Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Yudha Manggala P Putra

Alunan Hijrah Cat Stevens ke Yusuf Islam

Agama | 2021-04-16 17:58:47


1976 adalah tahun tidak terlupakan bagi musisi dan penulis lagu legendaris Cat Stevens. Pada suatu hari tahun itu, pria kelahiran Inggris ini di ambang kehilangan nyawa.

Stevens saat itu sedang menikmati hari biasa berenang di laut dekat pantai Malibu, California. Merasa cukup, ia berniat kembali ke tepian. Namun, di tengah perjalanan, gelombang pasang mengadang. Ia mencoba sekuat tenaga, bergumul dengan arus, berusaha menerobosnya. Upayanya sia-sia.

Seketika, lemas pun mulai menjalar ke seluruh tubuh. Tak lagi berdaya, kehidupannya seperti tinggal menunggu berakhir tenggelam di dasar lautan. "Saya tidak memiliki tenaga tersisa," kata dia. "Hanya ada satu tempat meminta pertolongan, dan itu adalah Tuhan."

Stevens sepanjang hidup tidak pernah meragukan keberadaan Tuhan. Hanya saja ia memilih jauh dari-Nya. "Saya tidak pernah meminta pertolongan pada-Nya karena semuanya selalu berjalan baik-baik saja sepanjang hidupku," ujar Stevens.

Namun kali ini ia ada di ambang hidup dan mati. Tak ada lagi yang bisa dilakukan selain berpasrah dan berharap pertolongan terakhir. Stevens pun bernazar. Jika Tuhan menyelamatkannya, ia bakal mendekati dan mengikuti segala perintah-Nya.

Tuhan, Uang, dan Ketenaran

Stevens terlahir dengan nama Stephen Demetre Georgiou, 21 Juli 1948, di London sebagai Nasrani. Orang tuanya, keturunan Yunani dan Swedia, berpisah saat ia delapan tahun.

Georgiou muda tumbuh besar di lingkungan yang kental budaya musik. Cita-cita jadi musisi digeluti usai mendengarkan rekaman milik Bob Dylan untuk pertama kali. Bakat mendukungnya. Ia pun terus berkembang.

Pada usia 18 tahun, Georgiou mulai mengisi panggung di salah satu kafe ternama di London. Di situ ia mulai menggunakan nama panggung Cat Stevens. Kariernya meroket pada 1970 ketika lagunya "Father and Son" dan "Wild World" menjadi hit di radio-radio. Stevens menjadi idola.

"Ketika aku berusia 18 tahun, aku telah menyelesaikan rekaman dalam delapan kaset. Setelah itu banyak sekali tawaran. Dan aku pun bisa mengumpulkan uang yang banyak. Di samping itu, pamorku pun mencapai puncak," imbuhnya.

Selama momen itu, ia merasa dirinya lebih besar dari alam ini. Seolah-olah usianya lebih panjang daripada kehidupan dunia. Meski begitu kehidupannya tidak seperti selebritas lain, yang selalu hura-hura dan bergelimang narkoba. Salah satu penyebabnya karena ia memiliki penyakit tuberkulosis yang pernah membuatnya nyaris meninggal pada 1968.

Dalam perjalanan hidupnya, Stevens kerap mengalami kegamangan akan identitas dan tujuan hidup. Melihat lingkungan yang ia geluti, Tuhan adalah uang dan ketenaran. Namun uang ternyata tidak membuatnya bahagia. Secara mandiri ia mulai melakukan pencarian kebenaran dan tujuan hidup. Ia terus merasa hampa dalam hatinya.

Pengembaraan dan pencarian akan kebenaran ia jalani. Ia merasa keyakinan yang selama ini ia pegang ia anggap belum mampu membasuh dahaga spiritualnya. Beberapa ajaran Timur ia pelajari dan coba mendalaminya.

"Aku mulai mengetuk pintu Buddha dan falsafah Cina. Aku pun mempelajarinya. Aku mengira, kebahagiaan adalah dengan mencari berita apa yang akan terjadi di hari esok, sehingga kita bisa menghindari keburukannya. Aku berubah menjadi penganut paham Qadariyyah. Aku percaya dengan bintang-bintang, mencari berita apa yang akan terjadi. Tetapi, semua itu ternyata keliru," lanjutnya.

Suatu ketika, saat berlibur di Marrakesh, Maroko, Stevens sempat tergugah alunan azan. Seseorang menjelaskan kepada Stevens bahwa itu adalah "musik untuk Tuhan". Stevens penasaran, "Musik untuk Tuhan? Saya belum pernah mendengarnya sebelumnya saya pernah mendengar musik untuk uang, musik untuk ketenaran, musik untuk kepentingan pribadi, tapi musik untuk Tuhan!"

Pengalaman itu belum langsung mengubahnya. Namun seperti panggilan baginya untuk memahami petunjuk. Hingga suatu hari ia mengalami peristiwa paling menakutkan dalam hidup. Steven kehabisan tenaga saat berenang dan terjebak ombak di laut dekat pantai Malibu, California. Ia merasa kematian sudah dekat. Tak berdaya melakukan segala upaya menyelamatkan diri, ia memasrahkan nasibnya kepada Tuhan sekaligus bernazar akan dekat padaNya bila diberi kesempatan kedua.

Syahdan, keajaiban datang. Ombak yang hampir mengaramkan jiwanya, justru berbalik menyeretnya ke tepi pantai dan menyelamatkan hidupnya. Setelah hari itu semuanya tak lagi sama.

Ia kemudian berjumpa Alquran. Tak lama setelah insiden itu, kakaknya, David, tiba-tiba memberinya salinan mushaf untuk dipelajarinya. Salinan itu hadiah kejutan ulang tahun untuk Stevens. David mendapatkannya dari sebuah perjalanan ke Yerusalem. "Saya merasa seperti menemukan sesuatu rahasia besar dan luar biasa," kata Stevens.

Stevens, entah kenapa, 'kecanduan' membaca dan mendalami isi mushaf tersebut. Semua seakan menjadi terang. Ia teringat nazarnya. Stevens resmi memeluk Islam pada 23 Desember 1977. Namanya berubah menjadi Yusuf Islam pada tahun 1978. Yusuf adalah lafal Arab atas nama Joseph, dia menyatakan bahwa dia selalu mencintai nama Yusuf dan sangat tertarik dengan kisah Nabi Yusuf di dalam Alquran.

"Saya telah menemukan rumah spiritual yang telah saya cari hampir sepanjang hidup saya. Dan jika Anda mendengarkan musik dan lirik saya, seperti 'Peace Train' dan 'On The Road To Find Out', itu jelas menunjukkan kerinduan saya untuk arahan dan jalan spiritual yang saya tempuh," ungkap Stevens dalam wawancaranya dengan majalah musik Rolling Stone.

Yusuf kemudian menikahi Fauzia Mubarak Ali pada tanggal 7 September 1979, di Masjid Regents Park, London. Mereka memiliki satu anak laki-laki dan empat anak perempuan dan tujuh cucu. Anak keduanya meninggal saat masih bayi. Mereka tinggal di London dan menghabiskan sebagian waktunya di Dubai.

Meninggalkan kehidupan gemerlap dunia musik, Yusuf fokus membesarkan keluarganya. Ia juga mendirikan sejumlah sekolah Muslim di seluruh Inggris dan organisasi amal Small Kindness, yang fokusnya membantu para korban terdampak perang.

Bertahun-tahun banyak yang mendorongnya untuk bermusik lagi. Ia tetap bergeming. Namun perang di Afghanistan dan konflik di Irak meresahkannya. Ia merasa dunia perlu melihat setidaknya satu sosok Muslim yang benar-benar anti-kekerasan di televisi. "Terlalu banyak antagonisme (terhadap muslim) di dunia," kata Yusuf. "Terlalu banyak muslim baik yang terlupakan karena aksi ekstremisme yang ditampilkan di seluruh dunia."

Ketika kelompok ISIS menjadi ancaman bagi Amerika dan negara lain di dunia, Yusuf pun mencoba memantapkan diri untuk muncul kembali. "Mereka (ISIS) tidak ada hubungnya dengan Islam. Muslim telah menjadi subjek banyak penguasa tiran dan regim yang opresif," kata dia.

Setelah 30 tahun meninggalkan panggung besar dunia musik, pada 2006 Yusuf kembali tampil. Ia sempat menggelar konser dengan tajuk "Guess Ill Take My Time" dengan membawakan lagu lagu lama dan barunya. Ia menyambangi Inggris pada tahun 2009, Australia pada tahun 2010, dan seluruh Eropa di tahun 2011.

Pada suatu wawancara dengan The Guardian (2009), Yusuf tidak menampik pertentangan batinnya kembali ke musik. Namun ia berharap, ini bisa memberikan kontribusi bagi umat yang membutuhkan. "Menjadi bagian dari masyarakat multikultur artinya Anda harus berkontribusi dengan cara yang Anda bisa," kata dia. "Jadi saya mulai berpikir, saya bisa bernyanyi. Itu yang saya kuasai. Saya bisa membuat kontribusi."

Diolah dari berbagai sumber

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image