Dangdut, Musikalitas dan Komoditas
Curhat | 2022-03-13 21:57:07Bergoyang! Alunan musik dan suara gendang, disertai lantunan syair sang biduan, menjadi magnet yang menarik banyak peminatnya untuk turut larut berdendang bahkan bergoyang. Dangdut telah bertransformasi menjadi bentuk komoditas tontonan.
Lebih jauh lagi, panggung dangdut menjelma menjadi ruang kepentingan yang beragam rupa. Dangdut yang pada awalnya merupakan representasi orkes melayu, kemudian beradaptasi dengan berbagai bentuk baru sesuai lokalitas masyarakat dimana musik tersebut dihidupkan dan bersenyawa.
Dangdut kemudian dimaknai sebagai musik yang lahir dari kreativitas lokal, memiliki akar tradisi yang berbeda dari berbagai jenis genre sebelumnya. Musikalitas dangdut, bahkan sebelumnya diasosiasikan dekat dengan kalangan kelas bawah, bercampur baur di area kumuh secara sosial, beralih rupa menjadi hiburan untuk semua.
Tapi begitulah dangdut berangsur memperoleh segmen peminatnya secara meluas, mulai dapat diterima semua kalangan. Lintasan orbit musik dangdut berubah, mengalami fenomena naik kelas, seolah naik status bahkan naik derajat. Sejatinya musik adalah sarana relaksasi manusia, untuk menjadi manusia.
Dangdut yang dipertontonkan melalui orkes keliling, kemudian mulai mendapatkan ruang pentas, masuk ke industri rekaman, hingga menjadi suguhan yang menyedot perhatian khalayak pemirsa melalui tayangan media. Sebuah fase industrialisasi budaya tercipta.
Tahap kesejarahan dangdut, ikhwal dan bagaimana musik ini mengalami perkembangan terungkap melalui hasil penelitian Rubiyanto, 2022, Dangdut dalam Cengkraman Televisi. Dalam temuannya, musik dangdut telah menjadi sebuah komoditas, mata uang baru di dalam era modern.
Proses komodifikasi, perubahan nilai guna dangdut menjadi nilai tukar komoditas, menyebabkan modifikasi tidak hanya pada terjadi pada konteks selera audiens, tetapi juga pada bagaimana media membentuk suatu budaya baru yang terindustrialisasi, dalam format yang interaktif.
Dangdut yang mengakar dari kehidupan masyarakat, sebelumnya ada diruang budaya keseharian publik, kemudian tercerabut menjadi sebuah nilai yang diperdagangkan. Pentas dan panggung hingga berbagai acara tontonan yang bertajuk dangdut berupaya mengejar pasar -market, rating dan share audiens.
Problemnya semakin kompleks, dangdut kemudian diidentifikasi sebagai sarana penarik massa dalam jumlah besar. Panggung dangdut kemudian ditautkan dengan kepentingan politik. Kini terasa tidak lengkap bila sebuah kampanye politik, bila tidak disertai dengan konser dangdut.
Musik yang merakyat dengan musisinya, lantas menjadi alat propaganda politik. Para tokoh dangdut kemudian secara bersamaan terafiliasi dengan partai politik, tidak hanya menjadi penghibur tetapi sekaligus ditempatkan menjadi fungsionaris kepartaian, akibat daya tarik popularitas musik dangdut.
Peran media dan musik dangdut berinteraksi secara saling bergantung. Posisi dangdut mendapat tempat yang cukup dominan di media, manakala ukuran kuantitatif pasar terpenuhi. Disini letak pelik dari potensi keberlangsungan musik dangdut, ketika telah dieksploitasi dan tidak lagi menarik bagi industri.
Pecinta dan artis dangdut harus berhadapan dengan realitas bahwa sesungguhnya dalam proses komodifikasi musik dangdut, telah menempatkan mereka sebagai objek komoditas. Karena itu, upaya untuk tetap mempunyai posisi tawar yang lebih baik di dalam situasi tersebut adalah i) membangun kekuatan berhimpun organisasi musisi dangdut secara profesional, ii) ditengah kemajuan teknologi, harus terdapat upaya untuk menjalin interaksi langsung pada khalayak -prosumer.
Dangdut tentu tidak hanya akan menjadi tontonan yang menarik lengkap dengan goyangnya, sekaligus dapat menjadi tuntutan dengan nilai dasar hiburan secara relevan sesuai dengan konteks laku jaman. Ayo tarik bang gendang!
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.