Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Nur Fadhilah Ramadhani Mumtaz

Di Balik Debu Semeru, Tenaga Medis Bertahan Di Depan

Kabar WHO | 2025-12-14 22:02:54

Ketika abu vulkanik memicu ancaman ISPA di pengungsian, dokter dan tenaga medis tetap berdiri di garis depan menjaga napas para korban bencana.

Debu abu masih beterbangan di udara pengungsian Semeru tahun 2025. Di balik tenda-tenda darurat, suara batuk terdengar lebih sering daripada percakapan. Bagi para korban, erupsi bukan hanya tentang kehilangan rumah, tetapi juga tentang bagaimana bertahan bernapas di tengah abu yang tak kunjung pergi.

"Kalau pagi, anak-anak langsung batuk. Debunya masih terasa," ujar seorang pengungsi, sebagaimana dikutip dalam laporan lapangan media nasional yang meliput kondisi pengungsian pascaerupsi Semeru 2025. Keluhan ini menjadi cerita yang berulang di banyak tenda.

Dari Bencana Alam ke Ancaman Kesehatan

Pengungsian menyelamatkan warga dari awan panas dan lahar. Namun, kepadatan hunian, ventilasi terbatas, serta paparan abu vulkanik menjadikan pengungsian sebagai ruang yang rentan bagi gangguan pernapasan.

Menurut laporan Antara News tahun 2025, tenaga kesehatan yang bertugas di posko pengungsian Semeru mencatat bahwa keluhan terbanyak yang ditangani adalah batuk, pilek, dan gangguan pernapasan yang mengarah pada Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA). Fakta ini memperlihatkan bahwa fase pascaevakuasi kerap menjadi awal masalah kesehatan yang lebih luas.

Seorang ibu pengungsi mengungkapkan kecemasannya. "Anak saya batuk terus sejak di sini," ujarnya, sebagaimana dimuat dalam pemberitaan media daring nasional. Kalimat sederhana ini menunjukkan bahwa dampak bencana tidak selalu terlihat secara kasat mata.

Apa Kata Dokter tentang Abu Vulkanik?

Bagi tenaga medis, abu vulkanik bukan sekadar sisa letusan. Menurut publikasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tentang Volcanic Ash and Health, partikel halus abu vulkanik dapat masuk ke saluran pernapasan, menyebabkan iritasi, dan meningkatkan risiko ISPA, terutama pada anak-anak dan lansia.

Temuan ini sejalan dengan penelitian kesehatan lingkungan yang dimuat dalam International Journal of Environmental Research and Public Health, yang menyebut bahwa kondisi pengungsian pascabencana secara signifikan meningkatkan kejadian penyakit pernapasan jika tidak disertai upaya pencegahan.

Upaya Dokter di Tengah Keterbatasan

Di posko kesehatan pengungsian Semeru, dokter dan tenaga medis tidak hanya memberikan obat. Menurut laporan Antara News 2025, mereka melakukan pemeriksaan rutin, pemantauan gejala pernapasan, serta edukasi kesehatan langsung kepada pengungsi.

"Masker harus tetap dipakai meski di dalam tenda," ujar seorang tenaga medis, sebagaimana dikutip dalam laporan Antara News. Edukasi sederhana ini menjadi langkah penting untuk menekan paparan abu dan mencegah perburukan ISPA.

Selain itu, dokter juga melakukan pemilahan kasus menentukan pasien yang cukup ditangani di posko dan mereka yang harus dirujuk ke fasilitas kesehatan lanjutan. Langkah ini krusial untuk mencegah lonjakan kasus berat di tengah keterbatasan fasilitas.

Bertahan di Depan, Bersama Korban

Judul "bertahan di depan" mencerminkan posisi tenaga medis dalam bencana ini. Mereka bekerja di tengah debu yang sama, risiko kesehatan yang sama, namun tetap menjalankan tugasnya.

Menurut literatur Disaster Medicine yang dipublikasikan oleh National Center for Biotechnology Information (NCBI), fokus utama pelayanan kesehatan dalam situasi bencana adalah pencegahan dan pengendalian risiko agar penyakit ringan tidak berkembang menjadi krisis kesehatan masyarakat. Prinsip ini tampak nyata dalam penanganan ISPA di pengungsian Semeru.

Bagi para korban, kehadiran dokter memberi rasa aman. "Kalau ada posko kesehatan, kami jadi lebih tenang," ujar seorang pengungsi, sebagaimana dilaporkan media nasional dalam liputan pengungsian Semeru.

Erupsi Semeru 2025 meninggalkan debu, kehilangan, dan tantangan kesehatan yang tidak ringan. Di balik semua itu, ada tenaga medis yang tetap bertahan di depan menghadapi keterbatasan demi memastikan para korban tetap mendapatkan hak paling dasar kesehatan.

Bencana alam sering kali dinilai dari besar kecilnya letusan atau jumlah pengungsi. Padahal, di ruang pengungsian, bencana juga berlangsung secara perlahan melalui batuk, sesak, dan penyakit yang tidak selalu terlihat kamera. Di sinilah peran tenaga medis menjadi krusial, meski jarang menjadi sorotan utama.

Bencana memang tidak bisa dihindari. Namun, menurut literatur kesehatan bencana, dampaknya dapat ditekan melalui kehadiran tenaga medis yang sigap dan berkelanjutan. Di Semeru, upaya itu dimulai dari hal paling sederhana, tetapi paling penting: menjaga agar para korban tetap bisa bernapas dengan aman.

DAFTAR PUSTAKA

SUMBER :

World Health Organization. (2018). Volcanic ash and health. World Health Organization.

International Journal of Environmental Research and Public Health. (2020). Health impacts of volcanic ash exposure: A systematic review. International Journal of Environmental Research and Public Health, 17(6), 1966.

Antara News. (2025, November). Petugas kesehatan bersiaga 24 jam di posko pengungsian erupsi Semeru. Antara News.

Detik Jatim. (2025, November). Pemprov Jatim kirim bantuan logistik untuk warga terdampak erupsi Semeru. detikcom.

National Center for Biotechnology Information. (2022). Disaster medicine and public health preparedness. National Library of Medicine.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image