Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Viki Pudji Asmoro

Bumi Manusia: Cinta, Rasa, Derita, dan Upaya

Sastra | 2025-12-11 20:33:38
Sumber: tatkala.co

Sebuah Karya dan Larangan

Kita tahu, bahwasannya Tetralogi Buru yang terdiri dari Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca sempat dilarang beredar pada masa Orde Baru karena dianggap menyebarkan ajaran Komunisme yang dianggap mengancam stabilitas negara. Selain itu, Pramoedya juga dianggap memiliki keterkaitan dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), sebuah organisasi sayap kiri yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada saat itu. Larangan ini membuat karya-karyanya menjadi sangat sulit diakses dan dibaca secara umum. Bahkan, jika seseorang terlihat membaca, memiliki, atau menjual buku-buku ini pada masa tersebut, sangat besar kemungkinan dapat dipenjara.

Nyai Ontosoroh: Simbol Perlawanan Pribumi

Sumber: Dok. Falcon Pictures

Ketika saya membaca Bumi Manusia, saya benar-benar dibuat kagum dengan tokoh Nyai Ontosoroh (Sanikem) yang merupakan ibu dari Annelies. Ia menjadi seorang Nyai ketika ayahnya, Sastrotomo menjual ia kepada Tuan Mellema yang merupakan seorang pria Belanda. Statusnya sebagai seorang Nyai, membuat ia dipandang rendah dalam masyarakat kolonial pada masa itu. Saat bersama dengan Tuan Mellema, ia belajar banyak hal hingga ia dapat menguasai manajemen perusahaan, pembukuan, bahasa asing, pengetahuan sosial, dan cara berdebat formal. Dalam cerita itu, ia menjadi simbol keteguhan dan keberanian perempuan pribumi dalam melawan penindasan.

Cinta dan Hukum Kolonial

Sumber: Dok. Falcon Pictures

Pada bab terakhir dari Bumi Manusia, kita diperlihatkan sebuah perpisahan Annelies dan juga Minke. Pernikahan mereka memang didasari rasa cinta dan saling mengasihi, namun sangat rapuh di atas hukum kolonial pada masa itu. Pernikahan mereka tidak diakui oleh hukum kolonial Eropa. Hal ini dikarenakan status Indo-Eropa Annelies membuat ia berada di bawah yurisdiksi pengadilan Belanda. Setelah Tuan Mellema meninggal, keluarganya dari Eropa meminta hak asuh penuh atas Annelies. Pertarungan di pengadilan, oleh pihak yang mencintai dan pihak dengan gejolak ambisi. Status Nyai Ontosoroh sebagai pribumi, membuat ia tidak memiliki hak hukum atas anak kandungnya sendiri, Annelies. Kekalahan di pengadilan, membuat Minke kehilangan istrinya dan Nyai Ontosoroh pun kehilangan putrinya.

“Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.”

Kaca Refleksi dan Evaluasi

Dalam Bumi Manusia, kita diperlihatkan bagaimana hukum kolonial beroperasi bukan sebagai alat untuk keadilan, tetapi sebagai instrumen kekuasaan. Sistem hukum yang menciptakan sebuah ketidaksetaraan. Pribumi dipandang lebih rendah bahkan jika sudah berpendidikan dan kompeten sekaligus. Struktur hukum yang sejak awal tidak mengakui keberadaan Pribumi sebagai manusia yang setara. Hukum yang tidak berpihak pada keadilan sejatinya hanyalah topeng bagi kekuasaan. Ketika hukum tunduk pada hierarki ras, status sosial, atau kepentingan penguasa, maka keadilan tidak pernah benar-benar hadir. Di era sekarang, kita benar-benar harus waspada: hukum harus senantiasa kita kritisi dan kita perjuangkan terus-menerus agar tidak menjadi alat penindasan dalam bentuk baru. Ketidakadilan terjadi dikarenakan adanya sistem yang dibiarkan timpang.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image