia berpikir telah menangkap katak, ternyata yang ia tangkap hanyalah sendal. Kami tertawa terbahak-bahak melihat tingkah Izat.

“Kau hanya menangkap sendal.” kata Putra.

“Mau kau apakan katak-katak ini?” tanyaku.

“Untuk makanan ikan.” jawab Izat.

“Kasihan kataknya. Aku tidak mau menangkapnya.” kataku.

“Tangkap saja. Masih banyak katak dalam parit itu.” Kata Putra.

“Baiklah.” jawabku.

“Kau mau menggunakan tudung saji itu?” tanya Putra.

“iya, kenapa?. Tidak boleh, ya?” jawabku.

“Boleh, tapi kakak kamu tidak marah?” tanya Putra.

“jangan khawatir, kak Ros takkan marah” jawabku.

Ketika aku hendak menangkap katak-katak itu Bili datang dan berteriak.

“Kalian sedang apa?” tanya Bili.

Karena mendengar teriakan Bili, katak-katak itu berlarian sehingga tak satu katakpun yang terlihat. Izat sangat marah kepada Bili.

Hari mulai siang, terik hari ini begitu panas, sampai-sampai cahaya matahari membuat kulit kami hampir terbakar. Kami bergegas pergi ke pondok di dekat danau tempat kami bermain.

Melihat Izat bersedih kami tak tega.

“ Izat, besok aku akan tangkap katak yang banyak.” kata Putra

“ baiklah.” Jawab Izat.

Susana saat itu sangat hening. Setelah beberapa menit Faisal datang menghampiri kami.

“ Aku sudah dapat bola dan pemukulnya!” Kata Faisal sambil berlari mengahmpiri kami.

“Ayo main bola kasti.” kata Faisal.

“Ayo!” Jawab kami serentak.

Kami bermain dengan sangat gembira dibawah teriknya matahari siang itu. Ketika aku melempar bola ke Putra, bola itu melayang keatas.

“ Tangkap.” Kataku kepada Apin. Apin berlari mengejar bola itu. Karena bolanya melayang sangat tinggi Apin menggunakan tudung saji untuk menangkap bola tersebut.

“Dapat!!” kata Apin.

Ternyata tudung saji milik nenek telah bolong karena bola tersebut sangat kencang. Akhirnya bola tersebut gagal ditangkap oleh Apin. 

“ Kenapa tangkap bola dengan itu?” kata Santi.

“Ya. Bukankah itu sudah berlubang?” kata Putri.

“ Maaf.” kata Apin.

Setelah bermain bola kasti, aku dan Apin bergegas untuk pulang. Dari kejauhan aku melihat nenek dan kak Ros sibuk mencari sesuatu.

“Nenek! Kakak!” kata Apin.

Melihat tudung saji di atas kepala Apin kakak sangat marah. Ternyata tudung saji tersebut yang sedang dicari oleh nenek dan kak Ros.

“ kami sudah lelah mencari-cari!” teriak kak Ros.

“Ada apa? Mencari apa?” kataku.

“Tudung saji di kepala kamu itu!” jawab kak Ros.

“Itu punya nenek. Kenapa kalian ambil?” tanya kak Ros.

“Kalian pakaiuntuk bermaina?” tanya nenek.

“kami menemukannya di bawah.” jawabku.

“kami kira nenek membuangnya.” jawab Apin pula.

Kakak langsung mengambil tudung saji tersebut dari atas kepala Apin.

“Nenek, lihat! Sudah rusak!” kata kak Ros.

“Sudah berlubang?” dengan perasaan yang sedih nenek nenek berkata “Buang saja. Sudah tidak bisa digunakan lagi.”

Aku dan Apin serentak minta maaf kepada nenek.

Pagi itu sangat cerah. Aku dan Apin pergi kesekolah dengan semangat. Sesampainya disekolah Putra menghampiriku.

“Kau apakan tudung saji yang berlubang kemarin?” tanya Putra.

“Nenek bilang buang saja. Sudah tidak bisa dipakai.” jawabku.

“Jangan buang! Masih bisa dipakai. Berikan padaku.” kata Putra.

“ Boleh. Tapi, mau kamu apakan tudung sajinya?” tanyaku.

“Rahasia” jawab putra.

Teng teng teng . Jam telah menunjukan pukul 12 siang. Bel pulangpun telah berbunyi. Aku dan teman-temanku bergegas untuk pulang. Ketika melewati mading sekolah, kami melihat ada pengumuman, dan kami membaca sebuah pengumuman itu. Isi pengumuman itu mulai besok sekolah kami libur, kami harus belajar dari rumah secara online karena COVID-19.

Setelah membaca pengumuman itu kami langsung berlari pulang ke rumah masing-masing. Sesampainya di rumah aku dan Apin langsung mengganti seragam sekolah dan berlari ke dapur untuk makan siang. Di atas meja sudah tersaji makanan yang sangat enak.

“Nek, mulai besok kami diliburkan, kami harus sekolah dari rumah.” kata Apin.

“Kenapa sekolah dari rumah? Apa kalian di hukum oleh bu guru?” tanya nenek.

“Tidak nek, semua murid mulai besok diliburkan. Kami belajar dari rumah secara online.” Jawabku.

“Baiklah, libur sekolah bukan berarti tidak belajar. Kalian harus belajar dari rumah.” kata nenek.

“Baik nek.” jawab Apin.

Aku melihat kak Ros sibuk melakukan sesuatu sangat serius dengan ekspresi wajah yang marah.

“Kakak sedang apa?” tanya Apin.

“Memukul lalat.” jawab kak Ros.

“Susahnya tidak ada tudung saji.” kata kak Ros.

Mendengar perkataan kak ros aku menyesal karena telah memainkan tudung saji milik nenek.

“kalau begitu, beli yang baru saja kak.” kataku.

“Di warung ada yang jual. Banyak sekali.” kata Apin.

“Tapi, mereka tidak menjual tudung saji seperti milik nenek.” kata kak Ros.

“Benar. Nenek hanya ingin tudung saji seperti milik nenek yang sudah rusak” kata nenek.

“Ayo makan. Apin baca doa.” kata nenek. Apin langsung membaca doa makan dan kamipun makan bersama. Namun, susana makan siang pada hari itu sangat tidak nyaman, karena kak Ros terlalu sibuk memukul lalat.

“Sudah Ros. Makan dulu.” kata nenek.

“ Baik nek.” kata kak Ros.

“Nenek, kenapa harus tudung saji seperti yang sudah rusak itu?” tanyaku.

“Tak apa. Karena sudah terbiasa pakai sejak dulu.” jawab nenek.

“Pakai yang plastik juga bisa. Hanya untuk menutup makanan, kan?” tanya Apin.

“Betul. Kita menutup makanan dengan tudung saji untuk melindungi makanan dari debu dan lalat.” jawab nenek.

“Tapi, dulu fungsinya lebih dari itu.” Kata kak Ros pula.

“Ya. Tinggi dan lebar tudung saji berperan memperangkap udara. Jadi, itu bisa menjaga keadaan dan suhu makanan. Makanan bisa jadi tahan lama.” kata nenek.

“Jadi tidak cepat basi. Paham?” kata kak Ros pula.

“Tapi, tudung saji yang digunakan harus dibuat dari daun pandan mengkuang tau daun nipah.” kata nenek.

Ketika kami sedang makan terdengar dari luar rumah suara Putra memanggil kami.

“Assalamualaikum.” kata Putra.

“Walaikumsalam.” jawabku.

“Ada apa Putra?” tanyaku.

“Aku mau mengambil tudung saji.” kata Putra.

“Tunggu sebentar.” kata Apin.

“Aku mau menangkap katak. Kalian mau ikut?” ajak Putra.

“Tapi saat ini sedang ada pandemi, kami tidak boleh keluar rumah.” jawabku.

“Sebentar saja, tidak lama. Nenek dan kak Ros masih makan, mereka tidak tahu kalo kalian pergi sebentar.” Putra mencoba merayuku.

Aku terbujuk dengan rayuan Putra.

“Ayo.” kataku.

Sesampainya di tepi danau Putra menempel tudung saji yang telah rusak dengan kain bekas. Akhirnya kami menangkap katak yang sangat banyak.

“Kalian sedang apa?” tanya paman Adi ketika melintas dekat danau.

“Menangkap katak.” kata Putra.

“Banyak sekali! Biar paman beli semua.” kata paman Adi.

“Beli?” tanyaku.

“Bagaimana? Kalian ingin menjualnya?” tanya paman Adi.

“Tidak boleh. Kita sudah janji memberikannya untuk Izat.” Jawabku.

“Boleh-boleh!!” teriak Apin.

Langsung saja paman Adi membayar katak-katak kami. Tapi, kami tidak menjual semua katak-katak tadi, kami sisihkan sedikit untuk Izat. Kemudian kami langsung bergegas menemui Izat.

“Tadi kami sudah menangkap kataknya, cukup?” tanya Putra.

“Cukup. Terima kasih semua.” kata Izat.

“Berguna juga tudung saji ini.” kataku.

“Benar. Jadi, jangan asal buang saja.” kata Putra.

Setelah itu aku dan Apin pergi kerumah kakek Husin. Setelah sampai dirumah kakek Husin, kami di jamu dengan buah rambutan.

“Kenapa kalian masih bermain di saat pandemi ini?.  Virus ini sangat berbahaya” kata kekek.

“Kami masih kecil, mana mungkin kami terjangkit virus itu kek.” kata Apin.

“Siapa bilang anak kecil tidak mudah terkena virus Corona?” tanya kakek.

“Anak kecilkan di sayang Allah, pasti virus itu sayang kita juga.” Jawabku.

“Pada saat pandemi ini sebaiknya kalian tetap di rumah saja, jangan bermain keluar rumah. Virus ini sangat berbahaya, banyak korban meningggal dunia oleh virus ini. Bahkan, anak kecil juga banyak yang terkena virus Corona.” kata kakek.

“Kenapa begitu, kek?” tanya Apin.

“Itu karena sistem imun mereka masih lemah, jadi mereka mudah terkena virus itu.” jawab kakek.

“Ahhhh!!... kami jadi takut sekali kek, baik kek kami akan selalu di rumah.”

“Di rumah saja tidak cukup untuk mengatasi virus ini. kalian harus menjaga pola makan, banyak berolah raga, sering-sering cuci tangan dengan sabun. Ingat, jika keluar rumah ingat 3      M”. kata kakek.

“3 M?. Apa 3 M itu kek?” tanyaku.

“3 M itu, menjaga jarak, mencuci tangan, dan memakai masker.” Kata kakek.

“Baik kek, kami akan selalu ingat 3 M. kami tidak mau terpapar virus Corona.” jawabku.

“Kakek sampai lupa, ada apa kalian kemari?” tanya kakek.

“Kakek bisa membuat tudung saji?” tanyaku.

“Tidak” jawab kakek. Mendengar jawaban itu aku sangat sedih.

“Kakek biasanya bisa membuat semua benda.” kata Apin.

“Sulit membuat tudung saji. Daun pandan mengkuang pun sulit dicari.” kata kakek.

“Kenapa?” tanya kakek.

“Kami merusakkan tudung saji milik nenek” jawabku sedih.

“Betul. Jadi kami ingin buatkan yang baru untuk nenek.” kata Apin.

“Tidak perlu membuatanya. Nanti kakek berikan. Gratis! Kakek baru membelinya semalam.” kata kakek.

Kemudian kakek pergi kerumah untuk mengambil tudung saji tersebut dan memberikannya kepada kami.

“Terima kasih kek.” kataku.

Aku dan Apin berlari dengan gembira kerumah. Sesampainya di rumah aku melihat nenek sedang sedih mengingat tudung saji yang telah kami rusakkan.

“Nenek.” kataku sambil memberikan tudung saji yang diberikan oleh kakek Husin.

“Wah, terima kasih. Dari mana kalian mendapatkannya?” tanya nenek.

“Nenek suka?” tanya Apin.

“Suka. Indah sekali warisan kerajinan tangan kita. Tidak ada tandingannya. Semua rumah harus punya.” Kata nenek.

Nenek sangat senang dengan hadiah tudung saji yang kami berikan. Melihat nenek senang aku dan Apin juga ikut senang.

“Cepat mandi, jangan lupa pakai sabun. Nanti kakak kalian marah jika melihat kalian kotor. Apalagi ini sedang pandemi, virus semakin mudah masuk ke dalam tubuh kalian  kalau kotor-kotor seperti ini.” kata nenek.

“Baik nek, mulai sekarang kami janji tidak keluar rumah lagi. Kami akan menjaga kebersihan dan pola makan.” jawabku.

-selesai-

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

Terpopuler di

 

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image