Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muhammad Ilfan Zulfani

Rubah-Mengubah dalam Isu Penundaan Pemilu

Politik | Wednesday, 23 Mar 2022, 17:24 WIB

Rubah.

Seorang grammar Nazi tentu saja akan terpelatuk jika ada yang menulis “merubah” untuk merujuk pada pengertian “menjadikan lain dari semula”. Sesuai KBBI, kata yang benar adalah “mengubah”. Ia terdiri dari kata dasar “ubah” ditambah dengan imbuhan awal “meng-“.

Tetapi bahasa, dan dengan demikian juga kamus yang menghimpunnya, pada realitaya selalu berkembang sesuai dengan kenyataan sehari-hari. Tugas kamus bukanlah menentukan bahasa, tetapi lebih pada mencatat bahasa. Sementara itu, yang menentukan bahasa adalah masyarakat. Kamus tidak akan pernah bisa mengontrol sepenuhnya cara masyarakat berbahasa.

Saya kira, hari ini adalah waktu yang tepat untuk menambah entri baru di KBBI kita. Masukkanlah kata “merubah”. Tentu saja kata kerja tersebut tidak untuk menggantikan kata “mengubah”. “Merubah” yang saya maksud berasal dari kata dasar “rubah”.

Pengertian kata “rubah” pun harus ditambah. Rubah tidak hanya berarti makna denotatifnya yaitu “mamalia karnivor terkecil dari kelompok anjing, bermoncong panjang”. Akan tetapi, ia juga dapat memiliki makna konotatif “orang licik”. Maka, kata “merubah” dapat memiliki pengertian: mengutak-atik tatanan demi kepentingan segelintir orang, tanpa memperhatikan kepentingan orang banyak.

Akhir-akhir ini kita di mana-mana membaca kabar bahwa segelintir orang berencana hendak merubah konstitusi. Sebenarnya tidak ada salahnya merevisi konstitusi, memodifikasi atau memperbaruinya bukanlah tindakan inkonstitusional.

Tetapi ada yang lebih penting dari urusan konstitusi itu sendiri, yaitu daulat rakyat. Konstitusi bertugas untuk menjaga kedaulatan kita, tetapi ia bukanlah kedaulatan itu sendiri. Ia hanyalah alat. Jadi konstitusi memiliki kemungkinan untuk diganti semangatnya, dari yang awalnya sebagai penjaga demokrasi menjadi penjegal demokrasi.

Rakyat mesti bersiap-siap dengan tindakan para rubah yang pada nantinya mungkin akan meralat Pasal 7 UUD 1945 bahwa “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.”

Pada awalnya mereka hanya akan menambah satu periode atau dengan modifikasi lain yang serupa. Akan tetapi, nafsu kekuasaan memiliki karakteristik tidak-pernah-kenal-puas seperti nafsu pada umumnya. Karena memiliki daya tarik godaan yang kuat, maka kekuasaan harus dibatasi. Dan pembatasan itu harus dilakukan sejak awal.

Kekuasaan yang tidak memiliki batasan hanya akan mengamini diktum Lord Acton: kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut sudah pasti korup (power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely). Perpanjangan masa jabatan adalah gejala serupa dari absolutisme kekuasaan, bukan dalam lingkup ruang tapi lingkup waktu. Dan dengan ekstensi waktu itu, kekuasaan bisa semakin memperkuat dirinya pada ruang.

Dengan demikian, perpanjangan waktu kekuasaan tidak adil bagi kompetisi politik yang demokratis. Dengan tambahan satu-dua tahun, terjadi “adu balap yang tidak seimbang”. Konsolidasi pesaing politik yang dilakukan di dalam kekuasaan bagaimanapun lebih menguntungkan. Padahal, salah satu sebab mengapa kekuasaan dibatasi sampai dua periode saja, agar mengurangi potensi petahana memanfaatkan kekuasaan (APBN, program dan proyek, popularitas) untuk memenangi pemilu selanjutnya.

Jika mereka berhasil menambah satu atau dua tahun saja masa jabatan presiden, sementara publik tidak bereaksi apa-apa –adem ayem, maka bukan tidak mungkin mereka akan menambah satu atau dua tahun lagi. Nusron Wahid, kader dari Partai Golkar, salah satu partai pendukung pemerintah, berucap di acara Adu Perspektif yang diselenggarkaan Detik dan Total Politik, “Wong kita kekuasaan lima tahun saja mau, apa lagi tujuh tahun”. Nusron merujuk pada jabatannya sebagai anggota DPR RI yang kemungkinan juga akan bertambah masanya jika pemilu ditunda.

Apabila Jokowi ditambah masa kekuasannya, maka yang jadi pertanyaan: apa basis legitimasi dari satu dua tahun (atau mungkin satu periode) penambahan tersebut? Pada 2019, Jokowi dipilih oleh rakyat sebagai pemimpin Indonesia selama lima tahun. Jika lebih dari lima tahun, artinya mengkhianati maksud dari pemilu tersebut.

Rakyat mana yang memilih Jokowi di masa satu-dua tahun berikutnya? Siapa yang berhak jadi presiden dan berapa lama ia memerintah adalah pilihan rakyat secara langsung. Pemilu bertugas menghimpun pilihan-pilhan tersebut. Adakah perpanjangan masa kepresidenan Jokowi itu melalui mekanisme serupa?

Sampai saat ini pun tidak ada situasi kritis yang benar-benar memaksa kita menunda pemilu. Jika kita menemui kegentingan pun, apakah kegentingan itu sudah perlu dipertimbangkan di paruh pertama 2022 ini?

Salah satu narasi utama yang diutarakan adalah pentingnya Jokowi menyelesaikan masa kerja dengan sebaik-baiknya, situasi ekonomi disebut-disebut. Lalu apakah demokrasi tidak lebih penting dari ekonomi (jikapun benar ada kegentingan di situ)? Masyarakat sipil yang berpotensi bergejolak –karena Jokowi memerintah lebih dari waktu seharusnya, juga perlu dianggap sebagai kegentingan.

Beberapa waktu lalu, Jokowi menganggap “usulan penundaan pemilu” sebagai bagian dari demokrasi. Pendapat seperti itu hanya perlu diucapkan oleh seorang mahasiswa yang sedang berdebat tentang konsep demokrasi. Sebagai presiden, Jokowi perlu mengambil posisi. Bukan posisi yang abu-abu, melainkan sikap yang tegas: apakah ia setia pada mandat lima tahun dari rakyat atau melupakannya?

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image