Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Slamet Samsoerizal

Dari Bahasa Melayu ke Bahasa Indonesia

Guru Menulis | Sunday, 10 Apr 2022, 11:51 WIB

Usai memirsa “Siniar Bincang Bahasa” yang menghadirkan Prof. E. Aminudin Azis, Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, bertajuk “Peluang Bahasa Indonesia Menjadi Bahasa Kedua di Asean | Bincang Bahasa” saya menulis komentar di kanal youtube melalui tautan https://www.youtube.com/watch?v=VidEgfp1194 sebagai berikut.

Saya optimis Bahasa Indonesia akan mendominasi di ASEAN, sehingga kelak bahasa kita mampu menjadi bahasa resmi ASEAN. Apa nama bahasa resmi tersebut? Cukup Bahasa ASEAN, yang dasarnya adalah bahasa Indonesia. Salam takzim

Tidak lama muncul akun @SATRIA MERAH, yang menanggapi komentar saya tersebut. Begini pernyataannya:

“Indonesia seharusnya memertabat kan bahasa jawa bukan bahasa melayu..kerana penduduk indonesia orang jawa terbesar..kenapa perlu sama dengan bahasa di malaysia? Apa yang kamu tuturkan kami orang malaysia paham, jadi itulah bahasa melayu..walaupun seribu kali kamu menyangkal.”

Mencermati komentar SATRIA MERAH tersebut, saya pun membalas @SATRIA MERAH “Mari tengok sejarah Sumpah Pemuda 1928 yg memutuskan bagaimana Bahasa Melayu (BM) menjadi bahasa Indonesia. Ihwal kemelayuan yang menyebar sebagai bahasa serumpun di negara-negara Asean, itu juga sila telaah sejarah dengan jernih. Tabek!”

Sumber foto: https://www.google.com/search?q=badan+bahasa+bincang+bahasa

Dari Bahasa Melayu menjadi Bahasa Indonesia

I Gusti Ngurah Ketut Putrayasa (2018) menjelaskan bahwa perkembangan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia melalui tahapan proses.

Dari sudut pandang linguistik,bahasa Indonesia adalah sebuah variasi dari bahasa Melayu. Dalam hal ini dasar yang dipakai adalah bahasa Melayu Riau, tetapi telah mengalami perkembangan akibat penggunaanya sebagai bahasa kerja dan proses pembakuan pada awal abad ke-20.

Pada zaman Kerajaan Sriwijaya (abad ke-7 Masehi), bahasa Melayu (bahasa Melayu Kuno) dipakai sebagai bahasa kenegaraan. Hal itu dapat diketahui, dari empat prasasti berusia berdekatan yang ditemukan di Sumatra bagian selatan peninggalan kerajaan tersebut. Prasati tersebut di antaranya adalah dengan ditemukannya prasasti di Kedukan Bukit berangka tahun 683 M (Palembang), Talang Tuwo berangka tahun 684 M (Palembang), Kota Kapur berangka tahun 686 M (Bangka Barat), dan Karang Brahi berangka tahun 688 M(Jambi). Prasasti itu bertuliskan huruf Pranagari berbahasa Melayu Kuna. Pada saat itu, bahasa Melayu yang digunakan bercampur kata-kata bahasa Sanskerta.

Sebagai penguasa perdagangan, di Kepulauan Nusantara, para pedagangnya membuat orang-orang yang berniaga terpaksa menggunakan bahasa Melayu walaupun dengan cara kurang sempurna. Hal itu melahirkan berbagai varian lokal dan temporal pada bahasa Melayu yang secara umum dinamakan bahasa Melayu Pasar oleh para peneliti.

Penemuan prasasti berbahasa Melayu Kuno di Jawa Tengah (berangka tahun abad ke-9) dan prasasti di dekat Bogor (Prasasti Bogor) dari abad ke-10 menunjukkan penyebaran penggunaan bahasa itu di Pulau Jawa. Penemuan keping tembaga Laguna di dekat Manila, Pulau Luzon, berangka tahun 900 Masehi juga menunjukkan keterkaitan wilayah tersebut dengan Sriwijaya.

Pada abad ke-15 berkembang bentuk yang dianggap sebagai bentuk resmi bahasa Melayu karena dipakai oleh Kesultanan Malaka, yang kelak disebut sebagai bahasa Melayu Tinggi. Penggunaanya terbatas di kalangan keluargakerajaan di sekitar Sumatra, Jawa, dan Semenanjung Malaya. Kemudian, Malaka merupakan tempat bertemunya para nelayan dari berbagai negara dan mereka membuat sebuah kota serta mengembangkan bahasa mereka sendiri dengan mengambil kata-kata yang terbaik dari bahasa di sekitar daerah tersebut.

Kota Malaka yang posisinya strategis, menjadi bandar utama di kawasan Asia Tenggara. Bahasa Melayu menjadi bahasa yang paling sopan dan paling tepat di kawasa timur jauh. Ejaan resmi bahasa Melayu pertama kali disusun oleh Ch. A. van Ophuijsen yang dibantu oleh Moehammad Taib Soetan Ibrahim dan Nawawi Soetan Ma’moer yang dimuat dalam kitab Logat Melayu pada tahun 1801.

Pada zaman penjajahan Belanda pada awal abad-20, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda melihat pegawai pribumi memiliki kemampuan memahami bahasa Belanda yang sangat rendah. Hal itu yang menyebabkan pemerintah kolonial Belanda ingin menggunakan bahasa Melayu untuk mempermudah komunikasi, yakni dengan patokan bahasa Melayu Tinggi yang sudah mempunyai kitab-kitab rujukan.

Sarjana Belanda mulai membuat standarisasi bahasa, mereka mulai menyebarkan bahasa Melayu yang mengadopsi ejaan Van Ophusijen dari Kitab Logat Melayu. Penyebaran bahasa Melayu secara lebih luas lagi dengan dibentuknya Commissie voor de Volkslectuur (Komisi Bacaan Rakyat) pada tahun 1908. Pada 1917 namanya diganti menjadi Balai Poestaka. Badan penerbit ini menerbitkan novel-novel, seperti Siti Nurbaya dan Salah Asuhan, buku-buku penuntun bercocok tanam, penuntun memelihara kesehatan, yang membantu penyebaran bahasa Melayu di kalangan masyarakat luas.

Pada 16 Juni 1927, saat sidang Volksraad (Rapat Dewan Rakyat), Jahja Datoek Kajo pertama kalinya menggunakan bahasa Indonesia dalam pidatonya.

Di sinilah bahasa Indonesia mulai berkembang. Pada 28 Oktober 1928, Muhammad Yamin mengusulkan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional dalam pidatonya pada Kongres Nasional kedua. Bahasa Indonesia secara resmi diakui sebagai "bahasa persatuan bangsa" pada saat Sumpah Pemuda.

Muhammad Yamin berkata, "Jika mengacu pada masa depan bahasa-bahasa yang ada di Indonesia dan kesusastraannya, hanya ada dua bahasa yang bisa diharapkan menjadi bahasa persatuan, yaitu bahasa Jawa dan Melayu. Namun, dari dua bahasa itu, bahasa Melayulah yang lambat laun akan menjadi bahasa pergaulan atau bahasa persatuan."

Tahun 1933 berdiri sebuah angkatan sastrawan muda yang menamakan dirinya sebagai Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisyahbana. Tiga tahun kemudian, Sutan Takdir Alisyahbana menyusun “Tata bahasa Baru Bahasa Indonesia”. Pada tanggal 25-28 Juni 1938 dilangsungkan Kongres Bahasa Indonesia I di Solo. Kongres tersebut menghasilkan bahwa usaha pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia telah dilakukan secara sadar oleh cendekiawan dan budayawan Indonesia saat itu.

Kedudukan bahasa Indonesia sejak Sumpah Pemuda diptuskan sebagai bahasa nasional. Sedangkan sejak 18 Agustus 1945, sehari setelah kemerdekaan, disahkan Undang-Undang Dasar 1945. Pada Bab XV, Pasal 36, ditetapkan secara sah bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa negara.

Dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional bahasa berfungsi sebagai lambang kebanggaan kebangsaan, indentitas nasional, alat perhubungan antarwarga, antardaerah dan antarbudaya, dan alat pemrsatu suku, budaya dan bahasa di Nusantara. Sedangkan dalam kedudukannya sebagai bahasa negara bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa resmi kenegaraan, bahasa pengantar pendidikan, alat perhubungan tingkat nasional dan alat pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi. ***

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image