Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Kurnia Sawiji

Bahagia Seorang Guru

Guru Menulis | Wednesday, 30 Mar 2022, 16:44 WIB
Bahagiakah seorang guru? Bagaimanakah bahagia seorang guru? (sumber gambar: Cristian Escobar, Unsplash)

Di manakah letak kebahagiaan seorang guru? Mungkin jika kita mengingat kembali apa yang dikatakan Richard Feynman tentang sebuah pembelajaran yang hakiki: di mana untuk memahami sesuatu maka kita harus mengajarkannya, bisakah itu kita anggap sebagai sebuah kebahagiaan? Ketika seorang guru bersama anak-anak didiknya membuka pintu dan melihat betapa menyenangkannya menemukan dan mempelajari hal baru. Bahwa belajar adalah sesuatu yang semudah pergi ke ladang dan melihat bagaimana cara Pak Tani menggarap sawah, dan mengambil makna di dalamnya.

Tetapi yakinkah kita bahwa seiring waktu berjalan, tindakan mengeksplorasi hal-hal baru sama menyenangkannya dengan apa yang kita gaungkan? Pendidikan modern adalah strukturasi ilmu, di mana apa pun yang kita ajarkan kepada anak-anak kita harus mengikuti ketentuan oleh otoritas yang berlaku. Guru layaknya karyawan perusahaan yang bertanggung jawab terhadap atasannya—kepala sekolah, dinas pendidikan, atau bahkan kementerian. Sebagaimana karyawan, tindak-tanduk harus disertai berlembar-lembar berkas, membuat kegiatan mengajar lebih membosankan dari yang seharusnya.

Kalau begitu, maka di manakah letak kebahagiaan seorang guru? Mungkin jika kita mengingat kembali perkataan Paulo Freire tentang keberpihakan guru: di mana gelar pahlawan mereka bukan sekadar embel-embel, bisakah kita anggap sebagai sebuah kebahagiaan? Ketika guru-guru seperti Dewi Sartika atau Rasuna Said mengangkat derajat kaum wanita, menjadi penggerak peradaban. Bahwa belajar adalah sesuatu yang begitu terhormat: memperjuangkan martabat, dan melawan penindasan.

Tetapi yakinkah kita bahwa seiring waktu berjalan, tindakan mengangkat derajat dengan pendidikan adalah hal yang sama terhormatnya dengan apa yang kita imajinasikan? Pendidikan modern adalah afirmasi terhadap otoritas rezim. Ketika konflik seperti Wadas, Kendeng, atau Konawe menggelora, pendidikan seolah membangun ruangnya sendiri dengan segala bentuk metode, konsep, dan teori-teori megah yang mana tidak kita ketahui siapa sebenarnya yang akan menikmatinya. Para guru sendiri? Gelar pahlawan adalah embel-embel kosong, ketika mereka lenyap ditelan arogansi para orang tua murid, modernisasi, dan peradaban yang semakin ke sini semakin tidak menghargai guru, tetapi menghargai profesi modern seperti: YouTuber, gamer, atau influencer.

Kalau begitu, maka di manakah letak kebahagiaan seorang guru?

***

Pertanyaan-pertanyaan sebagaimana dipaparkan di atas tidak berkecamuk di dalam kepala saya sebagai seorang juru ketik, melainkan di dalam kepala seorang guru di masa kini; sebut saja namanya Umar Baklava—dan kita memanggilnya Pak Guru Umar Baklava. Setelah sebuah pengumuman tentang peraturan pengupahan guru di sekolah tempat beliau mengajar, Pak Guru Umar Baklava menemukan hatinya dipenuhi oleh kepulan asap tebal yang mengingatkannya dengan masa-masa ketika beliau masih bekerja di pabrik sepatu. Sejak saat itu, beliau mempertanyakan kembali hakikatnya sebagai seorang guru.

Jelas baginya bahwa kebahagiaan seorang guru tidak terletak di upahnya. Beliau yakin seyakin-yakinnya bahwa gajinya sebagai mandor buruh pabrik sepatu jauh lebih besar dibandingkan gajinya sebagai guru. Tetapi beliau tidak bisa menemukan kebahagiaan apa pun saat menemukan dirinya menjadi bagian dari roda gigi yang terus berputar melakukan hal yang sama, mengatakan hal yang sama, dan menjalani kehidupan yang sama sebagai mandor. Beliau berpikir yang perlu diselamatkan adalah hati nuraninya, dan karena itulah beliau memilih menjadi seorang guru.

Tetapi ketika beliau menemukan dirinya terperangkap dalam putaran yang sama sebagai seorang guru, di situ beliau merasa kecewa. Hari-hari pertama mengajar, beliau sebenarnya sudah menemukan kebahagiaan saat mengajarkan sesuatu kepada anak-anak didiknya. Tetapi ketika beliau tahu bahwa untuk mengajar pun beliau harus mempertanggungjawabkannya secara birokrasi, dan akan menghadapi teguran jika apa yang diajarkannya tidak sesuai dengan konsep di atas kertas (padahal esensi dan makna kebaikan di dalamnya sama), mengajar menjadi sesuatu yang perlahan membuatnya jenuh. Belum lagi dengan berbagai administrasi dan birokrasi lain yang harus dikerjakannya.

Keyakinan Pak Guru Umar Baklava goyah. Beliau mulai berpikir yang bukan-bukan: jika keadaannya begini, mungkin lebih baik jika beliau mencari pekerjaan lain, mungkin kembali menjadi mandor buruh, atau jadi karyawan di kantor penjualan asuransi. Minimal meskipun hatinya mati, tetapi dompetnya tidak. Isi pikiran beliau semakin tidak karuan ketika di malam hari, wakil kepala sekolah bagian kurikulum mengirim pesan bahwa perangkat pembelajaran yang dikerjakannya harus direvisi dari kepala sampai kaki.

Kalau sudah begitu, maka di manakah letak kebahagiaan seorang guru?

***

Keesokan harinya, Pak Guru Umar Baklava bulat tekadnya bahwa beliau akan mengajukan pengunduran diri. Tidak mau niat itu mengganggu kegiatan mengajarnya, beliau memutuskan untuk ke kantor kepala sekolah di waktu pulang sekolah. Semua sudah dipersiapkan: berkas-berkas dan surat pengunduran diri. Tetapi beliau lupa satu hal: bahwa pada hari itu, akan ada pengumuman hasil SNMPTN. Pikirannya yang tidak karuan membuatnya lupa bahwa pada hari itu, beberapa peserta didiknya akan mengalami salah satu momen paling menegangkan dalam hidup mereka.

Pengumuman SNMPTN dimulai pada pukul tiga petang. Anak-anak didiknya memutuskan untuk melihat hasilnya bersama-sama di proyektor kelas, dan beliau diajak oleh mereka menonton bersama. Cukup seru juga, melihat anak-anaknya saling mendukung, saling menyemangati. Beberapa nama dibuka, belum ada yang berhasil. Tetapi begitulah hidup. Mereka masih punya banyak kesempatan. Beberapa saat kemudian, jeritan riuh menggelegar dari koridor.

Seorang anak rupanya lolos. Bukan main, ia lolos jalur undangan dengan ITB sebagai kampus pilihannya. Tawa, tangis, dan jeritan beradu menjadi satu, dan pada seketika itu Pak Guru Umar Baklava seolah dilambungkan ke atas. Lalu terdengar jeritan lain, kali ini dari seorang siswi yang diterima di sebuah universitas di Bali. Beliau mendengar siswi itu beberapa kali memanggil ayahnya—dari apa yang diceritakan guru lain kepadanya, ia kehilangan ayahnya dalam sebuah bencana alam terbesar di negeri ini. Apa yang beliau dengar bisa jadi imajinasi saja, tetapi beliau tetap menganggapnya sebuah kenyataan. Lalu, sahut-sahutan jeritan bahagia lain mulai terdengar.

Tidak ada duka sore itu. Mereka yang belum berhasil di jalur SNMPTN merangkul teman-temannya yang lolos, dan saling menyemangati untuk tetap berjuang dengan cara lain. Mereka yang berhasil mengekspresikan kebahagiaan mereka dengan tangis dan tawa. Melihat itu semua, ada sesuatu yang bangkit kembali dari kegelapan di dalam jiwa Pak Guru Umar Baklava. Api yang perlahan memadam, dengan jumawa menyala kembali ketika mendengar gegap gempita kebahagiaan anak-anak didiknya. Mereka, yang dituntunnya seolah anak sendiri, telah berhasil mematangkan diri melalui sebuah momen yang menjadi salah satu penentu masa depan mereka.

Pak Guru Umar Baklava tidak bisa menjelaskan kepada saya akan apa yang dirasakannya saat melihat itu semua. Bangga? Haru? Beliau tidak menjelaskan secara spesifik kebahagiaan apa yang dirasakannya. Agaknya beliau terlalu sibuk berpelukan dan menangis bersama murid-muridnya, sehingga lupa menceritakan semua kepada saya.

Beliau juga tidak jadi menyerahkan surat pengunduran dirinya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image