Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ariandy, Penulis & Pemikir Intelektual

Ruang Autentisitas Dan Hegemoni Degradasi Autentisitas Masyarakat

Eduaksi | Friday, 08 Apr 2022, 03:53 WIB

Dalam tesisnya yang ke-11 mengenai Feuerbach, Karl Marx mengatakan, " Para filsuf hanya menafsirkan dunia dengan cara yang berbeda-beda; padahal, yang penting adalah mengubahnya."

Menurut Marx yang harus diubah adalah realitas sosial, khususnya struktur-struktur politik dan ekonomi yang membuat manusia terasing dari dirinya sendiri. Tesis Marx ini dapat diubah menjadi tesis Kierkegaard hanya dengan memberi referensi dan makna baru pada obyek 'nya' dalam kata 'mengubahnya'.

Yang harus diubah, menurut Kierkegaard, bukanlah realitas sosial yang berada di luar diri manusia, melainkan diri sendiri. Orang tidak perlu terburu-buru ingin mengubah realitas sosial lingkungan hidupnya, melainkan harus mencari jati dirinya terlebih dahulu.

Barangkali diri kitalah bagian dari persoalan itu, atau jangan-jangan justru kitalah bagian dari realitas sosial yang harus diubah! Maka dalam hal ini refleksi diri dan proses pencarian untuk menjadi diri sendiri menjadi sangat penting.

Dalam pergulatan keseharian individu manusia, terdapat sistem yang secara hakiki bersifat rasional dan dilihat secara global, segala sesuatu sudah mendapatkan tempatnya. Individu pun dengan mudah larut dalam sistem abstrak atau "lukisan besar" tersebut.

Manusia tidak lagi dikenal sebagai pengada yang memiliki kebebasan dan eksistensinya bersifat contingent. Bila dapat dikaji lebih jauh, sistem apapun yang dibuat orang pasti akan gagal memahami eksistensi manusia. Pengalaman hidup manusia terlalu kaya dan penuh gejolak untuk dipahami secara rasional.

Eksistensi manusia tampaknya sangat terfragmentasi, khususnya karena manusia adalah pengada yang hidup dalam waktu. Maka manusia merindukan suatu kesatuan yang menyeluruh dari berbagai fase perjalanan hidupnya, yang akhirnya dapat memaknai kehidupannya.

Makna hidup hanya dapat ditemukan dengan berpaling pada subyektivitas dan dengan memperhatikan hidup batin. Bagi Descartes, subyektivitas manusia terkandung dalam kemampuan berpikir secara rasional. Itulah cara mengada manusia.

Sebaliknya bagi Kierkegaard, subyektivitas manusia terkandung dalam keberanian untuk bergumul dengan pilihan-pilihan hidup, pun ketika pilihan itu harus dibuat tanpa informasi yang cukup sehingga menimbulkan penderitaan dan siksaan.

Karena orang yang sungguh mengada tidak akan lari dari pilihan-pilihan yang harus dibuatnya dan dari keputusan-keputusan yang harus diambilnya. Entah anda itu manajer, guru, ibu rumah tangga, atau bidang profesi lainnya, anda tidak dapat lari dari tugas subyektivitas.

Tugas ini ada pada setiap manusia sebagai manusia, dan berlangsung dalam ruang yang tersembunyi, dalam pergulatan batin dan proses pengambilan keputusan. Hanya dengan memilih dan mengambil keputusan orang akan menjadi manusia yang otentik.

Karena individu yang mengada tidak dapat menghindari pergulatan eksistensial yang dialami oleh individu-individu lain. Dan setiap orang memiliki potensi-nya sendiri yang harus direalisasikan.

Dengan kebebasan yang dimilikinya, masing masing orang patut mencari tempatnya sendiri dan mengembangkan panggilannya, agar dapat menjadi diri yang otentik. Saat kita dapat berpikir reflektif, kita dapat menyadari bahwa orang dapat dengan mudah larut dalam kerumunan, publik atau sistem.

Negara yang dari sudut etnik dan agama bersifat homogen, atau lingkungan kerja, partai politik, organisasi yang menuntut kesetiaan total anggotanya, adalah ancaman bagi keotentikan hidup seseorang. Dalam sistem seperti itu orang dapat kehilangan jati dirinya.

Tidak ada lagi keberanian untuk menyatakan siapa dirinya dan apa yang dipikirkannya. Bahkan individu-individu yang larut dalam sistem dapat dengan mudah mengidentifikasikan diri dengan sistem tersebut!

Mengeluarkan pernyataan "memang begini prosedurnya atau sudah begitu prinsipnya" tanpa berpikir kembali apakah prosedur atau prinsip itu benar, dapat menjadi tanda kelarutan individu dalam sistem yang abstrak! Alasan 'berdasarkan prinsip' (acting on principle) sebetulnya bagus.

Kata prinsip berarti apa yang muncul paling dulu (what comes first) yakni substansi atau gagasan yang masih "mentah" berupa perasaan dan antusiasme yang menggerakkan seseorang dengan kekuatan batinnya sendiri.

Dengan demikian, bertindak 'menurut prinsip' mestinya membuat manusia melangkah dengan penuh semangat dan hasrat. Akan tetapi, dalam sistem orang bisa bertindak 'menurut prinsip' tetapi tanpa hasrat.

Mereka mengikuti prinsip semata-mata karena hal itu sudah menjadi tugasnya, tidak peduli apakah dengan bertindak demikian mereka melepas semua tanggung jawabnya.

Bertindak 'menurut prinsip' dapat membuat orang menjadi anonim, persis seperti 'publik', karena memang tidak ada hasrat dan komitmen terhadap apa yang dilakukan. Barangkali manusia memang lebih senang larut dalam sistem daripada menyatakan siapa dirinya.

Dalam sistem ia mendapat begitu banyak rekan individu lain. Tak perlu ia berjuang sendirian melawan arus. Hanya dengan mengikuti arus utama yang mengalir dalam sistem, ia akan selamat. Tak menjadi soal apabila yang terjadi hanyalah konformitas terhadap tatanan yang berlaku.

Tak peduli apabila hidup yang dihayati hanya begitu-begitu saja, tanpa gairah atau hasrat batin untuk menghidupinya. Anonimitas dalam sistem membuat individu hidup tanpa gairah dan tanpa subyektivitas.

Tujuan hidup tidak pernah jelas karena memang tidak ada komitmen. Hidupnya tidak 'berbentuk' (formless) karena tidak difokuskan pada hal atau pribadi tertentu. Kebenaran adalah subyektivitas, itulah undangan Climacus bagi para pembacanya untuk memeluk kebenaran secara pribadi.

Membuat pilihan, memberikan komitmen dan memenuhinya dengan penuh hasrat adalah cara-cara hidup dalam kebenaran subyektif. Keberanian untuk mengambil keputusan adalah wujud keyakinan bahwa kehidupan manusia memang harus dihayati ke arah muka menuju masa depan.

Itulah cara yang dapat ditempuh oleh manusia agar dapat menghayati kehidupan yang sejati. Tetapi seperti apa kehidupan sejati itu ? Dalam penghayatan untuk menilik kehidupan sejati atau eksistensi yang otentik arahnya justru terbalik, giliran eksistensi manusia bercermin pada 'pemikiran' atau gagasan ideal seorang manusia.

Seperti cara manusia mengetahui, eksistensi manusia juga mencakup tugas 'reduplikasi' karena menyangkut aktualisasi kemungkinan-kemungkinan yang dipikirkan. Suatu kehidupan dapat selaras atau malah gagal untuk menyelaraskan diri dengan ideal-idealnya.

Bila manusia yang ideal digambarkan sebagai sosok yang mampu mengendalikan emosi-emosinya, misalnya, kemampuan ini adalah kemungkinan yang dapat diwujudkan oleh manusia. Dalam hal ini tugas manusia adalah menjadikan kehidupannya selaras dengan gagasan ideal tersebut.

Maka kehidupan manusia bersifat 'terus-menerus menjadi' seturut gagasan yang dicita-citakan. Dengan kata lain, usaha menjadi diri sendiri dan menghayati kehidupan yang otentik merupakan proses yang berlangsung terus-menerus selama orang itu hidup.

Tidak jarang juga dalam perjalanan seorang individu manusia untuk menemukan keotentikan diri atas eksistensi-nya dan kehidupan sejati, terjadi pemisahan dan fragmentasi dalam diri: urusan politik adalah urusan dengan negara, termasuk segala korupsi yang dilakukan; urusan agama adalah urusan dengan kewajiban religius yang sudah ditetapkan.

Relasi antara keduanya tidak kelihatan dalam diri orang tersebut. Diri orang tersebut terfragmentasi, barangkali karena terlalu lama membiarkan diri menjalani hidup estetis.

Apa saja yang menarik hatinya: uang, kekuasaan, jabatan, langsung ditangkap atau direbutnya begitu saja. Hidupnya diatur oleh hasrat spontan tanpa orientasi yang jelas. Pertanyaan mengenai tujuan hidup atau diri seperti apa yang ia kejar tidak ditanggapi secara serius.

Hidup begitu saja memang mudah, apalagi dalam estetika immediasi, demikian ungkap Climacus. Akan tetapi, hidup dalam kesadaran yang sudah saling ber-penetrasi dengan eksistensi itulah yang paling sulit.

Manusia adalah pengada yang memiliki kesadaran (consciousness), bukan saja kesadaran terhadap apa yang terjadi di sekelilingnya, melainkan juga kesadaran atas diri (self-consciousness) dan eksistensinya.

Dengan kesadaran ini, manusia mampu melampaui hasrat-hasrat spontan yang seringkali mendikte hidupnya. Kesadaran dan refleksi yang dilakukan di dalamnya memberi kesempatan kepada manusia untuk mengatur hidupnya dan memproyeksikan-nya ke masa depan.

Dengan kata lain, kesadaran diri menjadi basis bagi kebebasan manusia untuk menentukan hidupnya. Orang mampu menjauh dari berhala kepalsuan, keluar dari ruang publik, mengusahakan hidup otentik, memilih wilayah eksistensi, membuat pilihan dan komitmen dengan penuh hasrat.

Semua ini mengandaikan adanya kebebasan. Panggilan untuk menjadi diri sendiri mengandaikan bahwa dalam diri setiap manusia terdapat kesadaran diri, dan dari situ mengalir kebebasan untuk menentukan hidupnya, untuk menjadi dirinya sendiri.

Mengapa manusia perlu menjadi dirinya sendiri ? Karena manusia adalah entitas yang memiliki keunikan transendensi di palung jiwanya. Keunikan ini menyadari dirinya sebagai sintesis antara yang mewaktu dan yang abadi.

Relasi antara kedua aspek konstitutif manusia ini berusaha dihubungkan dan dihadirkan terus oleh keunikan ini. Itulah diri (the self), yakni relasi yang menghubungkan dirinya dengan dirinya sendiri (a relation which relates itself to its own self).

Ketidaktahuan dan ketidakmauan manusia menjadi dirinya sendiri terungkap dalam bentuk keputusasaan (despair). Adalah tanda kegagalan menjadi diri sendiri sekaligus kegagalan bereksistensi. Dalam kebisingan, berbagai opini di ruang publik dan dinamika di kehidupan sehari-hari manusia; tanpa kita sadari mengikis sisi keunikan tersebut.

Karena manusia hidup dalam opini publik yang diciptakan untuknya dan menuntut jauh untuk menepi-kan corak warna tersendiri yang telah ada dan hidup dalam setiap individu manusia. Yang seharusnya dapat saling mengisi antara satu dan yang lainnya tanpa harus menyeragamkan-nya.

Syarat untuk menapaki menjadi diri sendiri adalah keheningan. Di dalam keheningan orang dapat menggunakan kesadarannya untuk berefleksi supaya tidak hanya hidup dalam immediasi. Berdiam dan keheningan sangat esensial untuk perjalanan menjadi diri sendiri.

"Berdiam diri adalah esensi hidup batin" Hanya orang yang tenang dapat berbicara secara benar dan mendalam, karena ia tahu apa yang ia bicarakan. Untuk menjadi hening, orang perlu "berada" sendirian.

Terlalu sering berada dalam kerumunan tidak membantu manusia mengenali dirinya sendiri: " Ukuran bagi seorang manusia adalah: berapa lama dan sampai sejauh mana ia dapat menanggung kesendirian."

Oposisi keheningan adalah kesibukan. Orang yang terlalu sibuk biasanya lupa akan dirinya yang sebenarnya, karena hatinya tidak terbentuk. Hatinya masih "mentah" karena jarang diperhatikan dan dirawat.

Manusia cenderung ingin segalanya berlangsung serba cepat, padahal pembentukan hati menuntut kesetiaan dalam waktu panjang untuk berinteraksi dengan diri sendiri dan mengenal diri sendiri, bahkan dalam kesendirian.

Disaat seorang individu manusia berhasil mengatasi keengganannya menjadi diri sendiri dengan memeluk keheningan dan membentuk hatinya akan peka terhadap ketidakselarasan hidupnya dan berhala kepalsuan dalam dirinya.

Ia menjadi sadar akan tuntutan hatinya yang mendorongnya untuk maju dan berbuat lebih daripada apa yang selama ini dilakukannya. Ia pun terbuka terhadap ajakan membuat pilihan dan komitmen, serta memeluknya dengan penuh hasrat. Dari sini perjalanan menuju eksistensi yang otentik pun dimulai.

Manusia yang mampu untuk berdiam juga tenang dan mengenal diri sendiri dapat menghindari hidup yang superfisial atau dangkal. Kedangkalan hidup terjadi ketika perbedaan yang vital antara ketersembunyian (concealment) dan perwujudan atau pernyataan (manifestation) dihapuskan.

Orang yang suka menonjolkan atau membanggakan diri (show off) sebenarnya memperlihatkan kekosongan hidupnya (manifestation of emptiness) meskipun kelihatannya ia mampu menarik minat banyak orang karena memiliki banyak hal yang dapat dibanggakan.

Penonjolan diri pada hakikatnya merupakan wujud ketidakotentikan hidup karena didasarkan pada penipuan terhadap diri sendiri: "Its love of showing off is the self-admiration of conceit in reflection" Tetapi itulah bagian dari sebuah perjalanan dari setiap individu manusia.

Dan merupakan sebuah proses untuk lebih jauh mengenal dan menjadi diri sendiri, dalam pembentukan kematangan baik dari sisi emosional, mental dan spiritual. Pada akhirnya orang harus menemukan peran dan tempatnya dalam kehidupannya.

Karena setiap manusia mempunyai panggilan atas pencarian peran dan tempat tersebut; yang universal-manusiawi dan yang individual. Dan tentunya itu merupakan tugas dan perjalanan yang sangat panjang, agar selalu dapat membentuk hati, ketajaman pemikiran dan tetap menjadi diri sendiri.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image