Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Hery Prasetyo Laoli

Jika Filsafat Virusnya Maka Agama Vaksinnya Begitupun Sebaliknya

Eduaksi | Saturday, 02 Apr 2022, 22:41 WIB

Jika diibaratkan seperti halnya Coronavirus Disease 2019 atau Covid-19 yang berbahaya bagi keberlangsungan hidup manusia yang kebanyakan menyerang orang yang tidak memiliki imun yang kuat. Maka, mempelajari filsafat tanpa adanya pondasi iman yang kuat juga bisa membahayakan diri karena filsafat seperti pedang bermata dua.

Banyak orang awam yang beranggapan bahwa seseorang yang mempelajari filsafat selalu dikaitkan dengan yang namanya atheis atau orang tanpa agama. Banyak dari filsuf yang namanya masyhur tidak memiliki agama karena pengaruh dari sains dan filsafat yang terlalu besar bagi dirinya, sehingga menyampingkan pemahaman agama bahkan meniadakan agama. Namun, terlepas dari itu semua baik filsafat maupun agama mempunyai korelasi yang saling berkaitan satu sama lain dan jika kedua ilmu tersebut dipadukan dalam kehidupan sehari-hari, maka orang yang menerapkannya akan lebih mengerti dan memaknai hidup secara baik dan bijaksana.

Pada dasarnya filsafat dan agama mempunyai tujuan yang sama, yakni mendapatkan kebenaran melalui perenungan dan pemikiran. Jika dalam filsafat kita dituntut memperlakukan akal kita untuk selalu berpikir secara kritis dan mendasar agar mendapatkan sebuah kebenaran, maka dalam agama pula diperintahkan senantiasa menggunakan akal untuk mendapatkan kebenaran. Terdapat esensi yang tidak bertolak belakang dalam dua kajian ilmu tersebut, namun beberapa orang mengategorikan bahwa filsafat harus lebih eksis ketimbang agama dan dikategori lain mengatakan bahwa agama harus lebih eksis karena agama lebih etis daripada filsafat, sehingga banyak pertentangan dalam dua kajian ilmu tersebut.

Pertentangan yang terjadi antara filsafat dan agama sering dikaitkan dengan persoalan Tuhan semesta alam. Terdapat beberapa pemahaman yang berbeda antara filsafat dan agama tentang konsep ketuhanan, dimana hal tersebut menjadi pemicu konflik saling tuding menuding mana yang lebih benar antara filsafat dan agama dalam memahami konsep Tuhan. Pada dasarnya baik filsafat maupun agama lebih mengutamakan tentang bagaimana menjalani hidup dengan cara yang baik dan benar sesuai ketentuan Tuhan, bukan persoalan tentang jati diri Tuhan karena Tuhan sendiri tidak mempermasalahkan filsafat maupun agama. Akan tetapi, oleh beberapa orang filsafat dan agama sering dikaitkan tentang bagaimana seseorang menjalin konsep ketuhanan bukan konsep kehidupan, padahal filsafat itu berarti mencintai kebijaksanaan dan agama mempunyai arti tidak rusak, yang dimana berarti keduanya menawarkan proses dalam memperlakukan hidupnya secara baik dan benar serta bijaksana sesuai apa yang diinginkan Tuhan, yakni menjadi manusia yang baik dan bijaksana bagi dirinya, sesamanya, maupun bagi semua makhluk yang ada di muka bumi.

Jika kita hanya mengkaji filsafat tanpa dibarengi dengan pemahaman agama maka akan berbahaya bagi kita seperti terpapar virus tanpa adanya vaksin, kita akan terus tertular dan digerogoti oleh penyakit yang disebabkan virus tersebut. Seperti halnya ketika kita hanya melihat segala sesuatu dari sudut pandang filsafat saja, maka diri kita akan terpapar bahaya virus pragmatisme yang hinggap dipemikiran kita dan dalam melihat sesuatu kita hanya mengaitkan dengan pemahaman filsafat saja, secara tidak langsung kita hanya berpikir sempit, instan, dan hanya melihat dari sudut filsafat saja. Hal ini sangatlah merugikan diri kita karena melihat sesuatu tanpa menilik pemahaman agama sangatlah berbahaya. Oleh karena itu, agama perlu menjadi obat peneduh yang mampu berdampingan dengan filsafat, meskipun filsuf Plato dan Aristoteles adalah dua orang filsuf yang tidak beragama, tetapi mereka itu meyakinkan, merasakan, dan mengakui bahwa di atas kekuasaan alam ini ada kekuasaan tertinggi, yaitu kuasa Tuhan Yang Maha Esa (Badawi 1979). Dalam muqadimah kitab Al-Mustashfa dikatakan ilmu paling mulia adalah ilmu yang dapat menggabungakan antara akal dan naql serta menyertakan pendapat dan syara. Menurut Al-Ghazali, secara teoritis akal dan syara tidak bertentangan secara hakiki karena semuanya merupakan cahaya petunjuk dari Allah SWT. Demikian juga, ditinjau dari segi praktis, tidak ada hakikat agama yang bertentangan dengan hakikat ilmiah.

Sementara itu, jika kita hanya memahami konsep agama tanpa ditambah dengan pemahaman filsafat, kemungkinan terbesar kita terpapar virus dogmatis dalam agama, karena banyak dari sekelompok orang memanfaatkan agama untuk pembenaran kelompoknya bukan untuk mencari kebenaran, ketika hanya melihat agama kitalah yang paling sempurna atau paling benar sedangkan agama lain hanyalah agama sesat dan tidak mengetahui jalan menuju surganya, maka virus dogmatis tersebut sudah mengikis pemikirannya. Salah satu dari tujuan agama ialah menemukan kebenaran dan mengimplementasikan kebenaran itu dalam penerapan kehidupan sehari-hari, konsep agama yang seharusnya diimplementasikan justru dijadikan ajang perdebatan mana yang benar antara agama A dan agama B. Filsafat perlu dalam menyikapi penyakit dogmatis tersebut dalam agama, karena jika penyakit dogmatis terus ditanamkan bisa mengakibatkan sebuah ujaran kebencian terhadap kelompok agama yang tidak disukainya. Menurut Al-Ghazali, akal bagaikan penglihatan sehat, sedangkan Al-Quran bagaikan matahari yang menebarkan sinarnya. Satu sama lainnya saling membutuhkan, kecuali orang-orang bodoh. Orang yang mengabaikan akal dan mencukupkan diri dengan Al-Quran bagaikan orang yang melihat cahaya matahari dengan menutup kelopak mata dan tidak ada bedanya antara orang seperti ini dengan orang buta.

Tidak terdapat titik singgung antara filsafat dan agama, justru keduanya harus dikaitkan secara bersama untuk dapat diimplementasikan dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Seperti halnya penyakit yang membutuhkan sebuah obat, maka pemikiran pragmatisme dalam filsafat dan dogmatisme dalam agama harus disembuhkan oleh campur tangan kedua disiplin ilmu tersebut. Filsafat yang butuh agama dan agama yang butuh filsafat harus dipelajari secara bersamaan agar tidak terjangkit penyakit rasa benci atas salah satu disiplin ilmu tersebut. Karena pada kenyataannya, dua disiplin imu tersebut sama-sama menawarkan jalan untuk mengetahui kebenaran.

Referensi

Badawi. Filsafat Agama. Jakarta: Penerbit CV Bintang Pelajar, 1979.

Hasan, Mustofa. Sejarah Filsafat Islam: Genealogis dan Transmisi Filsafat Timur ke Barat. Bandung: Penerbit Pustaka Setia, 2015.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image