Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Yudhi Hertanto

Teks Pembubaran pada Konteks Ormas

Politik | Tuesday, 15 Mar 2022, 15:45 WIB
Aksi unjuk rasa Ormas Islam. (ilustrasi) Foto: Agung Supriyanto/Republika

Ambyar! Bubar bermakna bercerai-berai, berserakan. Sementara pembubaran adalah sebuah tindak perbuatan secara aktif untuk mencapai situasi bubar. Pilihan kata pembubaran memiliki konsekuensi politis yang berganda,terutama bila dikaitkan dengan keberadaan organisasi massa -ormas.

Sebagai sebuah wadah berkumpul, ormas jelas berbeda dari kerumunan tanpa bentuk. Keberadaan sebuah ormas, dilengkapi dengan perangkat dan struktur serta legalitas pembentukannya. Dengan begitu, kita dapat menafsir ormas sebagai format berekspresi dalam organisasi.

Kemerdekaan untuk menyatakan pendapat, termasuk berkumpul di dalamnya, merupakan elemen penting dalam menjamin kondisi majemuk dan beragam, di tengah kehidupan bersama. Keberadaan ormas, memiliki tujuan serta agenda kegiatan yang disepakati oleh seluruh anggotanya.

Hasil penelitian Al Araf, 2022, Pembubaran Ormas, Sejarah Politik-Hukum di Indonesia (1945-2018) menyebutkan bahwa dalam setiap tahap kekuasaan upaya pembubaran ormas berlangsung dalam motif yang tipikal, manakala ormas dipandang menjadi gangguan bagi kekuasaan.

Keterancaman status quo kekuasaan akan kehadiran ormas terjadi dalam berbagai varian pemahaman dan ideologi, baik sisi kiri, kanan maupun tengah. Silih berganti jarak relasi antara ormas dan kekuasaan terbentuk, dalam upaya menegaskan keseimbangan dan pengaruh dominan kekuasaan, maka pembubaran ormas merupakan proyeksi atas jauh-dekatnya kerapatannya dari kursi kuasa.

Siklus berulang ini seolah menjadi sebuah modus, dan untuk itu perlu diwaspadai, karena pemangku kuasa menyelipkan kepentingan bagi dirinya dalam perumusan ketentuan dan peraturan. Pembubaran menyiratkan nuansa pembungkaman atas suara alternatif, melapangkan panggung kekuasaan.

Tudingan mengenai organisasi subversif, radikal, inkonstitusional sekaligus berbahaya, kerap menjadi stigma dalam teks pembubaran ormas. Pernyataan tersebut harus mampu dibuktikan, tidak direkayasa, ditampilkan secara transparan. Tangan kekuasaan kerap bergerak jauh menyelesaikan persoalan perbedaan sudut pandang.

Teks pembubaran, berkaitan dengan konteks lingkup dinamika politik. Kondisi ini menyebabkan situasi ketidakberimbangan. Pesan komunikasi yang hendak dikonstruksi melalui kerangka pembubaran adalah pembangunan narasi tunggal, seragam dan monolitik, berorientasi pada dimensi kepentingan kuasa.

Kekuasaan seringkali bersikap ofensif bahkan keras pada satu sisi ormas tertentu, tetapi nampak akomodatif bagi ormas yang lain. Berdasarkan sejarah kekuasaan di Indonesia, Al Araf mencatat kondisi pembubaran ormas selalu ada disetiap fase pemerintahan, sesuai dengan selera rezim.

Kondisi paradoksal terjadi, ormas yang dilindungi keberadaan dan eksistensinya melalui perangkat hukum sebagai elemen demokrasi dalam mengkanalisasi kepentingan masyarakat, dapat pula dipandang sebagai potensi kekuatan oposisi yang berbeda haluan dari arah bandul kekuasaan.

Kehidupan demokrasi, mengandaikan partisipasi dan kebebasan publik mewujud menjadi sebuah keselarasan melalui peran regulasi. Hukum menjadi bagian yang tidak terpisah dalam pengaturan dan pengelolaan kehidupan bersama. Pangkal pokoknya, hukum menjadi sarana keadilan seluruh pihak.

Di titik tersebut problem dialektika mengemuka, hukum yang ideal dan seharusnya bebas kepentingan, dapat bercampur dengan ambisi kuasa. Terjadi degradasi makna, hukum kemudian menjadi alat dan sarana penguasa. Sebagaimana Julius Caesar, “my words is my law,” ujar sang Kaisar Romawi.

Meski dipahami bahwa kebebasan untuk berkumpul dan berorganisasi adalah bagian dari hak yang dapat dibatasi dengan klausula hukum. Dalam proses itu, upaya membatasi ormas, hendaknya dilakukan melalui prosedur hukum legal yang bersesuaian, tidak membuntut di ekor kekuasaan.

Catatan kritis yang hendak diangkat dari upaya rekonstruksi pembubaran ormas dari masa ke masa, dalam penelitian Al Araf, adalah bahwa sepatutnya terdapat mekanisme koreksi legal konstitusional dengan memberikan ruang dialog dari entitas ormas untuk mengajukan argumentasi yang dapat diuji, termasuk menjelaskan posisinya.

Publik memiliki nalar untuk membaca rasionalitas alasan pembubaran, membangun karakter dewasa dan matang secara politik dalam melihat perbedaan. Meski pada akhirnya di tangan mahkamah pengadilan hal itu akan diputuskan, tetap diperlukan keterbukaan proses untuk menghadirkan keadilan.

Prasangka pemangku kuasa atas publik yang berkumpul, yang dituangkan melalui berbagai regulasi, menempatkan publik dalam persepsi tersudut dan buruk. Padahal penyelewengan kekuasaan seringkali terjadi, dengan pengatasnamaan serta seolah mewakili publik.

Merangkai konklusi, pembubaran ormas harus mampu berjalan seiring antara tujuan legal dan proses konstitusional yang dilalui. Jangan sampai cara-cara illegal dan pendekatan kekuasaan justru ditampilkan, sehingga terbaca sebagai Tindakan yang menyimpang dan keluar jalur.

Dalam keutuhan kehidupan bersama, selayaknya Benedict Anderson, 2008, Imagined Communities, Komunitas-Komunitas Terbayang, menyebut bahwa formula pembentukan bangsa disandarkan pada imajinasi akan kehendak bersama dengan menghidupkan keakraban dan kebersamaan.

Kita hanya perlu memandang yang berbeda itu sebagai keindahan, serta memahamkan bahwa pemilik kedaulatan terbesar adalah warga negara, bukan sebaliknya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image