Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muhamad Rikiansyah

Harga Naik, Inflasi Tertekan

Bisnis | Wednesday, 06 Apr 2022, 14:34 WIB

Rentetan harga-harga kebutuhan pokok naik di awal tahun 2022. Tak hanya ibu rumah tangga atau konsumen yang dibuat khawatir akibat kenaikan harga-harga ini. Dari kalangan pengusaha khususnya pengusaha UMKM ikut terpukul dengan naiknya harga kebutuhan pokok saat ini.

Jika dilihat dari informasi yang ada, rentetan kenaikan harga mulai dari hebohnya kenaikan minyak goreng. Usaha pemerintah menahan harga dengan menetapkan harga minyak goreng sebesar Rp. 14.000/liter menjadikan minyak goreng justru langka di pasaran. Tak kuat menahan kritik dari berbagai kalangan, akhirnya pemerintah menetapkan harga minyak goreng kemasan sesuai harga pasar. Sehingga minyak goreng kemasan melonjak hampir dua kali lipat menjadi setidaknya Rp. 23.000/liter.

Minyak goreng hanya satu dari sekian banyak komditas yang mengalami kenaikan di awal tahun ini. Komoditas lainnya yaitu LPG non subsidi. Harga produksi yang meningkat imbas kenaikan minyak dunia yang melambung menjadi dalih Pertamina menaikkan gas LPG non subsidi secara bertahap. Diawali Desember 2021, LPG kemudian kembali dinaikkan kembali pada Februari 2022. Sehingga harganya saat ini mencapai Rp. 15.500 per kilogram. Akibatnya harga jual eceran gas LPG 5,5 Kg kini mencapai 100 ribu rupiah/tabung dan LPG 12 KG mencapai 200 ribu rupiah/tabung. Selanjutnya kedelai menjadi perbincangan hangat saat adanya aksi mogok produsen tahu tempe akibat naiknya harga kedelai. Kedelai untuk produksi tahu tempe yang hampir seluruhnya mengandalkan impor, tidak berkutik ketika Amerika Serikat menaikkan harga komoditi kedelai. Hal ini akan berimbas kepada harga jual tahu tempe. Produsen dan pedagang mengaku sulit menaikkan harga jual, karena tahu tempe adalah makanan yang didonimasi oleh konsumen kelas menegah ke bawah. Daging sapi menjadi komoditi selanjutnya yang mengalami kenaikan harga. Tak heran menjelang Ramadan konsumsi daging sapi memang biasanya naik tapi kenaikan nya tidak terlalu tinggi. Saat ini daging sapi bisa mencapai 165 ribu rupiah/Kg dari awalnya 110 ribu rupiah/Kg. Kenaikan daging sapi ini tidak sendirian untuk bahan-bahan dapur. Cabe rawit merah, bawang merah dan telur juga ikut naik dengan berbagai penyebabnya. Selain itu bawang putih juga diisukan akan mengalami kelangkaan akibat stok di importir semakin menipis. Tentu saja jika ada kelangkaan, dipastikan akan terjadi kenaikan harga bawang putih.

Belum tuntas kebingungan masyarakat akibat kenaikan harga komoditas diatas, Pertamina menaikkan harga bensin non subsidi untuk Pertamax. Kenaikan dari Rp. 9.000 /liter menjadi Rp. 12.500/liter menjadi kenaikan yang sangat tinggi. Walau masih ada bensin Pertalite, tapi stok nya juga tidak mencukupi di berbagai SPBU. Sehingga masyarakat mau tidak mau harus membeli Pertamax walau dengan harga nyaris dua kali lipat harga Pertalite. Tak cukup sampai disitu, Pemerintah kembali menambah beban masyarakat dengan menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10% menjadi 11% . Peningkatan tarif PPN resmi berlaku per 1 April 2022 sesuai dengan Undang-Undang no. 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

Jika disimak kenaikan komoditas diatas mulai dari LPG, minyak goreng, kedelai, daging sampai sampai dengan Pertamax tentu sangat memberatkan masyarakat di tengah kondisi saat ini. Tapi yang akan lebih memukul perekonomian masyarakat khususnya menengah ke bawah adalah kenaikan PPN. Kenaikan PPN akan memicu kenaikan harga-harga di berbagai pasar khususnya ritel. Dan setiap kenaikkan harga komoditas akan sangat berpengaruh terhadap inflasi nasional. Kenaikan PPN di tengah kondisi saaat ini menjadi pukulan bertubi-tubi bagi masyarakat. Jika masyarakat berbelanja di ritel maka kenaikan PPN seolah menjadi double combo kenaikan barang-barang yang sudah lebih dulu naik dari produsen atau distributor. Dengan kenaikan PPN maka semua barang yang dikenakan pajak akan otomatis mengalami kenaikan. Usaha ritel bisa juga terkena imbasnya dari kenaikan PPN. Omset ritel bisa merosot, dan mengancam usaha mereka. Dan yang pasti kenaikan komoditas apapun akan mengancam daya beli masyarakat yang secara penghasilan belum tentu mengalami kenaikan.

Badan Pusat Statistik (BPS) dalam rilis nya awal April lalu melaporkan inflasi Maret 2022 sebesar 0,66 persen. Ini menjadi inflasi tertinggi sejak Mei 2019 lalu. Inflasi pada Maret 2022 didominasi oleh kenaikan dari kelompok makanan dan kelompok bahan bakar. Jika pada Maret 2022, inflasi sudah cukup tinggi dalam tiga tahun terakhir, maka ancaman inflasi tinggi akan terjadi April ini. Dengan kenaikan PPN dan Pertamax pada 1 April menjadikan efek domino terhadap berbagai harga komoditas. Inflasi yang dihitung BPS adalah berdasarkan perubahan harga komoditas yang ada di pasar. Sehingga berapapun kenaikan harga akan mempengaruhi inflasi. Tentu saja kenaikan harga tidak memberikan dampak dan besaran inflasi yang sama terhadap semua komoditas. Hal ini bergantung kepada bobot sebuah komoditi secara nasional. Komoditas dengan bobot besar seperti beras, rokok, minyak goreng, cabe merah, cabe rawit, telur ayam ras , daging ayam ras akan memberikan dampak signifikan ketika ada perubahan harga sedikitpun.

Untuk itu pemerintah tidak bisa begitu saja membiarkan harga-harga naik tanpa ada pengawalan terkait daya beli masyarakat. Jika dibiarkan berlarut akan mengancam pertumbuhan ekonomi yang sudah mulai membaik. Daya beli masyarakat menjadi modal utama dalam pertumbuhan ekonomi. Jika daya beli mengalami penurunan maka konsumsi rumah tangga juga akan mengalami penurunan. Padahal sebagaiman data rilis BPS pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal IV-2021 yang sebesar 5,02 persen secara year on year (yoy) bersumber dari konsumsi rumah tangga yang tumbuh sebesar 3,55 persen.

Diperlukan kebijakan pendukung untuk memperkuat daya beli masyarakat khususnya menengah kebawah. Program bantuan yang sifatnya produktif bisa dilakukan. Dengan melakukan berbagai program bantuan diharapkan bisa menenangkan masyarakat. Dan ini harus dilakukan sebagai bentuk perhatian pemerintah. Apalagi April ini sedang berlangsung Ramadan, yang berdasarkan data selalu terjadi kenaikan harga tanpa ada akibat apapun. Ini diakibatkan di Indonesia terjadi psikologi inflasi ketika Ramadan dan Idul Fitri. Ketika supply and demand normal pedagang seringkali tetap menaikkan harga, tapi masyarakat tetap saja membeli dengan alasan momen Ramadan yang setahun sekali. Jika ini dibiarkan maka inflasi tinggi pada April bahkan Mei akan tertekan. Semoga Pemerintah bisa bergerak cepat menemukan kebijakan yang tepat dan segera menerapkannya. Sebelum harga semakin tak terkendali dan daya beli masyarakat semakin menurun.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image