Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image naaddini

Logo Diganti, Adakah Jaminan yang Pasti?

Politik | Wednesday, 23 Mar 2022, 11:10 WIB

Perubahan logo halal Indonesia yang diumumkan baru-baru ini memicu berbagai respon masyarakat. Logo halal yang semula bernuansa hijau dengan ornamen tulisan arab serta nama Majelis Ulama Indonesia yang melingkarinya, kini berubah menjadi bernuansa ungu dengan kaligrafi yang bertuliskan halal tetapi dengan bentuk menyerupai gunungan wayang serta tulisan Halal Indonesia di bagian bawahnya.

Perubahan ini memicu pro kontra di kalangan masyarakat tak terkecuali para tokoh. Pasalnya tulisan “Halal” pada kaligrafi tersebut tidak terbaca jelas, bahkan membentuk kata lain yang memiliki makna berbeda. Bentuk kaligrafi yang seperti gunungan juga menuai banyak kritik karena dianggap hanya mengutamakan unsur budaya jawa.

Padahal jika ditelusuri, 80% logo halal di dunia memiliki bentuk yang sama yaitu melingkar, seperti logo halal MUI sebelumnya. Selain memiliki makna filosofis yaitu menggambarkan siklus hidup manusia, kesatuan tema logo tersebut juga bertujuan agar produk halal mudah dikenali oleh masyarakat muslim sedunia.

Terlepas dari polemik tampilan logo halal yang berubah, hal yang seharusnya menjadi perhatian adalah proses regulasi untuk mendapatkan sertifikasi halal. Mekanisme pengajuan sertifikasi halal yang semula hanya ditangani MUI melalui LPPOM (Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika) MUI, kini harus melalui proses yang lebih panjang yaitu melalui BPJPH (Badan Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal) sebagai lembaga utama yang berwenang dalam proses sertifikasi halal, kemudian LPH (Lembaga Pemeriksaan Halal) sebagai lembaga yang melakukan audit atau pemeriksaan, dan MUI (Majelis Ulama Indonesia) sebagai pemberi fatwa.

Perubahan wewenang lembaga yang mengurusi sertifikasi halal ini merupakan bentuk penerapan Undang-undang No. 33 yang disahkan tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH). Dalam Undang-undang tersebut juga ditegaskan bahwa setiap produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di Indonesia wajib bersertifikasi halal. Jika dibandingkan dengan pelaksanaan sertifikasi halal sebelum diberlakukan UU JPH, memang belum ada legitimasi hukum yang jelas.

Namun, yang perlu terus menjadi perhatian adalah, apakah setelah perubahan peraturan dan kelembagaan akan menjamin tidak ada lagi kasus penyelewengan? Jangan sampai para pelaku dan pemegang otoritas dalam pelaksanaan aturan tersebut menyalahgunakan wewenangnya demi kepentingan pribadi ataupun kelompok seperti mengeluarkan sertifikasi halal dengan cara yang haram. Status kehalalan produk yang pasti dan juga mekanisme yang benar patut selalu menjadi perhatian berbagai pihak.

Sangat penting juga adanya jaminan untuk tidak memberatkan para pelaku usaha dalam proses mendapatkan sertifikasi halal. Seperti misalnya total biaya yang harus dikeluarkan pelaku usaha melebihi tarif yang tercantum dalam aturan yang berlaku guna mempersingkat dan mempermudah proses. Jangan sampai adanya pemberlakuan peraturan yang baru justru membuka kran pendapatan baru bagi sekelompok orang.

Berbicara mengenai jaminan kehalalan suatu produk yang beredar dan diperdagangkan, memang merupakan kewajiban sebuah negara guna melindungi rakyatnya dari barang-barang yang haram dan merusak. Inilah salah satu peran negara yang sangat penting dan harus dipahami oleh umat.

Dalam islam, negara memiliki peran penting dalam mengatur dan menjamin pelaksanaan syariat Allah dan ketaatan secara total. Karena sebagai muslim, banyak kewajiban yang harus dilakukan sebagai bentuk ketaatan baik dalam lingkup pribadi, masyarakat, dan hukum-hukum negara. Ketaatan para pemangku jabatan dan pemegang wewenang negara juga hal mutlak yang harus dimiliki, agar tidak ada penyalahgunaan jabatan ataupun pengambilan hukum yang tidak sesuai dengan syariat islam.

Namun sayangnya, walaupun Indonesia merupakan negara berpenduduk mayoritas muslim, tetapi aturan-aturan yang berlaku belum bisa sepenuhnya menjamin pelaksanaan syariat islam sebagai bentuk ketaatan rakyatnya. Umat muslim butuh negara yang berperan mengajak rakyatnya secara totalitas dalam penerapan syariat islam yang kaffah, bukan hanya parsial demi keuntungan belaka.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image