Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Khaidir Ali

Menggenggam Kembali Harapan

Pendidikan dan Literasi | 2025-12-12 12:17:09
BANJIR SUMBAR: Sejumlah warga berjalan di antara potongan kayu gelondongan yang bertumpuk di pantai Air Tawar, Padang, Sumatera Barat, Jumat (28/11/2025). Sampah kayu gelondongan itu menumpuk di sepanjang pantai Padang pasca banjir bandang beberapa hari terakhir. (ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra/YU)

Banjir bandang yang menerjang Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat beberapa waktu lalu tidak hanya merendam rumah dan sekolah, tapi juga meninggalkan jejak luka psikologis yang tak kalah dalamnya. Di Aceh Tamiang saja, 67 sekolah terdiri dari 47 SD dan 20 SMP terpaksa menghentikan kegiatan belajar mengajar karena terendam. Puluhan ribu warga mengungsi, termasuk anak-anak yang kini menghadapi situasi yang jauh dari rasa aman.Pemerintah daerah dan pusat telah bergerak. Kemendikdasmen menyalurkan bantuan Rp13,3 miliar untuk mendukung pemulihan fasilitas pendidikan di tiga provinsi terdampak. Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, menyampaikan belasungkawa sekaligus komitmen pemerintah: membantu sekolah kembali berfungsi dan memastikan anak-anak tidak kehilangan hak belajar mereka.Namun, ada satu hal yang tidak bisa diperbaiki hanya dengan dana: kesehatan mental anak-anak yang mengalami langsung dahsyatnya bencana.


Luka yang Tidak Tampak

Psikolog sekaligus Ketua II Himpsi, Prof. Henndy Ginting, menegaskan bahwa banjir dan longsor adalah pengalaman yang sangat traumatis bagi anak-anak. Ketika air tiba-tiba menerjang rumah, membawa lumpur dan suara gemuruh yang tak terlupakan, otak anak menyimpan memori itu sangat kuat. Itu sebabnya, beberapa gejala trauma muncul, seperti ketakutan berlebih, kecemasan, sedih dan bingung, sulit tidur, bahkan kehilangan motivasi untuk menjalani aktivitas harian.Beberapa anak bahkan menunjukkan tanda trauma akut atau trauma kronis. Ada yang menjadi sangat waspada setiap kali hujan turun, ada yang menangis tanpa sebab, dan ada pula yang kesulitan berkonsentrasi ketika belajar.Situasinya makin berat ketika mereka menyaksikan sekolah mereka rusak atau hilang tersapu banjir. Bagi banyak anak, sekolah bukan hanya tempat belajar, melainkan juga ruang aman tempat mereka bertemu teman dan guru. Ketika tempat itu hilang, sebagian dari mereka merasa masa depan ikut runtuh.
Karena itu, pendampingan psikologis harus berjalan seiring dengan perbaikan sekolah, hunian sementara, dan layanan dasar lainnya. Kolaborasi pemerintah, tenaga kesehatan, psikolog, relawan, sekolah, dan keluarga menjadi kunci agar anak-anak tidak tumbuh dengan luka yang semakin dalam, melainkan bangkit dengan harapan baru. Bencana mungkin merenggut banyak hal, tetapi dengan penanganan yang tepat, harapan anak-anak Sumatera untuk tumbuh, belajar, dan bermimpi tak harus ikut hanyut.

Warga terdampak banjir bandang mengungsi di gudang milik warga di Desa Sumuran, Kecamatan Batang Toru, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara (Foto: ANTARA FOTO/Yudi Manar).

Bagaimana Menolong Mereka?

Menurut Prof. Henndy, langkah pertama pemulihan trauma adalah memberikan rasa aman. Ini terdengar sederhana, tapi sangat esensial. “Rasa aman datang dari perlakuan yang tepat, fasilitas memadai, serta pemenuhan kebutuhan dasar seperti makanan dan minuman. Dengan begitu, pengalaman traumatis tidak semakin memburuk,” ujarnya.Langkah-langkah penting lainnya termasuk:1. menyediakan pendampingan psikologis,2. memastikan anak memiliki ruang bermain,3. mengajak mereka berkegiatan seru seperti 4. menggambar, bernyanyi, bercerita, atau bermain bersama teman,5. memberikan kesempatan untuk mengekspresikan emosi.Aktivitas-aktivitas ini bukan sekadar hiburan. Bagi anak yang baru kehilangan rumah atau lingkungan, bermain adalah bentuk terapi. Ini membantu mereka menata ulang rasa aman, pelan-pelan melepaskan kecemasan, dan membangun kembali kepercayaan terhadap lingkungan sekitar.
Menuju Pemulihan yang MenyeluruhPemulihan pascabencana tidak boleh berhenti pada perbaikan infrastruktur. Fasilitas bisa dibangun kembali dalam hitungan bulan, tetapi memulihkan hati dan pikiran anak-anak bisa membutuhkan waktu jauh lebih panjang. “Kita tidak bisa mengulang waktu,” kata Prof. Henndy, “tapi langkah penanganan yang tepat bisa mencegah trauma berkepanjangan.”

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image